Apa sih yang melatarbelakangi terjadinya konflik antara Palestina dan Israel? Awal mula konflik Palestina-Israel bermula dari abad ke-20, ketika kesultanan Ottoman (Turki) dikalahkan oleh Inggris dalam Perang Dunia ke-1. Kemudian wilayah Palestina diambilalih oleh Inggris. Di tahun 1917, Deklarasi Balfour mendukung pendirian rumah nasional Yahudi di Palestina. Hal ini menjadi penyebab bangsa Yahudi dari berbagai belahan dunia datang ke tanah Palestina. Di periode ini, imigrasi Yahudi meningkat, dan ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab-Palestina meningkat.
Setelah Perang Dunia ke-2, PBB mengambilalih mandat Palestina yang sebelumnya dikuasai oleh Inggris. PBB membagi wilayah tersebut menjadi 2 wilayah, satu untuk Arab-Palestina dan bangsa Yahudi. Namun Arab-Palestina menolak atas pembagian tersebut, hal ini menjadi pemicu perang Arab-Israel pertama pada tahun 1948 yang dimenangkan oleh Israel, ini menjadi penyebab terbentuknya negara Israel.
Konflik ini bukan hanya berdampak pada orang dewasa melainkan juga berdampak besar pada anak-anak Palestina yang tinggal di zona perang. Mereka sering mengalami trauma, kekurangan akses ke pendidikan, serta keterbatasan fasilitas kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Hal ini menjadi pendorong banyaknya keluarga dan orang tua di berbagai belahan dunia untuk mencari cara terbaik dalam mendidik anak-anak tentang empati, perdamaian, dan keadilan sosial sambil menjaga kesejahteraan psikologis mereka di tengah ketegangan global ini.
Di tengah situasi yang penuh ketegangan ini, tantangan besar yang dihadapi oleh orang tua dalam mendidik dan menjaga kesehatan mental anak-anak mereka. Untuk itu diperlukan solusi agar generasi muda dapat tumbuh dengan pemahaman yang lebih baik mengenai pentingnya perdamaian.
1. Menanamkan Nilai-Nilai Kemanusiaan dan Perdamaian Sejak Dini
Di tengah konflik yang penuh kekerasan, penting bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan perdamaian kepada anak-anak mereka sejak dini. Mengajarkan anak tentang menghargai perbedaan, pentingnya berdialog, dan menyelesaikan konflik dengan cara damai dapat membentuk karakter mereka untuk tidak melanjutkan siklus kekerasan.
Orang tua harus menjadi contoh dalam memperlakukan orang lain dengan hormat, meskipun berbeda pendapat.
2. Melindungi Kesehatan Mental Anak
Kehidupan di bawah bayang-bayang konflik berpotensi memicu trauma pada anak. Orang tua perlu peka terhadap kondisi mental anak-anak mereka. Membangun komunikasi terbuka dan pendengar menjadi sangat penting agar anak merasa aman untuk mengekspresikan kekhawatiran, kebingungan, atau kecemasan mereka.
Orang tua bisa membantu anak memahami perasaannya serta memberikan ruang untuk menenangkan diri melalui aktivitas yang kreatif dan menenangkan, seperti bermain, menggambar, atau membaca cerita.
3. Mengedukasi Anak tentang Konflik dengan Cara yang Bijaksana
Penting bagi orang tua untuk menjelaskan kepada anak tentang konflik yang terjadi dengan bahasa yang sesuai usia. Tujuannya bukan untuk menanamkan kebencian, tetapi untuk memberikan pemahaman tentang realitas kehidupan yang mereka hadapi, serta bagaimana mereka bisa terlibat dalam menciptakan perdamaian.
Hindari narasi yang mengajarkan kebencian atau kekerasan, namun fokus pada solusi perdamaian dan sikap saling menghargai.
Harapannya semoga ke depan adanya generasi yang berorientasi pada perdamaian, diharapkan bahwa dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian sejak dini, anak-anak akan tumbuh menjadi individu yang menghargai perbedaan dan lebih cenderung memilih jalur dialog dalam menyelesaikan konflik, mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan di masa depan.
Membangun Kesadaran Kritis Tanpa Kebencian
Harapan lainnya adalah anak-anak dapat memahami konflik dengan sudut pandang yang kritis namun tetap mengedepankan rasa kemanusiaan, tanpa menumbuhkan kebencian terhadap pihak lain. Dengan harapan-harapan ini, diharapkan generasi mendatang dapat menghadapi tantangan dengan cara yang lebih positif dan konstruktif, berperan dalam menciptakan dunia yang lebih damai dan berkeadilan.
Biodata Penulis:
Moh. Rafif Irhab lahir pada tanggal 29 September 2006 di Pekalongan.