Belakangan ini Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) tidak lagi terbatas pada kehidupan sosial sehari-hari saja, tetapi telah menyebar luas di berbagai platform media sosial seperti TikTok. Salah satu trend yang menarik perhatian adalah meningkatnya minat untuk mendaki Gunung Lawu, sebuah gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Banyak pengguna TikTok yang membagikan pengalaman dan dokumentasi mereka mendaki gunung ini, menyebabkan orang lain merasa ketinggalan jika belum pernah merasakan pengalaman serupa. Namun, apakah fenomena ini semata-mata karena ketertarikan alami pada alam, atau lebih didorong oleh keviralan?
Antara Suka Alam atau Tekanan Sosial
Tidak bisa dipungkiri, keindahan Gunung Lawu memang memikat. Gunung ini menawarkan pemandangan yang luar biasa, udara segar, dan kesempatan untuk merasakan ketenangan batin yang jarang ditemukan di kota-kota besar. Banyak pendaki yang mengaku merasakan ketenangan batin setelah mendaki gunung ini. Bagi sebagian orang, mendaki gunung adalah cara untuk refreshing diri dari rutinitas sehari-hari dan menyatu dengan alam. TikTok sebagai platform hanya membantu melihatkan keindahan tersebut kepada lebih banyak orang, sehingga banyak yang merasa terinspirasi untuk mencoba sendiri.
Tapi, di sisi lain, banyak juga yang naik Gunung Lawu dari rasa FOMO. Dengan begitu banyak video yang menampilkan pemandangan menakjubkan dari puncak gunung, pengguna TikTok merasa seakan-akan mereka harus mengikuti trend ini agar tidak merasa tertinggal dari lingkungannya. Bikin kita jadi ngerasa kayak “Wah, Gue juga harus ke sana nih, biar nggak ketinggalan. Pemandangannya juga keren”. Setiap kali melihat seseorang berhasil mendaki dan memamerkan pencapaian mereka, ada dorongan sosial yang kuat untuk melakukan hal yang sama.
Pengalaman Pribadi atau Demi Konten Sosial
Saat memutuskan buat mendaki Gunung Lawu, penting buat nanya ke diri sendiri “Gue naik gunung buat apa yaa? Buat ketenangan diri sendiri atau biar punya konten di medsos?” Bagi yang suka tantangan dan petualangan, Gunung Lawu menawarkan pengalaman mendalam. Mereka mendaki karena mau menikmati perjalanan itu sendiri, bukan sekadar buat pamer foto dan video di TikTok.
Tapi beda cerita dengan yang terjebak FOMO. Mereka naik gunung, bukan buat ngerasain alam, tapi lebih buat bikin konten keren di TikTok. Di mana pendaki merasa harus tampil sempurna di media sosial agar bisa mendapat pengakuan dari viewersnya.
Realita atau Harapan
Yang sering bikin salah kaprah, TikTok cuma nampilin momen-momen bagus dari pendakian kaya sunrise, sunset, atau kebersamaan di puncak gunung. Padahal, kenyataannya, mendaki Gunung Lawu itu nggak gampang. Jalurnya curam, cuacanya nggak nentu, dan pasti bikin capek banget. Buat yang cuma ikut-ikutan trend, realita kayak gini bisa jadi bikin kaget.
Tapi, buat yang udah siap mental dan fisik, mendaki Gunung Lawu tetep jadi pengalaman yang memuaskan. Mereka yang mendaki buat diri sendiri, nggak terlalu peduli soal ekspektasi sosial. Mereka tahu, pendakian itu soal proses, bukan sekadar nyampe di puncak dan dapat foto bagus buat diposting.
Jadi, tren mendaki gunung ini viral banget di TikTok, bikin orang-orang merasa harus ikutan biar gak ketinggalan. Ada yang memang tertarik sama keindahan Gunung Lawu, pemandangan yang keren, dan suasana tenang di alam. Tapi di sisi lain, banyak juga yang mendaki karena tekanan sosial ataupun FOMO, pengen ikut trend dan punya konten buat diunggah di media sosial.
Bedanya, ada pendaki yang benar-benar mencari pengalaman pribadi dan tantangan dari pendakian, sedangkan sebagian besar pengguna TikTok lebih fokus gimana hasil foto atau video mereka nanti. Di TikTok, momen-momen seru seperti matahari terbit dan tenggelam atau pemandangan indah sering ditampilkan, padahal kenyataan mendaki Lawu itu berat dan medannya curam, cuaca nggak nentu, dan fisik harus kuat. Bagi yang cuma ikut trend, kadang realita ini bikin kaget, tapi bagi pendaki sejati, pengalaman mendaki lebih dari sekadar konten, itu soal proses dan kepuasan diri.