Mengatasi Kekerasan di Sekolah: Ketika Pendidikan Berubah Menjadi Ancaman

Kekerasan di sekolah dipicu oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, baik yang berasal dari lingkungan keluarga, sosial, maupun dari karakter ...

Pendidikan merupakan dasar penting untuk perkembangan karakter anak, tetapi kenyataannya sering kali berbeda. Banyak siswa mengalami perundungan di sekolah, padahal seharusnya tempat tersebut menjadi ruang yang nyaman dan penuh dukungan untuk belajar. Lingkungan belajar sering kali berubah menjadi sumber ketakutan dan trauma akibat kekerasan.

Artikel ini mengajak kita untuk merenungkan penyebab munculnya kekerasan di sekolah dan pentingnya tindakan yang lebih baik untuk mengatasinya. Dengan kesadaran dan kerja sama dari semua pihak, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak hanya fokus pada pelajaran, tetapi juga pada pengembangan karakter, sehingga setiap siswa merasa aman dan nyaman. 

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang berjalan secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya baik yang menyangkut aspek moral, spiritual, intelektual, emosional maupun sosial (Yusuf dalam Suriyanti, 2020). Namun sayangnya dalam sejumlah kasus, justru menunjukkan bahwa sekolah dapat menjadi tempat berlangsungnya kekerasan dan bullying yang tidak sesuai dengan nilainilai karakter dan kemanusiaan itu sendiri.

Dalam perkembangannya, bullying  (Elaine, 2024) yang melibatkan warga sekolah bahkan hadir dalam berbagai bentuk, dengan pelaku individual maupun kolektif, dan mengakibatkan dampak yang beragam bagi para korbannya.

Mengatasi Kekerasan di Sekolah

Proses perkembangan dan pertumbuhan anak akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan kualifikasi anak di masa depan. Jika dalam proses tumbuh kembangnya, anak sering mendapatkan perlakuan kasar atau bahkan mendapat tindakan kekerasan, maka proses pembentukan kepribadiannya akan terganggu (Rachma, 2022) yang pada akhirnya dapat berdampak negatif pada kemampuannya dalam berinteraksi sosial, mengelola emosi, dan menjalani kehidupan dengan nilai-nilai positif (Darmawan, 2019).

Mengingat dampak signifikan yang dapat ditimbulkan oleh bullying terhadap perkembangan siswa, diperlukan kajian yang mendalam untuk memahami secara menyeluruh berbagai bentuk bullying, dampaknya terhadap siswa, serta bagaimana sekolah dapat berperan dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung perkembangan karakter positif siswa.

Metode Penelitian 

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis masalah sosial, khususnya kekerasan dalam dunia pendidikan berupa kenakalan pelajar, dengan menggunakan kajian sosiologi pendidikan. Metode yang digunakan adalah studi kasus, yang bertujuan mengeksplorasi masalah sosial secara mendalam meskipun dengan keterbatasan pada aspek-aspek tertentu, seperti ruang lingkup dan waktu penelitian.

Hasil dan Pembahasan

Pada tahun 2024, kasus bullying di sekolah menjadi perhatian utama dalam pengaduan yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dari laporan masyarakat yang masuk, bullying menempati urutan tertinggi di sektor pendidikan. Pada tahun 2023, KPAI mencatat sekitar 3.800 kasus perundungan, dan hampir separuhnya terjadi di lingkungan sekolah.

Situasi ini menunjukkan bahwa bentuk kekerasan baik verbal, fisik, maupun psikologis masih kerap terjadi di sekolah-sekolah, dan sering kali penanganannya tidak optimal sehingga kurang memberikan efek jera.

Seorang pelajar dikatakan sebagai korban bullying ketika ia diketahui secara berulang-ulang terkena tindakan negatif oleh satu atau lebih banyak pelajar lain. Tindakan negatif tersebut termasuk melukai, atau mencoba melukai atau membuat korban merasa tidak nyaman dan dapat dilakukan secara fisik (pukulan, tendangan, mendorong, mencekik, dan lain-lain) atau secara verbal (memanggil dengan nama buruk, mengancam, mengolok-olok, jahil, menyebarkan isu buruk, dan lain-lain), serta tindakan lain seperti memasang muka dan melakukan gerakan tubuh yang melecehkan (secara seksual) atau secara terus menerus mengasingkan korban dari kelompoknya.

