Guru mempunyai julukan “Pahlawan tanpa tanda jasa.” Benar adanya, seorang guru harusnya mampu memberikan pelajaran dan contoh yang baik bagi murid-muridnya. Murid-murid pasti sudah percaya bahwa guru adalah tokoh orang tua di sekolah. Tapi hal ini tidak terjadi di salah satu Sekolah Dasar di kota Solo. SD itu memiliki guru yang tidak mencerminkan seorang guru. Beliau seperti mempunyai Sindrom Peter Pan. Beliau masih memiliki sifat seolah-seolah masih remaja yang belum menjadi seorang guru. Mungkin, karena beliau adalah guru muda. Parahnya, seorang anak berusia 8 tahun harus menanggung akibat dari sikap guru tersebut.
Anak berinisial “N” mengalami trauma atas apa yang terjadi pada dirinya 10 tahun yang lalu. Hal ini bermula ketika guru Bahasa yang lama harus mutasi ke sekolah lain dan harus diganti dengan guru honorer baru. Inisial “N” mengaku bahwa dirinya sebenarnya sangat menyukai pelajaran Bahasa tersebut saat dididik oleh guru yang lama. Setelah kedatangan guru baru, sebenarnya sang anak menerima apa adanya. Hingga suatu ketika, saat UTS sang anak mengikuti teman-temannya mencontek dalam pelajaran Bahasa tersebut. Saat inisial “N” belum sempat mencontek, ia sudah ketahuan guru bahasa itu. Sang guru hanya diam saat melihat teman lain mencontek, tetapi tidak dengan anak itu.
Anak tersebut sebenarnya sudah ikhlas dan siap dihukum karena ia menyadari perbuatannya salah, tetapi ia meminta teman yang lain juga diberi pelajaran agar adil. Permintaan anak tersebut dikabulkan, semua anak diberi pelajaran, tetapi tidak dengan anak emas guru itu di kelas. Anak emas itu berinisial “C”. Ternyata sang anak inisial “C” dan guru tersebut adalah tetangga dan orang tua dari anak “C” ini sangat dekat dengan guru tersebut.
Tidak berhenti di situ, ternyata ini adalah awal mimpi buruk bagi anak berinisial “N”. Ia tidak menyangka hal yang sudah diselesaikan baik-baik tersebut menjadi bahan olok-olokan guru tersebut. Saat hasil tes dibagi, ternyata nilai Bahasa dari anak inisial “N” ini dikurangi oleh guru tersebut. Anehnya hanya sang anak yang dikurangi nilainya, tidak dengan teman-teman kelasnya yang dulu juga dihukum. Inisial “N” ini meminta penjelasan pada guru tersebut, tapi sang guru tidak menghiraukan saat ia bicara.
Setelah kejadian itu diterima oleh inisial “N” ia berusaha tidak mencontek lagi. Tapi usaha inisial “N” ini dipatahkan oleh guru tersebut. Setiap pelajaran Bahasa anak tersebut selalu mendapat nilai buruk, padahal jawabannya benar. Sekuat apapun anak itu berusaha nilainya selalu merah. Tidak hanya itu, guru itu tidak pernah menganggap anak itu ada. Hal itu yang membuat sang anak down saat belajar Bahasa tersebut.
Waktu terus berjalan hingga kelas 4 SD. Ternyata hal tersebut menjadi merebak. Inisial “C” mulai merisak anak inisial “N” ini. Ia mengganggu apapun yang dilakukan sang inisial “N”, padahal ia hanya diam saja dan beraktivitas secara normal. Inisial “N” juga sering mendapat kata-kata buruk dan pernah dipanggil sesuatu yang tidak baik. Ia dipanggil dengan kata-kata tersebut tidak hanya satu dua kali, tapi berkali-kali. Bahkan inisial “C” pernah meminta anak-anak laki-laki untuk melakukan kekerasan fisik seperti memukul, menjambak, memberikan tulisan di punggung dan tas anak tersebut dan dibayar 1 minggu sekali.
Untung saja masih banyak guru dan anak lain yang masih peduli dengan insial “N” tersebut. Jadi anak laki-laki yang merisaknya selalu minta maaf di belakang tanpa diketahui inisial “C”, anak laki-laki juga mengaku mereka melakukan hal itu karena mereka takut dengan inisial “C” tersebut. Betapa kecewanya ternyata inisial “C” tersebut bekerja sama dengan guru Bahasa tersebut, sang anak sudah merasa tidak senang dengan pelajaran Bahasa tersebut, ditambah dengan gangguan teman sekelasnya, dan hal itu berlangsung hingga ia lulus SD.
Terjadinya hal-hal itu membuat inisial “N” selalu trauma saat pelajaran Bahasa. Saat ia di SMP ia sudah berusaha semaksimal mungkin agar nilai Bahasanya lebih baik, tapi hal itu sama saja. Ia sudah mengikuti ‘bimbel’ agar menunjang Bahasanya, tetapi hasilnya nihil. Sang anak sudah pasrah dengan yan terjadi. Ia mulai mencari jalan lain agar akademiknya bisa ditompang, akhirnya insial “N” mengikuti suatu organisasi dan berusaha mendapatkan nilai baik di pelajaran lainnya.
Hal itu berjalan hingga ia masuk SMA, ia menemukan teman-teman yang tepat yang bisa membantunya dalam belajar. Teman-temannya yang sekarang juga mengajari pelajaran Bahasa kepada anak tersebut, dan di luar nalar sang anak mulai paham dan perlahan nilai sang anak tidak pernah remidi walau hanya mendapatkan skor kecil. Teman-temannya selalu men-support apa yang dilakukan anak itu. Tentu saja hal itu membuat sang anak bangkit. Terlebih lagi mendengar inisial “C” hamil di luar nikah, itu membuat sang inisial “N” membuktikan pada guru tersebut bahwa anak murid yang selama ini dipuji dan dimanja mendapatkan batunya.
Tentu saja, seorang guru menjadi teladan yang baik bagi murid-muridnya. Bukankah guru mempunyai rasa malu, saat ia tidak berhasil mendidik muridnya hingga berhasil dan mau berusaha. Bullying bukanlah hal yang sederhana yang hanya disebut dengan olok-olokan biasa. Tetapi apabila sudah membuat sang korban trauma dan gangguan psikologis lain, hal itu sudah tidak bisa diampuni. Bagaimana menciptakan Indonesia emas apabila generasi mudanya saja dididik dengan tenaga pengajar yang kurang mendedikasi muridnya.
Biodata Penulis:
Shafa Rifkika Nur Fauziah saat ini aktif sebagai Mahasiswa Informatika di perguruan tinggi Universitas Sebelas Maret.