Pelecehan terhadap perempuan kerap kali terjadi dalam berbagai bentuk dan situasi, terutama ketika mereka berusia anak-anak. Dalih bahwa “masih kecil” sering kali dijadikan alasan untuk menutupi kenyataan pahit yang telah dialami oleh korban dan mencegah korban untuk berbicara. Pola pelecehan ini tidak hanya merusak fisik, namun membekas dalam psikologis korban. Dalam banyak kasus, para perempuan terbungkam, baik karena rasa takut, ketidakpahaman situasi, ataupun tekanan dari lingkungan disekitarnya.
Pada awalnya, korban yang masih berusia anak-anak sering kali tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban pelecehan. Kasus-kasus pelecehan dimulai dari lingkungan terdekat, seperti rumah, sekolah, atau di lingkungan luar. Parahnya pelaku pelecehan sering kali adalah seseorang yang memiliki hubungan erat dan dekat dengan pelaku yang membuat pelaku merasa semakin sulit untuk melawan atau melaporkan kejadian bejat dan pahit tersebut.
Saat masih kecil, banyak perempuan yang diajarkan bahwa berbicara tentang pelecehan atau kekerasan ialah hal-hal yang tabu. Pada lingkungan sosial, anak perempuan diajarkan untuk patuh dan diam. Yang kemudian norma inilah dijadikan dalih bagi para pelaku dapat bertindak seenaknya dan merasa aman karena korban terlalu takut ataupun malu untuk mengungkapkan apa yang terjadi.
Beberapa tahun lalu, sebuah peristiwa kelam membuat saya terjebak dalam trauma yang mendalam. Kala itu, saya hanya seorang anak kecil yang tak mempunyai keberanian untuk melawan dan melaporkan perlakuan bejat yang saya alami. Saya malah memilih untuk diam, menyimpan luka sendirian, terbelenggu dalam trauma yang hanya saya yang tahu.
Awal mula kejadian menjijikkan itu terjadi saat saya sedang bermain petak umpet dengan sepupu saya. Saat bersembunyi, tanpa diduga, dia dengan kepercayaan diri yang penuh melakukan pelecehan terhadapku. Setelah kejadian itu, setiap kali melihatnya, perasaan benci dan muak selalu meluap-luap. Wajahnya menjadi pengingat dari luka yang sulit diungkapkan. Keputusan untuk diam justru semakin memperburuk rasa benci yang terus tumbuh dalam diri saya.
Dia mengancamku dengan kalimat yang terus terngiang di kepala, "Kamu masih kecil, nggak ada yang bakal percaya," dan "Selama kamu diam, aku nggak akan macam-macam." Kata-kata itu mencabut keberanianku, membuatku tak sanggup menceritakan kejadian itu kepada orang tua. Seolah status "masih kecil, nggak ngerti apa-apa" memberinya kekuatan untuk bertindak sesuka hati.
Semenjak kejadian itu, keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman namun malah menjadi lingkungan pertama yang merendahkan kedudukan anak perempuan. Bertahun-tahun berlalu tanpa ada yang menyadari penderitaan yang saya alami. Hari demi hari, saya terbelenggu dalam trauma dan ketakutan, semakin terpuruk dalam penderitaan. Rasa bersalah pun mulai menghantui, merasa bahwa saya seharusnya berbicara lebih awal meski saya sendiri tidak yakin apakah ada yang akan mendengarkan saya.
Inilah yang menjadi salah satu faktor dilema yang dihadapi oleh perempuan muda yang menjadi korban pelecehan. Di satu sisi, mereka berbicara dan mencari keadilan namun disisi lain, mereka dibebani oleh stigma bahwa mereka terlalu muda untuk dipedulikan. Ketakutan untuk speak up semakin diperparah oleh norma sosial yang masih memandang rendah perempuan, terutama yang berusia muda.
Dampak dari kejadian ini menyimpan trauma yang mendalam yang sangat berdampak pada kesehatan mental di kemudian hari. Dari kejadian buruk itu membuat mereka para korban pelecehan mengalami kecemasan, depresi, atau PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) karena ketidakmampuan untuk mengungkapkan pengalaman buruk yang menimpa mereka. Mereka tumbuh dengan perasaan takut, malu, dan tidak berharga. Pelecehan yang terjadi di masa kecil ini, sering kali membawa dampak jangka panjang, mempengaruhi cara korban berinteraksi dengan orang lain, bahkan dalam kehidupan dewasanya.
Korban bisa merasa bersalah sepanjang hidupnya, meskipun seharusnya mereka tidak pernah disalahkan atas apa yang terjadi. Rasa bersalah ini muncul akibat tekanan sosial dan ketidakmampuan mereka untuk berbicara saat masih kecil. Sayangnya, banyak korban yang memilih untuk tetap diam hingga dewasa, karena sudah terbiasa hidup dalam perasaan takut dan malu.
Korban harus diberi ruang untuk menyuarakan kejadian bejat itu tanpa takut akan stigma atau hukuman. Dengan membuka ruang aman bagi anak-anak perempuan, diharapkan mereka tidak lagi terbungkam oleh dalih "masih kecil" dan berani speak up untuk melindungi diri mereka sendiri.
Pelecehan terhadap anak kecil sering kali tidak terungkap karena mereka dianggap "belum cukup paham" atau "masih kecil," sehingga takut untuk speak up. Mereka terbungkam oleh rasa takut dan tekanan sosial yang membuat suara mereka tak terdengar. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk menciptakan lingkungan yang aman dan suportif, di mana anak-anak merasa didukung untuk berbicara dan melawan ketidakadilan. Hanya dengan membangun perlindungan nyata, kita bisa menghentikan siklus pelecehan yang menimpa perempuan sejak dini.
Biodata Penulis:
Deoshi Anessah Zheren Areja lahir pada tanggal 21 Juni 2006.