Kekerasan di sekolah dipicu oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, baik yang berasal dari lingkungan keluarga, sosial, maupun dari karakter individu. Berikut adalah beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan di sekolah:

1. Lingkungan Keluarga

Keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan sikap anak. Ketika seorang anak tumbuh di lingkungan keluarga yang penuh kekerasan, baik verbal maupun fisik, mereka cenderung meniru perilaku tersebut di lingkungan sekolah. Kekerasan yang terjadi di rumah dapat memicu anak untuk me lampiaskan rasa frustrasinya terhadap teman temannya di sekolah (Purnamasari, 2018).

2. Pengaruh Teman Sebaya

Salah satu faktor kuat yang mendorong terjadinya kekerasan di sekolah adalah tekanan dari kelompok sebaya. Anak-anak sering kali ingin diterima oleh teman-temannya, dan terkadang mereka terlibat dalam perilaku kekerasan sebagai cara untuk menunjukkan kekuasaan atau mencari pengakuan (Santrock, 2008).

3. Pengaruh Media

Paparan terhadap kekerasan melalui televisi, film, atau permainan video membuat anak cenderung menganggap kekerasan sebagai hal yang normal dan diterima (Sudrajat, 2013).

4. Lingkungan Sekolah yang Tidak Mendukung

Sekolah yang kurang memiliki pengawasan dan aturan pencegahan kekerasan yang jelas memberikan peluang lebih besar bagi kekerasan untuk terjadi (Mulyasa, 2015).

5. Faktor Psikologis Individu Anak

Anak dengan masalah psikologis yang belum terdeteksi sering kali menggunakan kekerasan sebagai cara untuk menghadapi perasaan tidak aman atau trauma mereka (Fathoni, 2020).

Pelaku kekerasan di sekolah biasanya memiliki ciri-ciri tertentu. Mereka bisa datang dari berbagai latar belakang, tetapi sering kali memiliki masalah emosional atau perilaku yang mengganggu. Misalnya, pelaku sering menunjukkan perilaku agresif atau kurang empati terhadap orang lain. Pelaku kekerasan sering kali berjuang dengan ketidakstabilan emosional yang mendorong mereka untuk berperilaku agresif (Sudrajat, 2013).

Selain itu, banyak pelaku yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak mendukung, seperti keluarga yang sering bertengkar atau kurang perhatian. Anak yang hidup dalam lingkungan yang tidak harmonis lebih rentan menjadi pelaku kekerasan di sekolah (Mulyasa, 2015).

Dalam banyak situasi, pelaku merasa terancam atau tidak berdaya, sehingga mereka menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan atau kontrol dari teman-teman mereka. Sering kali pelaku melakukan kekerasan untuk menutupi rasa tidak aman yang mereka alami dalam hidup sehari-hari (Rachmawati, 2014).

Korban kekerasan di sekolah umumnya adalah siswa yang lebih rentan, baik secara fisik maupun emosional. Mereka sering kali memiliki penampilan yang berbeda, merasa kurang percaya diri, atau kesulitan berinteraksi dengan teman sebaya.

Siswa yang dianggap berbeda dari teman-temannya lebih sering menjadi sasaran kekerasan, terutama bullying (Purnamasari, 2018). Banyak korban merasa terasing dan tidak punya dukungan dari teman atau keluarga.

Korban kekerasan sering kali merasa sendirian dan tidak tahu kepada siapa mereka bisa bercerita (Sudrajat, 2013). Ketidakmampuan untuk berbagi pengalaman membuat mereka lebih sulit untuk mendapatkan bantuan, sehingga siklus kekerasan ini terus berlanjut. Banyak siswa yang mengalami kekerasan memilih untuk tidak melaporkan karena takut atau merasa malu (Mulyasa, 2015).

