Ziarah
untuk Adek, anakku
Tahun berganti tahun telah mati
kutinggalkan di belakangku
Aku berhadapan dengan tahun-tahun kehidupan
Hari ini sekali lagi aku berdiri
di kaki kuburan ayahku
dan menyedari kematian mati
dalam kelahiran kehidupan baru
Bagi ayahku kematian itu penemuan
dari cita-cita hayatnya
menyerahdiri pada Tuhannya
Bagiku dia adalah kesedaran
akan penempuhan jalan sendiri
Ziarahku ini semacam perhitungan
antara aku dan ayahku
Baginya penemuan, bagiku kepastian
kematiannya, melahirkan, cita baru...............
Kayu Besar (Medan), Maret 1957
Sumber: Dari Bumi Merah (1963)
Analisis Puisi:
Puisi "Ziarah" karya HR. Bandaharo adalah sebuah karya yang mendalam, menggugah perasaan, dan mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara kehidupan dan kematian. Dalam puisi ini, Bandaharo mengeksplorasi konsep ziarah sebagai bentuk perhitungan antara kehidupan yang telah dijalani dan kematian yang tak terhindarkan. Melalui ziarah ke makam ayahnya, penyair menyampaikan berbagai lapisan makna tentang kematian, kehidupan, penyerahan diri, dan kelahiran cita-cita baru.
Tema dan Makna
Tema utama dalam puisi ini adalah perjalanan spiritual yang dialami oleh seorang individu saat mengunjungi makam orang yang dicintainya—dalam hal ini, ayahnya. Kematian dalam puisi ini tidak hanya dilihat sebagai akhir, tetapi juga sebagai penemuan dan kelahiran baru, baik bagi si almarhum maupun bagi yang masih hidup. Bagi sang ayah, kematian merupakan penemuan cita-cita hidupnya, yaitu menyerahkan diri kepada Tuhan. Sedangkan bagi sang anak (narator dalam puisi ini), kematian ayahnya adalah kesadaran akan pentingnya menempuh jalan hidup sendiri.
Puisi ini mencerminkan betapa kematian dapat membawa pemahaman baru bagi yang masih hidup. Narator menyadari bahwa kematian ayahnya bukanlah sekadar peristiwa kehilangan, tetapi juga awal dari kehidupan baru bagi dirinya, sebuah cita baru yang terinspirasi oleh perjalanan spiritual sang ayah.
Struktur dan Gaya Bahasa
Bandaharo menggunakan bahasa yang sederhana namun penuh makna dalam puisi ini. Struktur puisinya tersusun dalam beberapa bait yang pendek, dengan kalimat-kalimat reflektif yang langsung menyentuh inti perenungan narator. Salah satu kekuatan puisi ini adalah penggunaan kontras antara kematian dan kelahiran. Di satu sisi, kematian ayahnya adalah sebuah penyerahan diri; di sisi lain, kematian itu melahirkan kesadaran dan cita-cita baru dalam diri si anak.
Bandaharo juga menggunakan elemen ziarah sebagai simbol perenungan. Ziarah di sini bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual dan emosional yang menuntun narator untuk memahami makna kematian dan kehidupan lebih dalam.
Kematian sebagai Penemuan
Dalam puisi ini, kematian tidak dilihat sebagai sesuatu yang negatif atau menakutkan, melainkan sebagai penemuan. Bagi sang ayah, kematian adalah pencapaian dari tujuan hidupnya, yaitu menyerahkan diri kepada Tuhan. Hal ini menggambarkan pandangan spiritual bahwa kematian merupakan bagian tak terpisahkan dari siklus kehidupan dan dapat menjadi puncak dari pencarian makna hidup.
Narator pun menyadari bahwa ayahnya telah menemukan kedamaian dalam kematiannya, dan kesadaran ini memberikan narator sebuah keyakinan baru dalam hidupnya. Ini adalah momentum refleksi bagi narator, di mana kematian ayahnya menginspirasi dia untuk melanjutkan hidup dengan lebih mantap dan penuh makna.
Ziarah sebagai Perhitungan Hidup
Ziarah dalam puisi ini menjadi sebuah metafora yang kuat untuk perhitungan hidup antara ayah dan anak. Narator merenungkan jalan hidup ayahnya yang telah berakhir dan membandingkannya dengan jalan hidupnya sendiri yang masih berlangsung. Melalui ziarah ini, narator mencapai sebuah kepastian bahwa hidup dan kematian saling terkait dalam siklus yang lebih besar.
"Ziarahku ini semacam perhitungan antara aku dan ayahku," demikian kata narator. Perhitungan ini menggambarkan bagaimana narator belajar dari kematian ayahnya, mengambil hikmah dan kekuatan untuk menempuh jalan hidupnya sendiri. Kepastian yang diperoleh narator dari ziarah ini adalah lahirnya cita-cita baru, sebuah keinginan untuk melanjutkan perjalanan hidup dengan lebih jelas dan bermakna.
Puisi "Ziarah" karya HR. Bandaharo adalah sebuah karya yang menyentuh, penuh refleksi tentang kematian, kehidupan, dan hubungan antara ayah dan anak. Ziarah ke makam sang ayah tidak hanya menjadi momen untuk mengenang, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual di mana narator mendapatkan kesadaran baru tentang hidupnya sendiri. Kematian sang ayah menjadi penemuan bagi sang ayah dan kepastian serta cita-cita baru bagi narator.
Puisi ini menyiratkan pesan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan bagian dari siklus kehidupan yang memberikan makna baru bagi yang masih hidup. Kematian tidak hanya meninggalkan duka, tetapi juga membawa kesadaran dan harapan baru bagi mereka yang merenungkan maknanya dengan sungguh-sungguh.
Karya: HR. Bandaharo
Biodata HR. Bandaharo:
- HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
- HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
- HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.