Wanasari
Ada -- bayi -- tak bisa menangis
matanya pudar-pudar.
Ada -- bayi -- tak nangis terlahir
rambutnya jurai-jurai.
Dia -- Ibunya kelaparan
Dia -- Ibunya kematian
Gunung gamping
tanah api
pohon mati.
Wanasari --
kau -- berikan; engkau punya
kau -- derukan; desau angin
katakan saja:
Rabuk. Waduk.
Pabrik. Pabrik.
Harinya --
mesti dilahirkan
Paginya --
ibu melahirkan
Ada hidup, sebab kelahiran.
Wanasari --
kau -- berikan: engkau punya
kau -- derukan: desau angin
katakan saja:
Aku akan lahir.
Manusia akan lahir.
Jaman akan lahir.
Wanasari --
dengan cinta dipangku damba
dengan juang dipeluk harap
akan datang lahir bayi bisa menangis.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Wanasari" karya Sabar Anantaguna menggambarkan kompleksitas kehidupan, terutama yang dialami oleh para ibu dan bayi di tengah situasi yang sulit. Dengan bahasa yang puitis dan simbolisme yang mendalam, puisi ini mengeksplorasi tema kelahiran, penderitaan, dan harapan.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini diawali dengan gambaran yang menggugah: “Ada -- bayi -- tak bisa menangis, matanya pudar-pudar.” Pembaca langsung diperkenalkan pada kondisi yang menyedihkan—bayi yang tidak mampu menangis, simbol dari ketidakberdayaan dan ketidakpuasan. Frasa “rambutnya jurai-jurai” menambah kesan alami dan tidak terawat, menunjukkan kondisi yang mencerminkan kesulitan.
Tema Penderitaan dan Kehilangan
Anantaguna melanjutkan dengan deskripsi yang menyentuh hati: “Dia -- Ibunya kelaparan, Dia -- Ibunya kematian.” Melalui kalimat-kalimat ini, kita merasakan beban yang dihadapi oleh seorang ibu yang berjuang dalam situasi sulit. Latar belakang alam yang digambarkan dengan “gunung gamping, tanah api, pohon mati” menciptakan suasana suram yang memperkuat tema penderitaan dan kehilangan.
Simbolisme Wanasari dan Harapan
Ketika puisi beralih ke kata “Wanasari,” kita dihadapkan pada harapan dan kemungkinan. “Kau -- berikan; engkau punya” menciptakan rasa kedekatan dan hubungan. Wanasari, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai simbol dari tanah air, tempat yang memberikan kehidupan dan harapan.
Bagian yang menyebutkan “Rabuk. Waduk. Pabrik. Pabrik.” menunjukkan perubahan sosial dan perkembangan yang dihadapi masyarakat. Kata-kata ini menjadi jembatan antara kehidupan yang berat dan kebutuhan akan pembaruan.
Kelahiran dan Harapan
Di bagian selanjutnya, Anantaguna menegaskan pentingnya kelahiran: “Harinya -- mesti dilahirkan, Paginya -- ibu melahirkan.” Ini adalah pengingat bahwa meskipun kehidupan penuh kesulitan, setiap kelahiran adalah awal yang baru. Ada harapan bahwa “Ada hidup, sebab kelahiran” mencerminkan potensi dan kemungkinan yang ada dalam setiap individu.
Penutup dan Kebangkitan
Bagian akhir puisi mengajak pembaca untuk merenungkan masa depan: “Wanasari -- dengan cinta dipangku damba, dengan juang dipeluk harap, akan datang lahir bayi bisa menangis.” Kalimat ini menegaskan bahwa meskipun ada penderitaan, cinta dan harapan adalah kekuatan yang akan membawa kebangkitan. Bayi yang “bisa menangis” adalah simbol dari kehidupan yang baru, penuh harapan dan potensi.
Puisi "Wanasari" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah karya yang menggugah tentang perjuangan dan harapan di tengah penderitaan. Dengan gaya bahasa yang puitis dan simbolisme yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna kehidupan, kelahiran, dan kekuatan harapan. Anantaguna berhasil menyoroti bahwa meskipun situasi mungkin tampak suram, cinta dan tekad dapat membawa kebangkitan dan kehidupan baru. Puisi ini adalah pengingat bahwa dalam setiap tantangan, selalu ada harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.