Bullying telah menjadi isu global yang merusak kehidupan jutaan orang di seluruh dunia, dan Korea Selatan bukanlah pengecualian. Negara yang terkenal dengan kemajuan teknologi, budaya pop seperti K-Pop dan drama, ternyata juga menyimpan masalah sosial yang kelam. Salah satunya adalah tingginya kasus bullying yang kerap berujung pada tragedi bunuh diri. Di balik kecemerlangan citra Korea di panggung dunia, terdapat sisi gelap yang harus dihadapi dengan serius, terutama terkait tekanan sosial dan kasus intimidasi di sekolah.
Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi, di mana banyak di antaranya disebabkan oleh bullying. Bullying tidak hanya tejadi di kalangan remaja saja, tetapi bullying telah ada di kalangan manapun itu. Bahkan para bintang papan atas di Korea juga mendapatkan pengalaman yang serupa. Situasi ini memicu berbagai diskusi mengenai penyebab yang mendasarinya, dan berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan bullying di Korea terus berlanjut hingga sekarang:
1. Rasisme dan Diskriminasi
Salah satu akar permasalahan bullying di Korea adalah rasisme. Meskipun negara ini berkembang pesat dalam hal ekonomi dan budaya, masyarakat Korea masih menghadapi isu diskriminasi rasial yang mendalam. Orang-orang yang memiliki latar belakang etnis yang berbeda sering kali menjadi target intimidasi. Anak-anak campuran atau imigran sering diabaikan atau dikucilkan oleh teman sekelas mereka, hanya karena penampilan mereka berbeda. Rasisme yang terjadi di lingkungan sekolah ini memperparah situasi bullying dan berdampak besar pada kesehatan mental korban.
Di Korea, homogenitas etnis sangat dijunjung tinggi, dan mereka yang tidak sesuai dengan norma mayoritas sering kali diperlakukan dengan buruk. Mereka yang menjadi korban bullying sering kali tidak memiliki tempat untuk mencari perlindungan, terutama karena masyarakat secara keseluruhan cenderung menormalisasi perilaku tersebut atau bahkan menutup mata terhadapnya. Ini menyebabkan banyak korban bullying merasa terisolasi dan terperangkap dalam situasi tanpa jalan keluar, yang pada akhirnya berkontribusi pada meningkatnya kasus bunuh diri.
2. Tekanan Sosial dan Pendidikan
Sistem pendidikan di Korea dikenal sangat kompetitif. Tekanan untuk mencapai nilai akademik yang tinggi dan diterima di universitas ternama membuat banyak siswa merasa stres dan cemas. Dalam lingkungan yang sangat kompetitif ini, bullying sering kali muncul sebagai mekanisme pertahanan bagi siswa yang ingin menunjukkan superioritas mereka atas orang lain. Mereka yang dianggap "lemah" atau "berbeda" sering kali menjadi target kekerasan verbal maupun fisik.
Selain itu, tekanan sosial untuk "menyesuaikan diri" juga sangat kuat di Korea. Mereka yang tidak mampu mengikuti arus tren atau standar kecantikan yang ada kerap menjadi bahan ejekan. Bullying di sekolah sering kali bukan hanya tentang fisik, tetapi juga tentang pelecehan emosional yang sangat menyakitkan. Para pelaku bullying biasanya memanfaatkan media sosial untuk mempermalukan korban di depan umum, yang semakin memperburuk situasi.
Di balik situasi ini, masyarakat Korea juga ikut berperan dalam menyuarakan kasus bunuh diri. Salah satu langkah penting yang diambil oleh masyarakat Korea untuk menyuarakan masalah ini adalah dengan menampilkan isu bullying dalam drama-drama Korea. Drama seperti "School 2015" dan "The Glory" mengangkat isu bullying secara eksplisit, menunjukkan betapa destruktifnya fenomena ini terhadap kehidupan remaja. Drama-drama ini memberikan gambaran yang realistis tentang bagaimana bullying dapat menghancurkan seseorang dari dalam dan mendorong mereka ke jurang keputusasaan. Dengan menyajikan kisah-kisah ini, para pembuat film berharap dapat meningkatkan kesadaran publik dan mengajak masyarakat untuk lebih peka terhadap isu bullying.
Namun, representasi di media saja tidak cukup. Meskipun masyarakat sudah semakin sadar akan dampak negatif bullying, tindakan pencegahan dan penanggulangan yang nyata masih sangat diperlukan. Pemerintah Korea Selatan telah mencoba melakukan berbagai upaya untuk mengurangi angka bunuh diri, termasuk memberikan layanan konseling dan kampanye anti-bullying. Namun, perubahan yang lebih mendalam masih dibutuhkan di tingkat budaya dan sosial.
Fenomena bullying di Korea Selatan mencerminkan sebuah paradoks: di satu sisi, negara ini maju dalam banyak aspek kehidupan modern, namun di sisi lain, masalah sosial seperti bullying masih belum terselesaikan. Kasus-kasus bullying yang berujung pada bunuh diri menunjukkan betapa mendesaknya masalah ini untuk segera ditangani. Diperlukan kerjasama dari berbagai pihak—pemerintah, sekolah, dan masyarakat—untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi generasi muda. Tanpa langkah nyata, mimpi buruk yang dialami para korban bullying akan terus berlanjut, menghancurkan lebih banyak kehidupan di sepanjang jalan.
Biodata Penulis:
Faadhilah Hana Gustie Fatimah, lahir pada tanggal 27 Juni 2006, saat ini aktif sebagai Mahasiswa Prodi Informatika, di Universitas Sebelas Maret.