Catatan Musim Kemarau
angin musim kemarau — berjalan lengang
di atas padang malam
beribu bintang dan kerlip kunang-kunang
bertarung dalam suara yang sumbang
diriku dan mimpi, lama mencari arti
saat kutatap nisan dan pohonan hitam
tanpa nyanyian
kutahu, setiap kali daun-daun menanggalkan diri
di tepi sungai mati
dan langit yang memutihkan tidurku
lalu lenyap di puncak waktu
Solo, 1981
Sumber: Horison (Februari, 1982)
Analisis Puisi:
Puisi "Catatan Musim Kemarau" karya Kriapur adalah sebuah karya puitis yang mengungkapkan keindahan sekaligus kesedihan yang dihadapi selama musim kemarau. Dalam puisi ini, Kriapur menciptakan gambaran tentang keheningan, kehilangan, dan pencarian makna di tengah pengalaman hidup yang tidak pasti. Dengan bahasa yang lugas namun puitis, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara alam dan keadaan batin manusia.
Angin Musim Kemarau
Puisi ini dibuka dengan penggambaran "angin musim kemarau — berjalan lengang di atas padang malam." Kalimat ini memberikan kesan sepi dan ketenangan, menciptakan suasana malam yang tenang tetapi juga terasa kosong. "Beribu bintang dan kerlip kunang-kunang bertarung dalam suara yang sumbang" menunjukkan bahwa meskipun keindahan alam ada, ada juga ketidakharmonisan yang dirasakan. Pertarungan ini dapat diartikan sebagai perjuangan antara keindahan dan realitas yang suram, di mana suara yang "sumbang" melambangkan ketidakpastian dan ketidakpuasan dalam hidup.
Pencarian Arti
Selanjutnya, penulis mengungkapkan rasa pencarian melalui ungkapan, "diriku dan mimpi, lama mencari arti." Ini menunjukkan upaya penulis untuk menemukan makna dalam kehidupannya, terutama ketika berhadapan dengan kematian dan kehilangan. "Saat kutatap nisan dan pohonan hitam tanpa nyanyian" menggambarkan refleksi mendalam tentang kematian, simbol dari kehilangan yang nyata. Nisan mewakili akhir, sedangkan "pohonan hitam" dapat diartikan sebagai simbol kehidupan yang tidak lagi berfungsi dengan baik, menambah suasana suram yang ada.
Kehilangan dan Keberlanjutan
Bagian berikutnya dari puisi ini mengisyaratkan tentang siklus kehidupan dan kehilangan. "Kutahu, setiap kali daun-daun menanggalkan diri di tepi sungai mati" mencerminkan proses alami dari perpisahan dan kepergian. Daun yang gugur di tepi sungai menjadi gambaran tentang kehilangan yang berulang dalam hidup, seolah-olah ada siklus yang tidak dapat dihindari. "Langit yang memutihkan tidurku" menunjukkan bahwa meskipun kita berusaha untuk beristirahat dan melupakan kesedihan, kenyataan tetap membayangi kita.
Puncak Waktu
Frasa "lalu lenyap di puncak waktu" menciptakan kesan bahwa semua hal, baik yang indah maupun menyedihkan, akan hilang seiring berjalannya waktu. Puncak waktu di sini bisa diartikan sebagai momen-momen penting dalam hidup yang membentuk identitas dan pengalaman kita. Namun, dengan lenyapnya segala sesuatu, ada pertanyaan tentang apa yang akan tersisa dan bagaimana kita dapat menemukan makna di dalamnya.
Puisi "Catatan Musim Kemarau" karya Kriapur adalah sebuah karya yang menyentuh tema kehilangan, pencarian makna, dan refleksi tentang siklus kehidupan. Dengan penggunaan imaji yang kuat dan puitis, penulis berhasil menciptakan suasana yang melankolis dan menggugah pemikiran. Kriapur menunjukkan bahwa dalam keheningan dan kesunyian, ada ruang untuk merenungkan arti kehidupan, kehilangan, dan harapan. Puisi ini mengingatkan kita bahwa meskipun hidup penuh dengan tantangan dan kehilangan, pencarian makna adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman manusia.
Karya: Kriapur
Biodata Kriapur:
- Kriapur (akronim dari Kristianto Agus Purnomo) lahir pada tahun 1959 di Solo.
- Kriapur meninggal dunia pada tanggal 17 Februari 1987 dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Batang, Pekalongan, Jawa tengah.