Puisi: Ayam (Karya D. Zawawi Imron)

Puisi "Ayam" karya D. Zawawi Imron mengisahkan interaksi antara penyair dan ayam sebagai simbol kehidupan, perjuangan, dan keberanian.

Ayam

aku akan belajar pada ayam
mengais-ngais halaman nasib
sebiji remah dipatuk
kupatuk remah alam yang kejam
kupatuk pada ombak yang menggelegak

ayamku berkokok mengumumkan siang
sambil bertengger di punggung kalimancang
kakekku telah melukisnya dengan bajak
pada cuaca gelap, pada bumi yang masih lelap
pergilah debu ke negerinya
pulanglah mendung ke sarangnya
ayamku akan berkokok
memanggil selusin matahari

guruku ayam berdarah coklat
jangan coba menghalang langkahnya!
karena ia telah berhasil
menaklukkan arus sungai darah biru

ayamku bercokol di puncak tiang bendera
menyuarakan tangis rawa-rawa
dan kalau perlu
ia kencing di atas mahkota


Sumber: Segugus Percakapan Cinta di Bawah Matahari (2017)

Analisis Puisi:

Puisi "Ayam" karya D. Zawawi Imron mengisahkan interaksi antara penyair dan ayam sebagai simbol kehidupan, perjuangan, dan keberanian. Melalui penggunaan citra yang kaya dan bahasa yang puitis, Zawawi berhasil menggambarkan makna yang dalam di balik sosok ayam yang tampaknya sederhana. Puisi ini menggugah pemikiran tentang peran ayam dalam kehidupan sehari-hari, serta makna filosofis yang dapat diambil dari keberadaan hewan tersebut.

Ayam sebagai Simbol Perjuangan

Di awal puisi, penyair mengungkapkan keinginannya untuk belajar dari ayam:

"aku akan belajar pada ayam / mengais-ngais halaman nasib"

Pernyataan ini menunjukkan pengakuan terhadap ayam sebagai makhluk yang gigih dalam mencari makanan, yang dapat diartikan sebagai simbol perjuangan hidup. "Mengais-ngais halaman nasib" mencerminkan usaha ayam untuk mendapatkan rezeki di tengah kehidupan yang mungkin tidak selalu bersahabat.

Ketika penyair menyebut:

"sebiji remah dipatuk / kupatuk remah alam yang kejam,"

Frasa ini mempertegas situasi yang dihadapi, di mana kehidupan dapat terasa keras dan penuh tantangan. "Remah alam yang kejam" menggambarkan dunia yang sering kali tidak mempedulikan usaha individu, menciptakan konteks di mana ayam berjuang meski dalam kondisi yang sulit.

Konteks Budaya dan Tradisi

Selanjutnya, puisi ini melibatkan elemen budaya dan tradisi:

"ayamku berkokok mengumumkan siang / sambil bertengger di punggung kalimancang"

Ayam yang berkokok di pagi hari telah menjadi simbol tradisional untuk menandakan datangnya siang. "Bertengger di punggung kalimancang" mengingatkan kita pada hubungan antara manusia dan alam, di mana ayam merupakan bagian integral dari kehidupan pedesaan dan tradisi agraris. Kakek penyair yang "telah melukisnya dengan bajak" menunjukkan nilai-nilai agraris yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Ketegasan dan Keberanian

Di tengah suasana yang menggambarkan tradisi dan perjuangan, penyair menampilkan sosok ayam yang tegas:

"guruku ayam berdarah coklat / jangan coba menghalang langkahnya!"

Penggunaan kata "guruku" menunjukkan bahwa ayam tidak hanya sebagai hewan peliharaan, tetapi juga sebagai pengajar yang memberikan pelajaran hidup. "Darah coklat" dapat diinterpretasikan sebagai simbol keberanian dan keteguhan hati, mengisyaratkan bahwa meskipun ia seekor ayam, ia memiliki kekuatan untuk melawan tantangan.

Penyair melanjutkan:

"karena ia telah berhasil / menaklukkan arus sungai darah biru"

"Arus sungai darah biru" mungkin merujuk pada kelas sosial atau situasi yang lebih tinggi, di mana ayam, sebagai makhluk yang biasa, berhasil menaklukkan tantangan yang lebih besar. Ini menciptakan gambaran tentang keberanian yang dimiliki hewan tersebut, yang merefleksikan semangat perjuangan manusia.

Puncak Pemberontakan

Puisi ini mencapai puncaknya dengan pernyataan yang penuh semangat:

"ayamku bercokol di puncak tiang bendera / menyuarakan tangis rawa-rawa / dan kalau perlu / ia kencing di atas mahkota"

Gambaran ayam "bercokol di puncak tiang bendera" melambangkan keberhasilan dan kebanggaan. Ia menjadi simbol perjuangan yang berhasil, mengeluarkan suara dari "tangis rawa-rawa," yang bisa diartikan sebagai jeritan atau seruan dari mereka yang terpinggirkan.

Pernyataan terakhir tentang ayam "kencing di atas mahkota" mencerminkan pernyataan perlawanan dan ketidakpedulian terhadap otoritas. Ini menegaskan bahwa meskipun ayam adalah makhluk yang kecil dan sering dianggap remeh, ia memiliki hak untuk bersuara dan mengekspresikan keberadaannya dengan cara yang berani.

Puisi "Ayam" karya D. Zawawi Imron adalah sebuah karya yang kaya makna, menggunakan ayam sebagai simbol perjuangan, keberanian, dan identitas budaya. Melalui citra yang kuat dan bahasa yang puitis, Zawawi mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai kehidupan dan pelajaran yang dapat diambil dari hewan yang tampaknya sederhana ini. Puisi ini menggugah kesadaran akan pentingnya keberanian dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan hidup, serta menekankan bahwa setiap makhluk, sekecil apapun, memiliki hak untuk diakui dan dihargai.

Puisi D. Zawawi Imron
Puisi: Ayam
Karya: D. Zawawi Imron

Biodata D. Zawawi Imron:
  • D. Zawawi Imron (biasa disapa Cak Imron) adalah salah satu penyair ternama di Indonesia, ia lahir di desa Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ia sendiri tidak mengetahui dengan pasti tanggal kelahirannya.
© Sepenuhnya. All rights reserved.