Puisi: Turang (Karya Agam Wispi)

Puisi "Turang" karya Agam Wispi menjadi pengingat akan pentingnya memahami diri sendiri dan mencintai apa yang ada di sekitar kita.
Turang
kepada dan dari tangan
Amrus Natalsja

taburan kamar ini dicengkam dua warna
gadis danau dan kemboja kota yang tinggal satu
adakah ditatapnya sipematung yang menunggu kereta
dan kemalaman dalam suatu sengketa?

inilah persinggahan pada tiada pulang
inilah rimba kalimantan yang bersisa dalam igauan
inilah kasih yang terbanting keras:
lukisan yang harus ditinggalkan
inilah semua, segala yang minta bagian
berita koran pagi ini, bentongan warna dan sekepul rokokpun
                                                            jadi

ah, juga kau kemboja yang tinggal satu di langit biru

taburan kamar ini dicengkam dua warna
tapi jika sengketa mengganggang kata
dan di luar terlalu dingin untuk melayap
baliklah muka maka kutemui kau selamanya
dalam matamu ada kerja, ada lukisan
yang tak pernah dipamerkan

Merdeka-Utara, 28 Februari 1958

Sumber: Yang Tak Terbungkamkan (1959)

Analisis Puisi:

Puisi "Turang" karya Agam Wispi merupakan karya yang kaya akan imaji dan simbolisme, mengeksplorasi tema kerinduan, kehilangan, dan pertentangan identitas. Melalui penggunaan bahasa yang puitis, puisi ini menyampaikan perasaan kompleks yang dialami oleh individu dalam konteks sosial dan emosional yang luas.

Pembukaan: Kontras Dua Warna

Puisi dibuka dengan deskripsi "taburan kamar ini dicengkam dua warna," yang langsung menarik perhatian pembaca pada dualitas yang ada dalam hidup. Dua warna ini diinterpretasikan sebagai simbol gadis danau dan kemboja kota yang merepresentasikan dua dunia yang berbeda—alam dan perkotaan—yang terjebak dalam satu ruang. Kontras ini menciptakan ketegangan antara keindahan alam dan kenyataan kehidupan kota yang mungkin lebih keras.

Persinggahan dan Ketidakpastian

Frasa "inilah persinggahan pada tiada pulang" menciptakan nuansa melankolis. Ini menggambarkan keadaan di mana seseorang berada di suatu tempat tanpa harapan untuk kembali ke rumah, menciptakan rasa kehilangan yang mendalam. Dalam konteks ini, rimba Kalimantan dihadirkan sebagai simbol yang bersisa, mengingatkan pembaca pada kekayaan alam yang kini terancam.

Kasih dan Kehilangan

Pernyataan "inilah kasih yang terbanting keras" mencerminkan betapa rapuhnya hubungan dan perasaan dalam menghadapi realitas yang keras. Lukisan yang harus ditinggalkan menunjukkan bahwa ada impian atau harapan yang tidak dapat diwujudkan. Semua yang dimiliki, termasuk berita koran dan rokok, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang terjebak dalam rutinitas tanpa makna.

Kemboja dan Kenangan

Kemboja yang "tinggal satu di langit biru" menggambarkan keindahan yang tersisa, namun juga menciptakan rasa kesepian. Dalam konteks ini, kemboja dapat diartikan sebagai simbol cinta atau kenangan yang indah, meskipun mungkin tidak sepenuhnya dapat dicapai. Ini menciptakan ketegangan antara nostalgia dan kenyataan pahit.

Panggilan untuk Kembali

Penutup puisi menawarkan harapan sekaligus kerinduan: "baliklah muka maka kutemui kau selamanya." Ada keinginan untuk menemukan kembali jati diri dan menciptakan hubungan yang lebih mendalam. Dalam matanya, terdapat "kerja, ada lukisan yang tak pernah dipamerkan," yang menunjukkan potensi yang terpendam dalam diri seseorang, menggambarkan bahwa setiap individu memiliki cerita dan nilai yang belum sepenuhnya diungkapkan.

Puisi "Turang" adalah refleksi yang mendalam tentang kehidupan dan identitas. Melalui imaji yang kuat dan simbolisme yang kaya, Agam Wispi berhasil menciptakan suasana yang menggugah emosi. Karya ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna dari hubungan, kehilangan, dan harapan. Dalam dunia yang penuh dengan perubahan dan tantangan, puisi ini menjadi pengingat akan pentingnya memahami diri sendiri dan mencintai apa yang ada di sekitar kita.

Agam Wispi
Puisi: Turang
Karya: Agam Wispi

Biodata Agam Wispi:
  • Agam Wispi adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
  • Agam Wispi lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara.
  • Agam Wispi meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 1930 di 1 Januari 2003, Amsterdam, Belanda.
© Sepenuhnya. All rights reserved.