Tangerang
Kenikir, daun kenikir
lapar dingin terus mengalir
pagi‐pagi embun mencair
Dalam sel angin semilir
dari pintu‐terali menghampir
perut bagai berkisar bergulir
Kenikir, daun kenikir
sarapan pagi daun kenikir
biar lapar bukan takdir
Dalam sel mimpi mampir
membangkitkan rasa dan berfikir
ada hari lapar berakhir
Sumber: Puisi-Puisi dari Penjara (2010)
Analisis Puisi:
Puisi "Tangerang" karya Sabar Anantaguna mengeksplorasi tema kelaparan dan perjuangan, melalui lensa sederhana namun penuh makna. Dalam puisi ini, penulis menggunakan elemen alam dan simbolisme untuk menggambarkan pengalaman hidup yang pahit, sekaligus menyiratkan harapan.
Penggunaan Simbol: Kenikir
Diawali dengan sebutan "Kenikir, daun kenikir," puisi ini segera membawa kita pada gambaran kehidupan yang mengandalkan sumber daya alam. Kenikir, sebagai tanaman sayur yang mudah ditemukan, mewakili kehidupan sehari-hari masyarakat yang berjuang untuk bertahan hidup. Dalam konteks ini, kenikir bukan hanya sekadar sayuran, tetapi simbol dari keberadaan yang sederhana dan penuh makna.
Keterbatasan dan Kelaparan
Penyair menggambarkan suasana pagi yang dingin dengan embun yang mencair. "Lapar dingin terus mengalir" menegaskan bahwa rasa lapar yang dirasakan bukan hanya fisik, tetapi juga merupakan cerminan dari kondisi psikologis dan sosial. Penggunaan kata-kata seperti "lapar" dan "dingin" menciptakan atmosfer yang penuh kesedihan dan ketidakpastian.
Kondisi terkurung yang terlihat dari "pintu-terali" memberikan gambaran keterasingan dan pembatasan. "Perut bagai berkisar bergulir" menyiratkan betapa tak terhindarkannya rasa lapar, yang menjadi siklus dalam kehidupan sehari-hari. Ini menciptakan pemahaman tentang perjuangan yang dialami individu atau kelompok dalam menghadapi realitas yang keras.
Harapan dalam Kesederhanaan
Penulis menyatakan bahwa "sarapan pagi daun kenikir" adalah bentuk ketahanan. Meskipun lapar dan kesulitan melanda, penulis menekankan bahwa "biar lapar bukan takdir." Ini menunjukkan sikap optimis bahwa keadaan saat ini tidak akan selamanya. Penggunaan "mimpi" di sini menandakan bahwa ada harapan dan cita-cita yang mungkin akan terwujud, sejalan dengan usaha dan keinginan untuk berubah.
Refleksi dan Kesadaran
Bait penutup, "ada hari lapar berakhir," memberikan sentuhan akhir yang positif, meskipun tidak sepenuhnya lepas dari kenyataan. Frasa ini menciptakan rasa harapan dan keinginan untuk masa depan yang lebih baik. Penulis menggambarkan bahwa, meskipun saat ini hidup dalam keterbatasan, ada kemungkinan untuk mengatasi kesulitan tersebut.
Puisi "Tangerang" karya Sabar Anantaguna berhasil menangkap esensi perjuangan hidup melalui simbolisme dan bahasa yang sederhana. Dengan menggunakan kenikir sebagai simbol, puisi ini menyoroti tema kelaparan, keterasingan, dan harapan. Meskipun keadaan saat ini mungkin sulit, puisi ini mengingatkan pembaca akan pentingnya harapan dan ketahanan dalam menghadapi tantangan hidup. Melalui kesederhanaan, penulis mampu menyampaikan pesan yang kuat dan mendalam tentang realitas kehidupan, serta harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.