Suara Dinding Penjara
Ruang bisu hanya hitam
Rasa rindu timbul tenggelam
Sepi sel sebelah, seorang tahanan gantung diri
Tekanan batin lebih menyiksa daripada mati
Kami bisa berkomunikasi dengan mengetuk dinding
malam sepi nyamuk berdenging‐denging
temanku kesepian didera kerinduan
anaknya masih bayi ia tinggalkan tanpa kesalahan
Aku tersentak petugas kawal membuka kunci
merazia tali‐tali
nyawa tetangga selku sudah terazia tak kembali lagi
Selembar nyawa yang berharga
sampai mati tidak pernah diadili tanpa tahu kesalahannya
Aku diburu rindu dan rasa sepi
mencengkeram sekali
dinding penjara yang biasa bersuara
tinggal rasa hampa nyamuk merajalela
Aku pandangi langit‐langit tanpa kata
bertanya di mana arti merdeka
Sumber: Puisi-Puisi dari Penjara (2010)
Analisis Puisi:
Puisi "Suara Dinding Penjara" karya Sabar Anantaguna menyajikan gambaran yang kuat dan emosional tentang pengalaman seorang tahanan dalam penjara. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, puisi ini mencerminkan kesedihan, kerinduan, dan tekanan psikologis yang dialami oleh tokoh puisi.
Atmosfer Gelap dan Sepi
Pembukaan puisi dengan "Ruang bisu hanya hitam" menciptakan suasana yang langsung terasa kelam dan tertekan. Kata "bisu" menunjukkan ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan dunia luar, sementara "hanya hitam" menandakan kegelapan tanpa harapan. Keberadaan tahanan dalam kondisi semacam ini memberikan gambaran yang kuat tentang kesepian yang menyakitkan.
Kerinduan dan Kehilangan
Frasa "Rasa rindu timbul tenggelam" mengisyaratkan perasaan rindu yang datang dan pergi, tidak menentu, seperti gelombang di lautan. Kerinduan ini semakin mendalam ketika diperkenalkan dengan cerita tentang teman tahanan yang "gantung diri", yang menunjukkan bahwa tekanan mental bisa lebih menyiksa daripada kematian itu sendiri. Ini menggarisbawahi betapa beratnya beban emosional yang harus ditanggung oleh para tahanan.
Komunikasi dalam Keheningan
Kemampuan untuk "berkomunikasi dengan mengetuk dinding" menunjukkan usaha untuk tetap terhubung, meskipun dalam keterasingan. Ini menjadi simbol harapan dan perlawanan di tengah situasi yang menyedihkan. Namun, malam yang "sepi" dan nyamuk yang berdenging menambahkan elemen kebisingan yang mengganggu, menciptakan kontras antara usaha untuk berkomunikasi dan kenyataan pahit dari sepi yang terus membayangi.
Kehidupan yang Terenggut
Ketika petugas membuka kunci dan "merazia tali-tali", ini menggambarkan kehilangan nyawa yang terjadi di dalam penjara. Frasa "selembar nyawa yang berharga / sampai mati tidak pernah diadili tanpa tahu kesalahannya" menekankan ketidakadilan sistemik yang dialami oleh para tahanan. Ini adalah kritik terhadap sistem hukum yang tidak memberikan keadilan bagi mereka yang terkurung tanpa alasan yang jelas.
Pencarian Arti Kebebasan
Akhir puisi yang menggambarkan tokoh yang "pandangi langit-langit tanpa kata" menciptakan kesan keputusasaan dan ketidakberdayaan. Pertanyaan "di mana arti merdeka" menjadi inti dari pencarian makna hidup dan kebebasan. Dalam konteks penjara, kebebasan bukan hanya fisik tetapi juga emosional dan mental.
Puisi "Suara Dinding Penjara" adalah karya yang menggugah tentang realitas pahit yang dihadapi oleh para tahanan. Sabar Anantaguna berhasil menangkap emosi kompleks yang mengelilingi pengalaman terasing, rindu, dan pencarian makna. Dengan bahasa yang sederhana namun kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan di tengah sistem yang seringkali menindas. Pesan yang diusung menjadi relevan tidak hanya bagi para tahanan, tetapi juga bagi semua yang merasakan keterasingan dan kehilangan harapan.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.