Puisi: Yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah (Karya Sabar Anantaguna)

Puisi "Yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah" menyuarakan bahwa kemerdekaan yang sejati adalah ketika semua orang, terutama mereka yang bekerja ...

Yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah


Yang bertanahair,
tapi tidak bertanah,
mengucap merdeka untuk bapak-bapak.

Hitunglah kerja kami,
warna pelangi
jelujuri langit dan mimpi,
keringat yang sah
kami siramkan dalam tanah.

Bilanglah bapak-bapak
sekali-lagi bilang merdeka
merdeka
nanam nangka dapat pulutnya
merdeka, o, merdeka
sekali dicinta tetap tercinta
tapi tak bisa bertani di udara!

Bilanglah bapak-bapak
sekali-lagi bilang merdeka
merdeka, ya, merdeka
kami bela dalam gerilya
karena merdeka itu cinta
nyanyi kinanti
rebab kecapi
merdeka, o, merdeka
yang kerja tak punya apa-apa!

Yang bertanahair,
tapi tidak bertanah,
serukan merdeka, merdeka
bagi kami yang berkerja!

Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)

Analisis Puisi:

Puisi "Yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah" karya Sabar Anantaguna mencerminkan realitas pahit yang dihadapi oleh para pekerja dan petani dalam konteks perjuangan meraih kemerdekaan. Dalam karya ini, Anantaguna mengungkapkan ketidakadilan yang dialami oleh mereka yang mengucapkan “merdeka,” namun terjebak dalam kondisi kehidupan yang jauh dari harapan.

Tema Kemerdekaan dan Ketidakadilan

Puisi ini dibuka dengan kalimat yang menggugah: “Yang bertanah air, tapi tidak bertanah.” Pernyataan ini menandakan adanya kesenjangan antara idealisme kemerdekaan dan kenyataan pahit yang dihadapi oleh masyarakat. Meskipun mereka berjuang untuk merdeka, banyak di antara mereka yang tidak memiliki tanah untuk diolah, simbol dari harapan dan kehidupan yang lebih baik.

Simbolisme Tanah dan Kerja

Tanah menjadi simbol sentral dalam puisi ini. Anantaguna menggambarkan keringat yang “siramkan dalam tanah” sebagai bukti perjuangan dan pengorbanan. Namun, ironisnya, meski telah bekerja keras, mereka tidak dapat menikmati hasil dari usaha mereka sendiri. Ungkapan “tak bisa bertani di udara” mencerminkan realitas bahwa perjuangan mereka sering kali sia-sia, di mana hasil kerja keras tidak sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan.

Seruan untuk Merdeka

Pengulangan kata “merdeka” dalam puisi ini menggambarkan semangat yang tak pernah padam meski dalam keadaan sulit. Dengan frasa “sekali dicinta tetap tercinta,” Anantaguna menekankan bahwa cinta terhadap tanah air tetap ada, meski kenyataan tidak selalu sesuai harapan. Ini menjadi seruan bagi “bapak-bapak” yang memiliki kekuasaan untuk mendengarkan jeritan mereka yang berjuang, menuntut pengakuan dan keadilan.

Nyanyian Cinta dan Perjuangan

Puisi ini juga menggambarkan bahwa merdeka bukan sekadar slogan, tetapi merupakan sebuah perjuangan cinta. Melalui “nyanyi kinanti, rebab kecapi,” Anantaguna menunjukkan bahwa seni dan budaya adalah bagian integral dari perjuangan tersebut. Mereka yang bekerja dan mencintai tanah air berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan.

Penutup: Panggilan untuk Keberanian

Puisi "Yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah" adalah puisi yang menyentuh dan menggugah kesadaran. Anantaguna berhasil menangkap esensi perjuangan dan harapan dalam kondisi yang sulit. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan kembali arti dari kemerdekaan, bukan hanya sebagai konsep, tetapi sebagai realitas yang harus diwujudkan bagi semua lapisan masyarakat.

Melalui karya ini, Anantaguna menyuarakan bahwa kemerdekaan yang sejati adalah ketika semua orang, terutama mereka yang bekerja keras, mendapatkan hak dan keadilan yang layak. Dengan kata-kata yang sederhana namun sarat makna, puisi ini menjadi panggilan bagi kita semua untuk memperjuangkan hak dan kebebasan, memastikan bahwa tidak ada yang terpinggirkan dalam perjalanan menuju kemerdekaan yang hakiki.

Sabar Anantaguna
Puisi: Yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah
Karya: Sabar Anantaguna

Biodata Sabar Anantaguna:
  • Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
  • Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.
© Sepenuhnya. All rights reserved.