Ketika Si Pendiam Menjadi Target Bullying: Korban yang Terlupakan

Saya masih ingat saat berada di bangku SMP, saya memiliki seorang teman perempuan yang pendiam. Meski namanya tidak akan saya sebutkan, ejekan yang ..

Pernahkah kita merenung, mengapa mereka yang pendiam sering kali menjadi sasaran empuk bullying? Mengapa justru orang-orang yang tampak tidak melawan malah menjadi target paling rentan? Fenomena ini kerap terlihat di sekitar kita, baik di sekolah, lingkungan sosial, maupun di media sosial. Banyak yang salah mengartikan keheningan seseorang sebagai tanda bahwa mereka menerima perlakuan buruk tersebut. Padahal, keheningan itu bisa jadi cerminan dari ketidakberdayaan mereka, terjebak dalam lingkaran kekerasan yang tak terlihat mata.

Saya masih ingat saat berada di bangku SMP, saya memiliki seorang teman perempuan yang pendiam. Meski namanya tidak akan saya sebutkan, ejekan yang kerap dialamatkan kepadanya sangatlah nyata. "Kebo," begitu teman-teman memanggilnya hanya karena tubuhnya dianggap berlebihan. Ejekan ini bukan sekadar sapaan kasar, ada satu kejadian yang membekas dalam ingatan saya. Saat itu, kami berada di lapangan, dan beberapa teman laki-laki mulai merekam dirinya ketika dia berjalan. Mereka memanggilnya, “Hai kebo!” sambil tertawa, dan video itu menjadi bahan candaan seharian.

Ketika Si Pendiam Menjadi Target Bullying

Teman saya hanya membisu. Dia tidak membalas, tidak melawan—hanya terus berjalan seolah-olah semuanya tak terjadi. Namun, diamnya bukanlah tanda kekuatan atau ketidakpedulian, melainkan cara bertahan dalam menghadapi rasa malu yang semakin mendalam. Sikapnya menunjukkan betapa beratnya beban bullying ini bagi seorang korban dan bagaimana hal tersebut dapat mengikis kepercayaan diri mereka sedikit demi sedikit.

Sayangnya, kasus seperti ini sering kali tak dihiraukan. Anak-anak pendiam jarang melapor, tidak menunjukkan protes besar, dan seakan-akan larut dalam bayang-bayang mereka yang lebih vokal. Karena tidak ada reaksi, lingkungan sekitar kerap kali menganggap mereka “baik-baik saja.” Inilah yang membuat bullying terhadap si pendiam begitu berbahaya—mereka terluka dalam senyap, membawa rasa rendah diri, ketidakpercayaan diri, bahkan depresi.

Saya melihat dampak ini secara langsung pada teman saya. Setelah terus-menerus dijuluki "kebo," ia mulai menarik diri dari lingkaran pertemanan, berbicara lebih jarang, dan kepercayaan dirinya semakin terkikis. Meski begitu, saya berusaha tetap di sisinya. Ketika SMP, saya sering menemaninya mengobrol saat menunggu jemputan. Saya selalu mencoba memberinya semangat, dan ketika teman-teman laki-laki kembali mengganggunya, saya sering mengingatkan mereka untuk berhenti.

Anak-anak yang pendiam kerap dianggap sebagai target mudah karena mereka dianggap tidak akan melawan. Ketika yang lain bisa bersuara atau bahkan melawan balik, si pendiam terpaksa menahan rasa sakit dan penghinaan sendiri. Inilah yang membuat penderitaan mereka sering kali luput dari perhatian.

Namun, ada secercah harapan. Setelah kami berpisah setelah SMP, beberapa waktu lalu, saya bertemu kembali dengannya. Ia telah berubah drastis. Ia tidak lagi pendiam seperti dulu. Kini, ia memiliki banyak teman, aktif dalam berbagai kegiatan, dan jauh lebih percaya diri dalam berbicara. Meskipun luka masa lalu mungkin masih ada, ia telah berkembang menjadi pribadi yang jauh lebih kuat.

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa meski korban bullying dapat mengalami masa-masa kelam, banyak dari mereka yang mampu bangkit dan menemukan kekuatan dalam diri. Namun, tak semua korban seberuntung itu. Oleh karena itu, sebagai generasi muda, kita perlu lebih peka dan peduli. Mereka mungkin tidak bersuara keras, tapi bukan berarti mereka tidak terluka.

Di era digital ini, di mana bullying juga merambah ke media sosial, kita perlu lebih bijak dalam berinteraksi. Komentar tajam atau candaan yang terlihat sepele bisa menambah beban seseorang yang sedang rapuh. Kita tidak pernah tahu seberapa dalam luka yang bisa ditinggalkan oleh tindakan kita.

Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan terus mengabaikan suara-suara diam ini, atau memilih untuk menghentikan siklus kekerasan ini? Mereka yang pendiam membutuhkan dukungan kita semua. Mari kita ciptakan lingkungan yang aman dan menghargai setiap individu, baik yang vokal maupun yang tenang.

Biodata Penulis:

Diva Valencia Christianarta saat ini aktif sebagai mahasiswa, prodi Informatika, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.