Puisi: Suatu Malam Tahun 60‐an (Karya Sabar Anantaguna)

Puisi "Suatu Malam Tahun 60-an" karya Sabar Anantaguna menggambarkan suasana kelam yang diwarnai oleh konflik sosial dan politik, serta implikasi ...

Suatu Malam Tahun 60‐an


kelam kabut
melawan takut
berdebar liar dada terbakar

siang malam
direjam dendam
detak‐detak sepatu mengagetkan aku
detak‐detik jam tajam di hatiku

deru‐deru jip atau panser membangunkan malamku
derak‐derak tank menantang manusia tidak tahu

Aku salah seorang tidak berdaya
tanpa senjata
harus bermain kucing‐kucingan
tanpa mengetahui mengapa harus demikian
di sebuah kamar berdinding bambu di tepi jalan
mendekap nyawa
mendesahkan kata: aku di sini di negeri merdeka

Dinding‐dinding yang berlubang‐lubang memberikan jalan
angin berbisik perlahan:
kemerdekaan yang kalian rebut dengan senjata
kini diancam manusia‐manusia bersenjata

Ada masa politik bersenjata
dan ada saat senjata berpolitik
keduanya mencari pengesahannya
dalam sejarah konflik

Malam makin lengang
kertas jatuh pun terdengar nyaring
malam‐malam bertambah tegang  
jika yang lemah diperlakukan lebih buruk dari maling

Dan sejarah memberikan pelajaran
kemanusiaan hanya sebuah gincu di dalam kebencian
kekejaman minta pengesahan
dengan mahkota kemerdekaan dan kebebasan

Dan senjata menjadi nyawa  
nyawa pun tidak ada harganya
di dalam bagian sejarah Indonesia merdeka

Kelam kabut melawan maut
apa salah yang mati di darat dan di laut
suatu saat sejarah akan menyebut
kemerdekaan pernah direnggut

Sumber: Puisi-Puisi dari Penjara (2010)

Analisis Puisi:

Puisi "Suatu Malam Tahun 60-an" karya Sabar Anantaguna merupakan sebuah karya yang mendalam, mencerminkan ketegangan dan ketidakpastian yang melanda Indonesia pada dekade tersebut. Melalui lirik yang puitis, puisi ini menggambarkan suasana kelam yang diwarnai oleh konflik sosial dan politik, serta implikasi kemanusiaan yang mendalam.

Suasana Kelam dan Ketegangan

Puisi ini dibuka dengan pernyataan yang menciptakan suasana kelam: “kelam kabut melawan takut.” Penggunaan kata-kata seperti "kelam" dan "kabut" mengindikasikan ketidakpastian dan ancaman yang menyelimuti kehidupan masyarakat saat itu. Penyair menggambarkan debar jantung dan ketakutan yang membakar dada, menciptakan ketegangan yang meresap ke dalam setiap bait.

Suara Perang dan Ketidakberdayaan

Anantaguna melanjutkan dengan menggambarkan suara deru jip, panser, dan derak tank yang “menantang manusia tidak tahu.” Di sini, suara-suara tersebut menjadi simbol dari kekuatan militer dan ketidakberdayaan individu. Penyair mengungkapkan perasaannya sebagai “salah seorang tidak berdaya,” menggambarkan ketidakmampuan untuk melawan atau bahkan memahami situasi yang dihadapi.

Konteks Sejarah dan Kemerdekaan

Puisi ini dengan jelas mencatat paradoks kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah, tetapi kini terancam oleh kekuatan bersenjata. Dinding-dinding yang “berlubang-lubang” menggambarkan kelemahan struktur sosial dan politik yang membiarkan ketidakadilan terjadi. Dengan nada sinis, puisi ini menyoroti bahwa kemerdekaan yang telah diraih dengan perjuangan kini dihadapkan pada ancaman dari mereka yang seharusnya melindunginya.

Refleksi Kemanusiaan

Di bait-bait berikutnya, Anantaguna menyoroti krisis kemanusiaan: “kemanusiaan hanya sebuah gincu di dalam kebencian.” Frasa ini mencerminkan bahwa di tengah konflik, nilai-nilai kemanusiaan sering kali terabaikan, digantikan oleh kebencian dan kekejaman. Penyair mempertanyakan nilai kemanusiaan ketika kekuatan bersenjata mengambil alih, menegaskan bahwa dalam situasi seperti itu, nyawa menjadi tidak berharga.

Pelajaran Sejarah dan Harapan

Melalui puisi ini, Anantaguna tidak hanya mencatat sejarah, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan pelajaran yang dapat diambil. Kesedihan dan kehilangan diungkapkan dengan jelas: “apa salah yang mati di darat dan di laut.” Ini menunjukkan bahwa banyak individu yang tidak bersalah menjadi korban dari kekacauan yang lebih besar.

Puisi "Suatu Malam Tahun 60-an" adalah puisi yang kuat dan menggugah, mencerminkan kesedihan dan ketegangan dalam sejarah Indonesia. Dengan gaya bahasa yang puitis dan simbolik, Sabar Anantaguna berhasil menangkap esensi dari perjuangan dan kehilangan dalam konteks kemerdekaan. Puisi ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap konflik terdapat kisah manusia yang terabaikan, dan bahwa nilai kemanusiaan harus dijunjung tinggi, bahkan di tengah kekacauan. Melalui karya ini, Anantaguna tidak hanya menciptakan narasi tentang masa lalu, tetapi juga menyerukan refleksi dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Sabar Anantaguna
Puisi: Suatu Malam Tahun 60‐an
Karya: Sabar Anantaguna

Biodata Sabar Anantaguna:
  • Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
  • Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.
© Sepenuhnya. All rights reserved.