Unyang
bocah itu lahir di hutan rambung
belum sempat belajar dari pepohonan
dan kicau margasatwa
ibu membawanya merantau ke daerah pantai
dilarikan dari suatu peruntungan
ke dalam peruntungan baru
ia tumbuh bermenung
merenungi laut ke pantai menderu
membanting diri dan santai
berpelukan lalu berpisah
bergiliran ombak demi ombak menerpa
mencium pantai dan berdesah memecah
lalu hilang menjadi busa
menyatu kembali dengan keluasan
di matanya bertemu biru laut dan biru langit
dan kilat pasir pantai
yang memancarkan berjuta bias cahaya
hanya berteman unyang yang tua-renta
lebih tua lagi dari pohon-pohon di hutan
tapi bagai batang ranggas tak rela tumbang
tegak bertahan menantang angin
unyang bekas pelayar pengarung lautan
perantau ke pantai yang jauh-jauh
kadang lanun kadang perisau
*
dengan perahu lanun bertiang satu kami berangkat
menuju laut lepas
selama setahun layar tak pernah digulung
tak pernah dibuang jangkar
ketika angin mati perahu mengambang
di atas permukaan laut laksana kaca bersinar emas
pendayung-pendayung telanjang badan mandi keringat
napas berdengus seperti kerbau dipasung
tak ada air tak ada makanan
tak kelihatan tanah tepi tak ada burung terbang
perahu sarat oleh harta rampasan
sesudah lima hari lima malam
pendayung-pendayung tak mampu bertahan
satu demi satu kepayahan dan tumbang
malam keenam angin kencang datang bertiup
tak seorang pun sadarkan diri
aku pingsan terkulai memeluk kemudi
perahu meluncur mengikutkan kehendak angin
diimbangi kemudi dalam pelukanku
dan begitulah berhari-hari kami berputar
bolak-balik masuk pelabuhan
dan bolak-balik ke laut lepas
perahu hantu tanpa awak
akhirnya terdampar
di pulau sunyi
aku tersentak
wajahku ditampar ombak
angin mendesau memintasi pulau
tak ada teman yang bangkit lagi
mereka berkubur di pulau sunyi
dan harta kukuburkan bersama mereka
*
setelah sekian musim merantau
aku pulang seorang diri
terasa kehilangan teman terasa sunyi
berkali-kali aku mencoba berlayar
menyusur dari pulau ke pulau
hasrat mengangkut pulang harta karun
tapi kehilangan arah kehilangan pedoman
terkatung-katung dari pulau ke pulau
ejekan dari kuburan terngiang di telingaku
entah berapa musim aku terlantar di perantauan
ditinggalkan oleh awak perahu yang pulang
kehilangan kepercayaan pada kewarasan otakku
aku pun akhirnya menyangsikan kebenaran
peristiwa yang kualami sendiri, mungkin hanya mimpi
mendengar kisah-kisah pelaut dan melihat hiasan
tato di dada dan lengan mereka tentang harta
tersembunyi di gua-gua di sungai jauh-jauh
tentang perkelahian berdarah perompak lanun
tentang maut menerpa di tengah laut
tentang perempuan-perempuan menanti di pelabuhan
tentang burung kakatua pandai bertutur membawa celaka
aku pulang tapi tak bisa beranjak dari pantai
terikat pada pulau perahu dan laut
menjadi tua menanti mimpikan mimpi tak tercapai
itulah mimpi unyang
dalam mimpi tak berujung
1983
Sumber: Aku Hadir di Hari Ini (2010)
Catatan:
Unyang = ayah dari kakek/nenek.
Analisis Puisi:
Puisi "Unyang" karya HR. Bandaharo adalah sebuah narasi mendalam yang menggambarkan kisah kehidupan seorang tokoh tua bernama "Unyang" yang terikat oleh lautan dan pengalaman hidupnya sebagai pelaut. Melalui sosok Unyang, Bandaharo menggambarkan tema perantauan, kenangan masa lalu, serta pencarian identitas yang terus berkelanjutan.
Unyang: Sosok yang Terikat dengan Lautan
Puisi ini dibuka dengan penggambaran bocah yang lahir di hutan rambung, namun tak sempat belajar dari alam sekitarnya karena harus merantau ke daerah pantai. Ini memberikan kesan bahwa kehidupan bocah tersebut, yang mungkin merupakan anak dari Unyang, dimulai dalam ketidakpastian. Perjalanan hidupnya beralih dari satu peruntungan ke peruntungan lain, dan dia tumbuh dengan merenungi alam, khususnya laut:
"ia tumbuh bermenungmerenungi laut ke pantai menderumembanting diri dan santaiberpelukan lalu berpisah"
Dalam pandangan bocah ini, ombak di laut menjadi simbol kehidupan yang terus berputar, datang dan pergi, namun selalu menyatu kembali dengan keluasan laut. Laut menjadi representasi dari kebebasan, ketidakpastian, dan keterikatan emosional.
Unyang, yang menjadi teman setia sang bocah, adalah sosok tua yang memiliki hubungan yang dalam dengan lautan. Dideskripsikan sebagai pelaut tua yang keras, "lebih tua lagi dari pohon-pohon di hutan," Unyang digambarkan sebagai sosok yang tak mudah menyerah, meski usia dan kehidupan telah membebani tubuhnya:
"tapi bagai batang ranggas tak rela tumbangtegak bertahan menantang angin"
Unyang adalah simbol keberanian dan ketangguhan, seseorang yang pernah menjelajahi lautan dan menghadapi bahaya, namun tetap berdiri tegak meskipun hidup diisi dengan berbagai kegagalan dan kehilangan.
