Pola Pikir Sempit, Jalanan Makin Sempit

Secara idealnya, seseorang yang memiliki mobil seharusnya menyediakan tempat khusus atau garasi di tanah rumahnya sendiri. Secara fungsi memang ...

"Pak RT, tetangga saya bikin garasi di jalan, di situ kaya atau miskin?" keluh seorang warga kepada Pak RT. Yang dibicarakan oleh warga bukanlah tentang status sosial dari tetangganya, melainkan tentang pola pikir yang dimiliki oleh tetangganya. Menurutnya, pola pikir tetangganya adalah suatu hal yang di luar nurul. Mengapa demikian?

Secara idealnya, seseorang yang memiliki mobil seharusnya menyediakan tempat khusus atau garasi di tanah rumahnya sendiri. Secara fungsi memang benar bahwa garasi digunakan untuk menyimpan dan mengamankan sebuah kendaraan. Lalu masalahnya, mengapa membangun garasi di jalanan umum alih-alih tidak memanfaatkan tanah sendiri?

Pola Pikir Sempit, Jalanan Makin Sempit

Hal ini tidak hanya terjadi di lingkungan saya, tetapi banyak warga Indonesia melakukan hal yang serupa. Jalanan umum yang seharusnya digunakan untuk bersama, justru dialihfungsikan untuk garasi pribadi. Hal ini tidak hanya termasuk bentuk ketidakpedulian terhadap aturan sosial dan ketertiban umum, tetapi juga merupakan pelanggaran nyata terhadap hak-hak warga lain yang juga menggunakan fasilitas publik tersebut.

Selain itu juga terdapat warga Indonesia yang memiliki pola pikir “memiliki kendaraan lebih utama daripada menyediakan tempat untuk menyimpannya”. Dengan kata lain, mereka cenderung membeli mobil terlebih dahulu tanpa memikirkan di mana kendaraan itu akan diparkir, seolah-olah garasi adalah urusan yang bisa ditunda.

Fenomena ini mungkin terlihat sepele, tetapi sebenarnya dampaknya lumayan besar. Dampak yang disebabkan dari tidak adanya garasi di rumah sendiri sangat terasa, terutama di wilayah perkotaan. Jalan-jalan yang seharusnya menjadi fasilitas umum untuk kelancaran lalu lintas menjadi sempit karena dipenuhi oleh kendaraan yang diparkir sembarangan. Tidak hanya itu, lingkungan juga menjadi tampak tidak rapi, kumuh, dan terkesan semrawut. 

Kedua fenomena di atas mencerminkan ketidakdisiplinan dan rendahnya kesadaran akan tanggung jawab sosial. Masyarakat yang lebih mementingkan kepemilikan pribadi tanpa memperhatikan kepentingan umum menjadi cerminan buruknya tata kelola ruang publik di Indonesia. Alhasil, konflik antartetangga dan ketidakharmonisan antarwarga sering kali terjadi hanya karena masalah parkir.

Pemerintah dan perangkat masyarakat, seperti RT dan RW, memiliki peran krusial dalam menangani masalah ini. Mereka seharusnya memiliki peran lebih aktif dalam mengedukasi warga mengenai pentingnya tertib parkir dan pemanfaatan ruang yang sesuai. Aturan mengenai larangan parkir sembarangan dan larangan membuat garasi di jalan umum harus ditegakkan dengan tegas, termasuk pemberian sanksi yang jelas kepada pelanggar. Sanksi ini tidak harus selalu berbentuk denda, tetapi bisa juga berupa teguran sosial yang memberikan efek jera bagi pelaku.

Selain itu, edukasi yang bersifat kolektif perlu digencarkan. Masyarakat harus didorong untuk berpikir lebih panjang, tidak hanya untuk kenyamanan pribadi, tetapi juga untuk kenyamanan bersama. Kedisiplinan dalam hal parkir, misalnya, merupakan salah satu bentuk kecil dari tanggung jawab sosial yang pada akhirnya mencerminkan tingkat kesadaran kita sebagai warga negara yang baik. Jika tidak ada kesadaran kolektif dari masyarakat, masalah ini hanya akan berulang dan menjadi semakin kompleks seiring bertambahnya jumlah kendaraan di wilayah perkotaan.

Pada akhirnya, kritikan seorang warga yang mempertanyakan "tetangga saya kaya atau miskin?" bukan termasuk pesan eksplisit melainkan pesan implisit. Mungkin mereka mampu membeli mobil, tetapi mereka tidak mampu menyediakan tempat yang layak untuk menyimpannya, lantas apa yang benar-benar mereka miliki? Jalanan umum yang digunakan untuk garasi hanya memperlihatkan sempitnya kesadaran pemilik kendaraan akan hak semua orang. Jalan yang semakin sempit karena mobil tanpa garasi juga hanya memperlihatkan betapa luasnya ego dan sempitnya kesadaran akan kepentingan bersama. Jadi, apakah orang-orang di sekitar kita kaya secara materi atau justru miskin dalam pola pikir?

Biodata Penulis:

Faadhilah Hana Gustie Fatimah, lahir pada tanggal 27 Juni 2006, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Prodi Informatika, Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.