Eldest Daughter Syndrome: Beban yang Tak Terlihat

Anak sulung perempuan sering kali harus menjadi "ibu kedua" di rumah. Mereka tidak hanya mengasuh, tetapi juga menjadi penengah jika ada konflik di ..

Pernah mendengar istilah "Sindrom Anak Perempuan Pertama"? Belakangan ini, Eldest Daughter Syndrome atau Sindrom Anak Sulung Perempuan sedang viral di media sosial. Bagi yang mungkin belum tahu, sindrom ini menggambarkan pengalaman yang sering dialami anak perempuan sulung dalam keluarga. Biasanya, mereka dibebani tanggung jawab lebih banyak dibandingkan adik-adiknya, dan ini dapat mempengaruhi kondisi emosi dan psikologis mereka. Tidak main-main, lho!

Anak sulung perempuan sering kali harus menjadi "ibu kedua" di rumah. Mereka tidak hanya mengasuh, tetapi juga menjadi penengah jika ada konflik di keluarga, serta sering menjadi tempat curhat semua orang. Terbayangkan, bagaimana capainya? Tekanan mental dan emosional pasti tidak terhindarkan. Ekspektasi dari keluarga yang tinggi juga sering menyebabkan mereka stres, merasa bersalah, bahkan merasa kehilangan masa kecil yang seharusnya penuh kesenangan.

Eldest Daughter Syndrome

Tekanan ini biasanya sudah dimulai sejak kecil. Sering diminta menjaga adik, membantu urusan rumah, atau bahkan menemani ibu berbelanja. Lama-kelamaan, terbiasa untuk tidak bisa mengatakan "tidak". Rasanya jika menolak, terasa tidak enak, bukan? Akhirnya, kebutuhan diri sendiri sering dikorbankan. Jika hal ini terasa familiar, berarti tidak sendirian. Banyak yang mengalami hal serupa. Karena harus bersikap dewasa lebih cepat, masa kecil yang seharusnya diisi dengan bermain justru hilang begitu saja.

Ekspektasi tinggi juga dapat membuat seseorang menjadi perfeksionis. Selalu merasa harus sempurna, takut untuk berbuat salah, dan ujung-ujungnya sering merasa cemas serta takut gagal. Belum lagi, peran sebagai kakak yang dominan dapat membuat hubungan dengan adik-adik menjadi tidak nyaman. Kadang, adik-adik dapat merasa bahwa kakak terlalu mengatur, padahal hanya ingin mereka mengikuti apa yang dianggap benar.

Tidak perlu khawatir, ada cara untuk mengatasi hal ini. Pertama-tama, cobalah untuk mengakui perasaan. Jika merasa stres dan lelah, tidak apa-apa. Itu sangat manusiawi. Ini adalah langkah pertama untuk pemulihan. Juga penting untuk belajar mengatakan "tidak". Mungkin awalnya sulit, tetapi membangun batasan yang sehat itu sangat penting agar tidak terus-menerus merasa terbebani. Jangan ragu untuk curhat kepada teman dekat atau bahkan profesional seperti terapis. Kadang, memerlukan sudut pandang baru dan dukungan emosional dari orang lain.

Selain itu, luangkan waktu untuk diri sendiri. Lakukan hal-hal yang disukai dan membuat bahagia di luar peran sebagai anak sulung. Memiliki hobi atau aktivitas yang menyenangkan dapat membantu tetap waras dan merasa memiliki identitas di luar keluarga.

Ngomong-ngomong, sindrom ini nyata sekali. Ada kisah dari seorang mahasiswi berinisial S, yang usianya baru 18 tahun. Saat masih SMP, tepatnya saat pandemi Covid-19, ia harus membantu ibunya mengurus adik bungsunya yang masih bayi. Pada saat itu, orang tuanya bertanya, "Apakah kamu sanggup menjaga adik, sementara kami harus bekerja?" Tanpa berpikir panjang, ia setuju. Setiap hari, ia bertanggung jawab untuk menyuapi, memandikan, menggendong, dan mengurus segala keperluan adiknya. Masalahnya, rumah mereka dekat dengan bengkel mobil, sehingga sering sekali adiknya terbangun karena suara bising. Jika adiknya terbangun, ia harus menenangkan adiknya terlebih dahulu baru bisa melanjutkan pekerjaan rumah. Tidak jarang, orang tuanya marah karena merasa ia kurang perhatian kepada adiknya. Merawat bayi itu sulit, terutama jika si kecil sedang tidak mau makan atau minum. Saking beratnya beban yang dirasakan, ia sering menangis sendirian. Teman-temannya bisa jalan-jalan atau menonton bioskop, sementara ia harus buru-buru pulang untuk membantu di rumah.

Bagaimana ia bisa bertahan? Menurutnya, semua dimulai dari menghargai diri sendiri. Di tengah pandemi, saat semua orang terisolasi, ia belajar berbicara dengan diri sendiri di depan cermin. Ia mengatakan kepada dirinya, "Kamu hebat, kuat, dan hanya kamu yang bisa melewati ini. Tidak ada orang lain yang bisa." Kalimat ini menjadi motivasi kuat baginya untuk bertahan. Meskipun demikian, dampak Eldest Daughter Syndrome masih terasa hingga saat ini. Ia masih kesulitan untuk mengatakan "tidak" kepada orang tuanya. Masa remajanya yang hilang juga masih terasa, terutama ketika teman-temannya bebas berkumpul sementara ia harus mengurus adik-adiknya. Rasa takut gagal juga selalu ada karena ekspektasi besar dari orang tuanya. Namun seiring waktu, ia mulai terbiasa. Meskipun kadang masih dipanggil "ibu" ketika berjalan bersama adiknya, sekarang ia tidak lagi merasa sakit hati. Ia mengatakan, "Jika ditanya sembuh, belum 100%, tetapi jauh lebih baik daripada sebelumnya."

Eldest Daughter Syndrome sering dialami oleh anak perempuan sulung, terutama di keluarga yang masih memegang peran gender tradisional. Tanggung jawab yang berlebihan bisa bikin stres, membuat mereka merasa kehilangan masa kecil, dan jadi cemas. Penting untuk menyadari dampak dari sindrom ini dan mengelola perasaan serta ekspektasi yang ada. Dengan dukungan yang tepat dan batasan yang sehat, anak perempuan sulung bisa belajar mengatasi tekanan dan menemukan kebahagiaan di luar peran mereka di rumah. Menghargai diri sendiri dan kebutuhan pribadi jadi kunci untuk merasa lebih baik dan bahagia.

Assyfa Alifatul Permatasari

Biodata Penulis:

Assyfa Alifatul Permatasari, lahir pada tanggal 19 Maret 2006 di Sukoharjo, saat ini aktif sebagai mahasiswa.

© Sepenuhnya. All rights reserved.