Narasi Kehidupan sebagai Pelaut
Bagian kedua dari puisi ini menyelami kehidupan Unyang sebagai pelaut. Dalam bagian ini, Bandaharo menggambarkan petualangan yang penuh tantangan di lautan. Unyang menceritakan pengalamannya berlayar dengan perahu lanun, tanpa pernah berlabuh selama setahun. Mereka mengalami kelaparan, kekurangan air, dan kehilangan banyak awak kapal:
"tak ada air tak ada makanantak kelihatan tanah tepi tak ada burung terbangperahu sarat oleh harta rampasan"
Kisah pelayaran ini menggambarkan penderitaan fisik dan mental yang harus dihadapi Unyang. Mereka berlayar tanpa arah yang jelas, bertahan dalam kondisi yang ekstrem, hingga akhirnya seluruh awak kapal, kecuali Unyang, meninggal dunia. Pengalaman ini meninggalkan Unyang seorang diri, terdampar di sebuah pulau sunyi, menguburkan harta rampasan serta kenangan teman-temannya yang telah mati.
Kehilangan dan Krisis Identitas
Setelah mengalami kehilangan besar di lautan, Unyang kembali ke daratan, namun jiwanya tetap terikat pada lautan. Rasa kehilangan teman-teman seperjuangan serta pengalaman traumatis yang dialaminya membuat Unyang terjebak dalam krisis identitas. Meski telah kembali ke pantai, dia merasa terputus dari dunia sekitarnya, kehilangan arah dan tujuan dalam hidup:
"berkali-kali aku mencoba berlayarmenyusur dari pulau ke pulauhasrat mengangkut pulang harta karun"
Unyang mencoba berlayar kembali untuk mengisi kehampaan dalam hidupnya, namun setiap kali dia mencoba, dia merasa kehilangan pedoman. Perjalanan hidupnya menjadi sebuah lingkaran yang berulang, tanpa ujung yang jelas. Dia terjebak dalam kenangan masa lalu, dan tidak mampu bergerak maju. Kehidupannya menjadi satu dengan laut dan mimpinya, terjebak antara kenyataan dan ilusi.
Di bagian ini, Bandaharo menyentuh tema keterasingan dan keraguan diri yang mendalam. Unyang bahkan mulai meragukan kewarasannya sendiri, bertanya-tanya apakah semua yang dia alami hanyalah mimpi:
"aku pun akhirnya menyangsikan kebenaranperistiwa yang kualami sendiri, mungkin hanya mimpi"
Pengalaman Unyang mencerminkan rasa keraguan eksistensial, di mana batas antara kenyataan dan ilusi menjadi kabur. Kenangan-kenangan petualangannya di lautan, harta rampasan, dan pertempuran-pertempuran berdarah menjadi kabur dalam benaknya, sementara dia terus berusaha mencari makna dalam hidupnya.
Mimpi yang Tak Berujung
Bagian akhir puisi ini menggambarkan Unyang yang menua di pantai, menanti sesuatu yang tak pernah datang. Dia terikat pada mimpi-mimpi tentang perjalanannya yang tidak tercapai, dan menjadi terikat pada pulau, perahu, dan laut, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya:
"aku pulang tapi tak bisa beranjak dari pantaiterikat pada pulau perahu dan lautmenjadi tua menanti mimpikan mimpi tak tercapai"
Di sini, laut bukan hanya sebagai tempat fisik, tetapi juga menjadi simbol dari impian yang tidak pernah terealisasi. Laut adalah pengingat dari semua hal yang tak dapat dicapai oleh Unyang, tempat di mana harapannya terkubur bersama teman-temannya yang telah mati. Ini adalah kisah tentang seorang pria yang tidak pernah bisa melepaskan dirinya dari masa lalunya dan terus merenungkan mimpi-mimpi yang tidak pernah terwujud.
Puisi sebagai Refleksi Kehidupan Perantauan dan Kesunyian
Puisi "Unyang" karya HR. Bandaharo adalah sebuah refleksi yang mendalam tentang kehidupan seorang pelaut tua yang terjebak dalam kenangan dan kehilangan. Melalui sosok Unyang, Bandaharo mengeksplorasi tema perantauan, keterikatan emosional dengan lautan, dan pencarian identitas yang berkelanjutan. Kehidupan Unyang diwarnai oleh pertempuran antara kenyataan dan ilusi, serta rasa keterasingan yang mendalam dari dunia di sekitarnya.
Puisi ini memberikan gambaran tentang bagaimana pengalaman hidup yang keras dan penuh kehilangan dapat mengubah seseorang, menjadikannya terjebak dalam masa lalu dan tidak mampu bergerak maju. Laut, dalam puisi ini, menjadi simbol dari kebebasan sekaligus penjara bagi Unyang, tempat di mana semua impian dan kenangannya terkubur. Unyang adalah puisi tentang mimpi yang tak berujung, tentang pencarian yang terus berlanjut tanpa pernah menemukan tujuan akhir.
Karya: HR. Bandaharo
Biodata HR. Bandaharo:
- HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
- HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
- HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.