Pada suatu saat, dirimu sedang mengantri untuk mengambil uang di ATM, antrian yang cukup panjang, membuatmu gelisah, berusaha menghilangkan rasa bosan menggunakan handphone yang berada di sakumu, namun kamu sadari bahwa handphonemu telah mati karena kehabisan daya, panik, bingung harus bagaimana menghadapi waktu yang masih tersisa banyak untuk menunggu antrian yang cukup lama. Apa yang kamu lakukan? Berdiam diri layaknya orang gila?
Banyak orang yang memilih untuk merasakan rasa sakit daripada berdiam diri menunggu di kebosanan. Setidak ingin itu manusia merasakan kebosanan. Hal tersebut menggambarkan jelas bahwa manusia tidak bisa ditinggalkan sendiri dengan pikirannya saja, mereka lebih memilih kesakitan daripada menghadapi apa yang ada di pikirannya.
Di zaman modern ini kebosanan adalah musuh bebuyutan kita semua. Kita mensenjatai diri kita sendiri dengan alat alat elektronik seperti handphone, komputer dan bermain media sosial berjam-jam hanya untuk menghilangkan kebosanan. Namun sesungguhnya usaha untuk menghilangkan kebosanan ini menghancurkan kita perlahan lahan dari dalam.
Nilai Tersembunyi dari Kebosanan
Keengganan kita terhadap kebosanan mungkin sebenarnya merampas sesuatu yang imperatif dari diri kita. Kita hidup di dunia yang dirancang untuk membuat kita terus-menerus terstimulasi. Ponsel kita terus berbunyi dengan notifikasi, layanan spilling otomatis memutar scene berikutnya, dan iklan menyerang mata kita dari segala arah. Kita telah mengembangkan respons terhadap sedikit saja jeda dalam stimulasi saat kita merasakan kebosanan, kita langsung mencari gangguan terdekat seolah-olah itu adalah pelampung di lautan kehampaan.
Padahal, kebosanan memiliki fungsi penting dalam otak dan kehidupan kita. Ini bukan sekadar ketiadaan stimulasi, tetapi sebuah sinyal bahwa kita tidak terlibat secara bermakna dengan situasi kita saat ini. Ini adalah cara pikiran kita untuk berkata, “Hei bodoh, kamu bisa melakukan sesuatu yang lebih berarti dengan waktu terbatasmu di planet ini.” Kebosanan adalah percikan yang menyalakan kreativitas, refleksi diri, dan pertumbuhan pribadi.
Penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang mengalami kebosanan lebih mungkin untuk terlibat dalam pemikiran kreatif dan pemecahan masalah setelahnya. Kebosanan seolah-olah mempersiapkan jalan untuk inovasi. Beberapa seniman dan pemikir terbesar dalam sejarah telah menyadari keterkaitan ini. Koreografer terkenal George Balanchine, misalnya, mengklaim bahwa ia melakukan karya terbaiknya saat menyetrika pakaian.
Ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk merangkul kebosanan ini, mulailah dari hal kecil seperti memisahkan diri kita dengan handphone kita dengan meninggalkanya di rumah lalu kita pergi keluar, hindari memakai headphone, dan mencoba berjalan jalan menikmati apa yang ada di sekitar kita, biarkan pikiran kita melayang kemana ia membawa kita.
Mungkin untuk awalan akan terasa sangat aneh dan berat, otak yang selalu terstimulasi terus-menerus, mungkin akan merasa “kehilangan”. Bahkan kita sendiri mungkin akan berangan-angan untuk datangnya gangguan agar tidak bosan dan mengalihkan perhatian.
Tapi, coba saja terus. Perlahan-lahan, kamu bisa menemukan bahwa waktu-waktu sunyi itu justru jadi kesempatan berharga untuk merenung dan menyegarkan diri, bukan sekadar kekosongan yang harus diisi.
Biodata Penulis:
Puthut Bagus Ferdyansyah, lahir pada tanggal 27 April 2005, saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.