Bayangkan ini: tengah malam, semua lampu padam, dan yang tersisa hanyalah keheningan yang membeku. Namun, di dalam kepala saya, tidak ada yang sunyi. Ketakutan mulai menghantui. Pikiran saya dipenuhi oleh segala sesuatu yang horor dari bayangan di balik pintu hingga suara aneh di luar jendela. Di saat seperti ini, tidur bukan lagi tentang istirahat, melainkan tentang berperang dengan diri sendiri dalam kegelapan yang tak berujung.
Sebagai orang dewasa, saya sering kali merasa bahwa ketakutan hanyalah sesuatu yang kita pelajari untuk kendalikan. Namun, ketika lampu mati, rasanya semua keyakinan itu sirna. Kegelapan memicu imajinasi liar saya, menghidupkan segala macam skenario menakutkan yang mungkin pernah saya lihat di film horor atau cerita seram di internet. Setiap bunyi kecil entah itu angin berbisik atau tikus yang bergerak di atap tiba-tiba menjadi bagian dari kisah menakutkan yang ingin saya hindari.
Ini bukan hanya soal kegelapan itu sendiri, tetapi juga pengalaman fisik yang sering kali menyakitkan. Hampir setiap kali saya bangun dari tidur dalam kondisi lampu mati, saya merasa tidak memiliki arah yang jelas. Saat saya mencoba keluar dari tempat tidur, yang terjadi malah menghantam dinding dengan keras. Kejadian seperti itu bukanlah pengalaman yang menyenangkan, dan rasa sakitnya pun sering kali berlangsung lebih lama dari ketakutan yang saya rasakan.
Pertanyaan yang sering muncul di kepala saya adalah, mengapa kita sebagai manusia merasa sangat rentan dalam kegelapan? Apakah ketakutan ini murni diciptakan oleh pikiran kita, atau ada alasan biologis yang membuat kita merasa lebih takut saat tidak bisa melihat apa pun? Mungkin ini adalah bentuk insting bertahan hidup yang diwariskan dari leluhur kita, saat kegelapan berarti bahaya nyata, seperti hewan buas atau musuh yang mengintai. Tapi, di zaman sekarang, rasanya ketakutan itu lebih beralih ke hal-hal yang tidak terlihat namun sama-sama menyeramkan.
Ketakutan terhadap kegelapan ini sepertinya lebih sering muncul saat saya kehilangan kendali. Ketika lampu menyala, semuanya terasa lebih pasti. Saya tahu di mana saya berada, apa yang ada di sekitar saya, dan bagaimana saya bisa mengendalikan situasi. Tapi begitu lampu padam, dunia saya berubah menjadi teka-teki yang penuh misteri. Pikiran saya mulai fokus pada hal-hal yang tidak bisa saya lihat, sehingga tidur dalam kegelapan terasa jauh lebih menantang.
Saya menyadari bahwa kegelapan tidak hanya mempengaruhi fisik saya, tetapi juga mental saya. Pikiran-pikiran yang sebelumnya terkendali, kini berkelana tanpa batas. Saya mulai memikirkan hal-hal yang membuat saya cemas, khawatir tentang masa depan, atau bahkan membayangkan hal-hal buruk yang tidak masuk akal. Di saat seperti inilah, tidur menjadi hal yang sulit dicapai.
Hal yang memperparah situasi adalah kebiasaan saya sebelum tidur. Saya cenderung scroll TikTok atau menonton video di YouTube sebelum tidur. Ketika listrik mati, rutinitas ini terganggu, dan saya tidak punya cara untuk mengalihkan pikiran saya dari ketakutan yang mulai muncul. Tidak ada video lucu atau vlog perjalanan yang bisa mengisi kepala saya, hanya kegelapan dan keheningan yang membuat pikiran saya meresap ke dalam ketakutan yang tidak beralasan.
Selain ketakutan mental, saya sering mengalami insiden fisik yang membuat pengalaman tidur dalam gelap semakin tidak menyenangkan. Suatu malam, saya terbangun tiba-tiba karena mimpi buruk. Dalam kepanikan, saya bangkit dari tempat tidur tanpa pikir panjang, dan "BRAK!" wajah saya langsung menghantam dinding dengan keras. Saat itu saya benar-benar merasa kegelapan bukan hanya membuat saya takut, tetapi juga membuat saya rentan terhadap kecelakaan.
Ini bukanlah kejadian yang langka. Beberapa kali saya mengalami hal yang sama. Pernah juga, saya terbentur siku saya ke dinding kamar ketika bangun dengan terburu-buru. Saya menyadari bahwa, tanpa cahaya, saya kehilangan arah dan menjadi lebih rentan terhadap cedera. Setelah kejadian-kejadian tersebut, saya mulai mempertimbangkan untuk menyalakan lampu kecil atau senter ponsel sebagai solusi sementara.
Salah satu solusi yang saya temukan adalah menyalakan sedikit cahaya. Menyalakan lampu kecil atau senter dari ponsel ternyata bisa membantu mengurangi ketakutan saya. Saya tahu ini bukan solusi jangka panjang, tetapi setidaknya, saya tidak perlu khawatir akan menabrak dinding setiap kali terbangun di tengah malam. Cahaya kecil ini menjadi semacam zona aman yang membantu saya merasa lebih nyaman.
Selain itu, saya juga mulai mencoba metode lain untuk mengatasi ketakutan. Salah satunya adalah dengan mencoba menenangkan pikiran sebelum tidur. Alih-alih memikirkan hal-hal negatif atau menakutkan, saya mencoba merenungkan hal-hal positif. Saya juga mulai mendengarkan musik dari aplikasi di ponsel saya, seperti lagu-lagu pop atau Video Call dengan cowok saya, yang dapat membantu menciptakan suasana yang lebih tenang. Meskipun tidak selalu berhasil, metode ini setidaknya memberi saya cara untuk mengalihkan pikiran dari ketakutan.
Namun, saya harus mengakui bahwa ada malam-malam di mana tidak ada yang benar-benar bekerja. Ada kalanya saya tetap terjaga di tempat tidur, menunggu fajar tiba. Dalam saat-saat seperti itu, saya mencoba menerima bahwa rasa takut adalah bagian dari pengalaman hidup. Tidak apa-apa merasa takut. Tidak apa-apa merasa rentan. Yang penting adalah bagaimana kita merespons ketakutan itu, bukan menghilangkannya sepenuhnya.
Setelah semua pengalaman ini, saya mulai bertanya-tanya, apakah kegelapan benar-benar musuh saya? Mungkin tidak. Saya mulai menyadari bahwa ketakutan saya terhadap kegelapan lebih kepada ketakutan saya terhadap hal-hal yang tidak saya ketahui atau kendalikan. Kegelapan menjadi simbol dari segala sesuatu yang tidak bisa saya kendalikan dalam hidup entah itu emosi, situasi, atau bahkan masa depan yang tidak pasti.
Kini, saya berusaha untuk berdamai dengan kegelapan. Saya masih takut, itu tidak berubah. Tapi saya tidak lagi melihat kegelapan sebagai musuh yang harus dilawan. Terkadang, kegelapan hanya butuh diterima. Dan, siapa tahu, mungkin suatu hari nanti saya akan bisa tidur nyenyak, meskipun tanpa seberkas cahaya.
Biodata Penulis:
Fasha Azrinas Aisha, lahir pada 2 September 2005, saat ini ia aktif sebagai Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Surakarta, Jurusan Keperawatan.