Tu Tjin Fang
(aktris opera Peking)
berjalan melenggang gemelai
melangkah berjingkat mengintai
berlari menepis, bersilat menangkis;
menating baki melenggok gontai
laksana hinggap melayap melandai
menyugukan cumbu, mengobat rindu;
beryanyi menyapa mengandung tanya
senyum tersipu memalingkan muka
melirik tajam, bermadah gurindam;
mengapa menteri bermuram durja
apakah negeri dalam bahaya
sudahkah pahlawan enggan berlawan?
nada-nada meningkat tambah mendaki
nyaring lengking menjulang tinggi
menayang hati mencium langit;
di malam musimpanas yang sepi ini
terasa kekinian menjadi abadi;
tali-tali rebab bertutur, sahut-bersahut.
Peking (Tiongkok), Agustus 1959
Sumber: Dari Bumi Merah (1963)
Analisis Puisi:
Puisi "Tu Tjin Fang" karya HR. Bandaharo menawarkan sebuah potret estetis dan penuh makna tentang seorang perempuan yang memancarkan kelembutan, sekaligus menyentuh kekhawatiran terhadap keadaan negeri. Melalui gaya penulisan yang ritmis, penuh simbol, dan alur yang terstruktur, Bandaharo menggabungkan elemen kecantikan, tarian, serta permainan musik untuk menghidupkan pertanyaan besar tentang kondisi sosial-politik yang ada.
Kecantikan dan Gerak
Pada bagian awal puisi, Bandaharo memusatkan perhatiannya pada gerak tubuh dan keanggunan Tu Tjin Fang. Penggunaan kata-kata seperti “berjalan melenggang gemelai” dan “melangkah berjingkat mengintai” menggambarkan kelenturan tubuh yang indah dan terampil, mengisyaratkan bahwa sosok ini memiliki daya tarik yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional. Ada kekuatan tersembunyi di balik langkah-langkahnya yang halus, dan ini menonjolkan sisi feminin yang lembut sekaligus kuat.
Tidak hanya menggambarkan gerak, Bandaharo juga menghidupkan suasana dengan kata-kata yang merujuk pada keahlian seni bela diri seperti “bersilat menangkis”, yang menambah dimensi ketangguhan dalam kelembutan sosok ini. Kombinasi kecantikan dan ketangguhan ini menunjukkan bahwa Tu Tjin Fang bukan hanya sosok yang pasif, tetapi seseorang yang memiliki kemampuan untuk bertindak dan mempertahankan dirinya.
Simbolisme dan Pertanyaan Sosial
Seiring berjalannya puisi, kita mulai melihat lapisan lain dari sosok Tu Tjin Fang. Penggambaran "menating baki melenggok gontai" dan “menyugukan cumbu, mengobat rindu” menunjukkan bahwa sosok ini mungkin juga berperan sebagai penghubung emosional, menghadirkan kedamaian dan kehangatan kepada orang-orang di sekitarnya. Namun, semakin dalam puisi berjalan, kita mulai dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan kritis.
Di baris “mengapa menteri bermuram durja, apakah negeri dalam bahaya”, Bandaharo mengarahkan kita pada kegelisahan yang lebih besar: situasi politik dan sosial di negeri ini. Pertanyaan ini, meskipun diungkapkan melalui simbol kecantikan dan gerak, menandakan adanya krisis atau ketidakstabilan di dalam pemerintahan atau negara.
Hal ini seakan menjadi panggilan untuk pahlawan yang tidak lagi bertindak atau melawan. Baris “sudahkah pahlawan enggan berlawan?” menyoroti keprihatinan penyair terhadap berkurangnya semangat perjuangan atau pengabaian terhadap tanggung jawab untuk mempertahankan keadilan dan keamanan di negeri ini. Melalui pertanyaan ini, Bandaharo menggugah rasa nasionalisme serta tanggung jawab moral kepada para pembacanya.
Musik dan Kekekalan
Bagian terakhir dari puisi menonjolkan kehadiran musik, di mana nada-nada mulai mendaki dan nyaring lengking menjulang tinggi. Simbolisme musik di sini memiliki makna yang dalam. Musik bukan hanya alat hiburan, tetapi juga cara untuk mencerminkan jiwa dan perasaan kolektif suatu masyarakat. Dalam konteks ini, musik bisa dilihat sebagai gambaran ketegangan yang semakin meningkat, namun di sisi lain juga bisa menjadi sarana untuk menemukan kedamaian dan keabadian di tengah ketidakpastian.
Frasa "di malam musimpanas yang sepi ini, terasa kekinian menjadi abadi" menyiratkan perasaan yang kompleks antara waktu dan pengalaman manusia. Meskipun situasi saat ini dipenuhi dengan kecemasan dan kegelisahan, ada sesuatu yang abadi dalam keterikatan manusia dengan waktu dan ruang. Musik dan seni—seperti yang digambarkan dalam rebab yang bertutur “sahut-bersahut”—memberi makna yang melampaui kekinian dan menghubungkan masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Puisi "Tu Tjin Fang" karya HR. Bandaharo adalah refleksi mendalam tentang kehidupan, kecantikan, dan kegelisahan sosial. Melalui perpaduan antara keanggunan gerak, musik, dan simbolisme politik, Bandaharo berhasil mengekspresikan pertanyaan besar tentang tanggung jawab, moralitas, dan keadaan sosial-politik di negeri ini. Sosok Tu Tjin Fang, meskipun tampaknya sederhana dalam keindahannya, membawa lapisan makna yang lebih dalam, menggugah pikiran pembaca untuk merenungkan peran setiap individu dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman.
Kecantikan fisik yang digambarkan tidak hanya menonjolkan estetika, tetapi juga menjadi medium untuk menyampaikan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kegelisahan terhadap nasib bangsa. Di tengah-tengah dunia yang penuh dengan kegelisahan politik dan sosial, puisi ini menjadi ajakan untuk tetap waspada dan terlibat dalam perubahan, baik melalui tindakan nyata maupun refleksi pribadi.
Karya: HR. Bandaharo
Biodata HR. Bandaharo:
- HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
- HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
- HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.