Untuk mengatasi bullying, ada beberapa langkah yang bisa diambil, baik melalui jalur hukum maupun pencegahan:

1. Penegakan Hukum

Pemerintah perlu bertindak tegas dalam menangani kasus bullying. Bullying yang masuk kategori tindak pidana harus diproses secara hukum, sehingga pelaku menerima hukuman yang setimpal. Hal ini penting untuk memberikan efek jera dan menegaskan bahwa kekerasan tidak boleh dibiarkan (Rahardjo, Ilmu Hukum, 2000).

2. Pendidikan Karakter

Sekolah harus mengajarkan nilai nilai seperti empati, toleransi, dan kerja sama. Pendidikan karakter ini penting agar siswa belajar menghargai satu sama lain dan menghindari perilaku agresif (Putra, Bandung).

3. Dukungan Psikologis

Korban bullying perlu mendapatkan dukungan psikologis, baik melalui konseling di sekolah maupun bantuan dari profesional. Ini sangat membantu mereka untuk pulih dan mendapatkan kembali rasa percaya diri (Kansil, 1986).

4. Peran Orang Tua dan Masyarakat

Orang tua dan masyarakat perlu lebih peduli dan terlibat dalam kehidupan anak-anak. Lingkungan keluarga yang mendukung dan kampanye kesadaran di masyarakat dapat membantu mencegah terjadinya bullying (Hadjon, 1987).

5. Pendekatan Non-hukum

Pelaku bullying, terutama anak anak, sebaiknya dibimbing dan didampingi, bukan hanya dihukum. Pendekatan seperti rehabilitasi atau mediasi antara pelaku dan korban bisa menjadi solusi yang lebih efektif untuk menyelesaikan masalah tanpa kekerasan (Rahardjo, 2009).

Simpulan dan Saran

Kekerasan di sekolah, terutama perundungan, adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan karena dapat merusak perkembangan karakter siswa. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, seperti lingkungan keluarga, pengaruh dari teman sebaya, media yang memperlihatkan kekerasan, dan masalah psikologis yang belum tertangani. Kurangnya pengawasan di sekolah juga sering kali memperparah situasi.

Untuk mengatasi hal ini, kita perlu langkah nyata seperti menegakkan aturan yang tegas, mendidik siswa dengan nilai-nilai kebaikan, memberikan dukungan emosional bagi korban, serta mendampingi pelaku agar mereka bisa berubah. Sekolah, keluarga, dan masyarakat perlu lebih peduli dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak.

Daftar Pustaka

  • Darmawan, A. (2019). Pendidikan Karakter: Mencegah Bullying di Sekolah. Bandung: Pustaka Setia.
  • Elaine, M. (2024, Maret Sabtu). KPAI Ungkap Sekitar 3.800 Kasus Perundungan Sepanjang 2023, Hampir Separuh Terjadi di Lembaga Pendidikan. Diambil kembali dari suarasurabaya.net: https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2024/kpai-ungkap-sekitar-3-800-kasus-perundungan-sepanjang-2023-hampir-separuh-terjadi-di-lembaga-pendidikan/
  • Fathoni, A. (2020). Psikologi Perkembangan Anak: Teori dan Aplikasi dalam Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang Press.
  • Hadjon, P. M. (1987). Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi. Surabaya: Bina Ilmu.
  • Kansil, C. S. (1986). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Mulyasa, E. (2015). Manajemen Pendidikan: Teori, Praktik, dan Penelitian. Bandung: Rosda Karya.
  • Purnamasari, D. (2018). Kekerasan dalam Pendidikan: Kajian terhadap Bullying dan Dampaknya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  • Putra, L. R. ( Bandung). Hukum dalam Perspektif. 2003: Mandar Maju.
  • Rachma, A. W. (2022). Upaya Pencegahan Bullying di Lingkup Sekolah. Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi, Volume 10, Nomor 2, 242.
  • Rachmawati, E. (2014). Pendidikan Karakter untuk Mengurangi Kekerasan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Rahardjo, S. (2000). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
  • Rahardjo, S. (2009). Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing.
  • Santrock, J. W. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
  • Sudrajat, A. (2013). Kekerasan di Sekolah: Sebuah Tinjauan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Yusuf, S. (2001). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdikarya.

Biodata Penulis:

Aisyah Mutmainnah saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi S1 Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid.

© Sepenuhnya. All rights reserved.