Di Balik Lemparan Cengkir: Menguak Makna Mendalam Ceprotan Desa Sekar Kabupaten Pacitan

Berdasarkan kisah asal mula tradisi Ceprotan, terdapat nilai bahwa seseorang harus bekerja keras dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi rintangan.

Upacara tradisional tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Jawa termasuk masyarakat desa Sekar, Kecamatan Donorojo, kabupaten Jawa Timur. Setiap tahun, masyarakat desa Sekar merayakan festival Ceprotan. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi tradisi yang cukup unik di desa ini.

Tradisi Ceprotan mempunyai makna yang multidimensi. Setiap rangkaian ritual di dalamnya mengandung makna yang melambangkan perayaan kehidupan, kebersamaan, dan penghormatan terhadap alam dan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Ceprotan telah ada sejak lama di masyarakat untuk itu generasi sekarang pun tetap harus mengetahui budaya lokal ini. Yuk kita bahas Ceprotan dari segi historis dan fungsinya.

Asal-usul Tradisi Ceprotan

Tradisi Ceprotan berawal dari perjalanan panjang Ki Godek dan Dewi Sekartaji. Saat itu di wilayah Wengker termasuk Pacitan yang merupakan hutan belantara, datanglah seorang pengembara tua bernama Ki Godek. Dialah kemudian membabat hutan untuk membuka lahan untuk mendirikan padepokan, rumah tinggal, serta lahan pertanian.

Kemudian datang gadis bernama Sekartaji yang sedang kehausan meminta kelapa muda kepada Ki Godek. Karena di sekitar hutan tidak ada pohon kelapa, maka Ki Godek pergi agak jauh dari kawasan hutan yakni yang berada di kawasan pantai selatan. Seketika itu juga Ki Godek pulang dan mendapatkan kelapa muda itu, lalu menyerahkan kepada Dewi Sekartaji. Dewi sekartaji merasa senang sekali. Namun air kelapa itu terlalu banyak, dan dia tidak mampu menghabiskannya.

Saat Dewi Sekartaji mau melanjutkan perjalanannya, sisa air kelapa yang di tempurung itu ditinggal. Namun dari tempurung itu keluarlah sumber air yang bisa menjadi sumber kehidupan bagi warga sekitar.

Adegan Upacara Tradisional Ceprotan
Adegan Upacara Tradisional Ceprotan

Sebagai rasa syukur masyarakat menaruh ingkung di sumber air tersebut, namun ada pencuri yang mencuri ingkung tersebut. Masyarakat kemudian melempari pencuri itu dengan buah kelapa. Dan peristiwa itu diwujudkan dalam upacara adat lokal Ceprotan dan nama desa Sekar sebagai penghormatan terhadap Dewi Sekartaji.

Prosesi Ritual Upacara Tradisional Ceprotan

Tradisi Ceprotan di desa Sekar biasanya diadakan pada bulan Longkang hari Senin Kliwon, dalam kalender Jawa. Dihadiri oleh masyarakat setempat. Upacara dimulai dengan doa bersama dan ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan roh-roh leluhur.

Setelah doa, peserta tradisi berkumpul di lapangan desa untuk memulai prosesi Ceprotan dengan membawa segala macam kebutuhan untuk upacara. Dan puncak acara Ceprotan adalah dua kelompok pemuda saling lempar. Buah kelapa yang dilempar merupakan buah kelapa yang sudah direndam sebelumnya.

Makna dan Tujuan Tradisi Ceprotan

Prosesi tersebut menggambarkan perjuangan masyarakat dalam menghormati leluhur dan menjaga warisan leluhur dan juga ungkapan rasa syukur atas nikmat Tuhan Yang Maha Esa berupa sumber air. 

Berdasarkan kisah asal mula tradisi Ceprotan, terdapat nilai bahwa seseorang harus bekerja keras dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi rintangan. Peribahasa tersebut melalui Tindakan Ki Godek yang berjuang membuka lahan hutan untuk pemukiman. Desa yang saat ini dikenal sangat subur dan sekaligus sebagai penghasil padi dan kelapa di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Dan juga kegigihan perjuangan masyarakat desa Sekar dahulu kala dalam merawat peninggalan leluhur.

Berdasarkan pembahasan dapat simpulkan beberapa hal, yakni:

  1. Upacara tradisional Ceprotan harus tetap dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi muda agar nilai-nilai di dalamnya tetap terjaga.
  2. Upacara tradisional Ceprotan dapat sebagai medium menggerakan ekonomi masyarakat karena pada saat pelaksanaan masyarakat dari berbagai tempat dapat menghadirinya.
  3. Upacara tradisional Ceprotan dapat mengajarkan pada manusia agar senantiasa menjaga keseimbangan dengan alam serta Sang Pencipta.

Hafiyya Talitha Aziza

Biodata Penulis:

Hafiyya Talitha Aziza, lahir pada tanggal 23 April 2006, saat ini aktif sebagai mahasiswa di Politeknik Kesehatan Kemenkes Surakarta, jurusan Keperawatan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.