Di Nalanda
Pada hari ke-67 di tahun 1193, tak ada lagi orang di jalan ke arah Rajgrih.
Api belum padam di Nalanda.
Seorang bhiksu yang selamat kemudian bercerita, panglima tentara yang memasuki Bihar melemparkan 10 suluh dari atas kudanya dan universitas itu musnah, pelan-pelan.
Pada rak-rak yang lebar, 9.000.000 buku mati
satu demi satu.
Pada malam yang paling panas di tahun 1193, seorang opsir Turki
memisahkan diri dari kemah pasukan dan kembali berjalan ke pintu yang tersisa.
Di atas bara dan bangkai-bangkai buku, ia lihat ada yang tak ia pahami. Mungkin iman.
Ada bekas empat patah kata, ”Tuhan tak ingin tua,” masih tertera, dan ia coba tahu artinya.
Ia bertanya: Adakah yang abadi? Atau hanya adrenalin ini?
Di ujung malam, ia seperti melihat seorang rahib menghilang pelan
ke dalam pohon sal
Perang ini terlalu mudah, ia ingat seorang Mamluk berkata,
tapi kemenangan tidak.
2018
Analisis Puisi:
Puisi "Di Nalanda" karya Goenawan Mohamad bukan hanya sekadar catatan sejarah, tetapi sebuah renungan mendalam tentang kehancuran, iman, dan ketidakabadian. Dalam puisi ini, Goenawan menggambarkan peristiwa tragis yang terjadi pada tahun 1193, ketika Universitas Nalanda di India, salah satu pusat pembelajaran kuno terbesar, dihancurkan oleh invasi tentara Turki. Dalam bait-baitnya, puisi ini menyingkapkan tema kehancuran budaya, perenungan eksistensial, dan kesia-siaan perang, serta bagaimana kehancuran fisik memengaruhi makna-makna yang jauh lebih dalam.
Kehancuran Universitas Nalanda: Simbol Hilangnya Kebijaksanaan
Pembukaan puisi yang menyebut “hari ke-67 di tahun 1193” seolah mengingatkan pembaca pada titik waktu yang menentukan dalam sejarah. Nalanda digambarkan sebagai sebuah tempat yang sunyi dan terbakar—api yang melahap pusat kebijaksanaan di India kuno. Di masa jayanya, Nalanda merupakan universitas tempat ribuan teks dan karya ilmiah disimpan serta dipelajari oleh para sarjana. “9.000.000 buku mati satu demi satu” adalah gambaran yang menunjukkan kehancuran pengetahuan manusia yang tak tergantikan, menandai lenyapnya suatu era intelektual.
Dengan mengisahkan kebakaran besar yang menghancurkan Nalanda, Goenawan membangkitkan rasa kehilangan yang begitu dalam, kehilangan yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga kehilangan spiritualitas dan kebijaksanaan yang terkandung dalam teks-teks kuno.
Konflik antara Kekuatan dan Iman
Dalam bait-bait berikutnya, kita bertemu dengan seorang opsir Turki yang menyaksikan kehancuran ini. Perjalanan opsir tersebut menjadi simbol dari pergulatan batin antara kekuatan militer dan nilai-nilai spiritual yang dia temukan di reruntuhan Nalanda. Di antara puing-puing dan bara api, ia menemukan bekas kata-kata "Tuhan tak ingin tua," yang mencerminkan sebuah perenungan mendalam tentang makna keberadaan, kekuatan, dan ketidakterbatasan waktu.
Goenawan mengangkat pertanyaan eksistensial: Adakah yang abadi? atau Atau hanya adrenalin ini? Pertanyaan ini tidak hanya mewakili keraguan seorang tentara, tetapi juga menggambarkan pertanyaan universal tentang tujuan manusia dan kekosongan dalam kemenangan yang diraih melalui kekerasan. Di sini, iman dan pengetahuan seakan-akan tidak dapat dihancurkan oleh senjata, dan puisi ini menggambarkan keraguan opsir tersebut saat ia menyaksikan kehancuran Nalanda.
Simbol Rahib dan Pohon Sal: Ketabahan dan Kesederhanaan
Dalam salah satu baris yang paling magis, sang opsir melihat seorang rahib menghilang pelan ke dalam pohon sal, yang memiliki simbolisme mendalam dalam budaya India. Pohon sal, yang sering dikaitkan dengan Siddharta Gautama, atau Buddha, melambangkan ketabahan, kesederhanaan, dan ketenangan dalam menghadapi kesulitan. Adegan ini menggambarkan bahwa meskipun Nalanda dihancurkan, nilai-nilai spiritual dan kebijaksanaan yang ada di tempat itu tetap abadi dalam bentuk yang lain, yang tidak dapat dirusak oleh kekerasan atau waktu.
Keberadaan rahib yang “menghilang pelan ke dalam pohon sal” menunjukkan bahwa ada aspek-aspek kebijaksanaan yang tidak bisa disentuh oleh perang, api, atau kebencian. Simbol rahib yang menyatu dengan alam memberikan gambaran ketenangan dan kekekalan di tengah dunia yang penuh konflik dan ketidakseimbangan.
Perang dan Kemenangan yang Hampa
Bait terakhir menyiratkan bahwa meskipun kehancuran Nalanda terlihat mudah dari sudut pandang kekuatan militer, kemenangan tersebut tidak menghadirkan kepuasan. Seorang prajurit Mamluk yang mengatakan bahwa “Perang ini terlalu mudah, tapi kemenangan tidak,” menunjukkan bahwa meski mereka berhasil secara fisik, secara spiritual mereka gagal. Kemenangan yang diraih dengan menghancurkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan adalah kemenangan kosong yang tidak memberikan makna. Perang di sini tidak hanya ditampilkan sebagai tindakan kekerasan, tetapi juga sebagai penghancuran nilai-nilai dan identitas.
Puisi "Di Nalanda" karya Goenawan Mohamad membawa kita kembali pada peristiwa sejarah yang sangat penting, sembari menyuguhkan pesan tentang dampak buruk peperangan terhadap kebudayaan, nilai, dan identitas. Goenawan mengajak kita untuk merenungkan kesia-siaan dari perang dan kehancuran, serta pentingnya kebijaksanaan dan iman yang tidak bisa dihancurkan oleh kekuatan apapun.
Dengan kata-kata yang padat makna, Goenawan menghadirkan sebuah refleksi tentang bagaimana peradaban yang hilang membawa luka yang dalam bagi kemanusiaan. Nalanda, sebagai simbol dari keruntuhan kebijaksanaan, mengingatkan kita bahwa dalam kehancuran fisik yang tampak fana, ada nilai-nilai tak terlihat yang masih abadi dan mengikat manusia dengan kemanusiaannya.
Puisi: Di Nalanda
Karya: Goenawan Mohamad
Biodata Goenawan Mohamad:
- Goenawan Mohamad (nama lengkapnya Goenawan Soesatyo Mohamad) lahir pada tanggal 29 Juli 1941 di Batang, Jawa Tengah.
- Goenawan Mohamad adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.