Solitude (1)
(1)
lewat daun jendela yang kubuka angin melompat masuk,
menyapu bulu-bulu seluruh tubuhku
ia pun bergayut roboh karenanya dan sentuhan ujung
bulu-bulu itu di kulitku terasa menggeremang
sesuatu yang lebih dalam di rongga jiwaku
"aku menyesal kenapa kubuka jendela itu."
(2)
dingin yang dibawanya tanpa setahuku tiba-tiba memba-
ringkan bayangan yang asing di sisiku
aku tak perduli dan lantas duduk tapi jelas tak bisa kusem-
bunyikan tubuhku yang menggigil diam-diam
"siapakah engkau yang seakan bermaksud menemaniku
tidur malam bagai seorang kenalan yang setiap
kali datang dan setiap kali menghilang?"
(3)
kututup jendela itu rapat-rapat — selamat malam dan
tidurlah bulan yang sunyi, langit kelam dan pe-
pohonan yang bergoyang-goyang
selamat tinggal segala kehidupan di luar jendela, segala
kenangan tentang handai tolan serta impian-
impian masa datang
"kuharap tak seorang pun mengetuk pintu atau berteriak-
teriak mengganggu"
(4)
namun dengan cara apakah, Tuhan, kuraba-rabakan ta-
nganku sehingga tangan di dalam batinku bisa
berpegangan
aku tak mengerti untuk apa kau selenggarakan waktu,
ruang dan segala kefanaan yang terikat olehnya
buku-buku di depanku, pisau, kalender, gelas minuman
dan sepatu kotor yang makin memperpanjang
perjalanan dan memencilkan cintaku padaMu dan
kasihMu padaku
(5)
aku takut, sungguh aku takut, Tuhan, amat berbahaya
permainan ini
jika terbaring, tidur, itulah saat terbaik
"Tuhan, bebaskan aku dari mimpi, keinginan-keinginan
dan siuman di pagi hari"
Sumber: Horison (September, 1978)
Analisis Puisi:
Puisi "Solitude" karya Emha Ainun Nadjib merupakan sebuah karya yang meresapi tema kesepian, pencarian diri, dan hubungan dengan Tuhan. Dengan bahasa yang reflektif dan metafora yang kuat, puisi ini menawarkan pandangan mendalam tentang pengalaman batin yang dialami oleh seseorang yang merindukan kedamaian dan hubungan spiritual yang lebih mendalam.
Kesepian dan Penyesalan Awal
Pada bagian pertama puisi, pembaca diajak untuk merasakan suasana kesepian yang mendalam. Angin yang masuk lewat jendela menjadi simbol dari ketidakpastian dan gangguan yang mengusik ketenangan:
"Lewat daun jendela yang kubuka angin melompat masuk": Pembukaan jendela, yang seharusnya mengundang udara segar, justru membawa ketidaknyamanan. Angin yang "menyapu bulu-bulu" dan "menggeremang" di kulit menjadi metafora dari gangguan emosional dan spiritual yang lebih dalam.
Pernyataan penyesalan, "aku menyesal kenapa kubuka jendela itu", menggambarkan bagaimana keputusan sederhana dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan, membawa rasa menyesal dan ketidaknyamanan.
Ketidaknyamanan dan Pertanyaan Eksistensial
Bagian kedua menggambarkan ketidaknyamanan fisik dan emosional yang timbul akibat kehadiran angin dingin. Ada juga refleksi mendalam mengenai kehadiran yang tidak jelas dan sementara:
"Siapakah engkau yang seakan bermaksud menemaniku tidur malam": Ini mengungkapkan rasa ketidakpastian tentang siapa atau apa yang benar-benar mendampingi dalam kesepian malam.
Kehadiran yang asing ini menciptakan kebingungan, menambah ketidaknyamanan batin, dan memperkuat tema kesepian yang sedang dieksplorasi.
Penutupan dan Keinginan untuk Kedamaian
Bagian ketiga menunjukkan usaha untuk mencari kedamaian dengan menutup jendela dan menolak gangguan dari luar:
"Kututup jendela itu rapat-rapat": Ini melambangkan upaya untuk menutup diri dari gangguan eksternal dan mencapai ketenangan batin.
Dengan harapan agar tidak ada yang mengganggu, "Kuharap tak seorang pun mengetuk pintu atau berteriak-teriak mengganggu", puisi ini mengekspresikan keinginan mendalam untuk menikmati kedamaian dan kesendirian tanpa gangguan.
Pertanyaan tentang Eksistensi dan Hubungan dengan Tuhan
Pada bagian keempat, penulis merenungkan lebih dalam tentang eksistensi, hubungan dengan Tuhan, dan ketidakpastian hidup:
"Namun dengan cara apakah, Tuhan, kuraba-rabakan tanganku sehingga tangan di dalam batinku bisa berpegangan": Ini menunjukkan pencarian makna dan hubungan spiritual yang lebih dalam.
Pertanyaan tentang tujuan waktu, ruang, dan kefanaan menunjukkan kebingungan dan pencarian makna dalam hidup yang sering kali dipenuhi dengan hal-hal yang tampaknya tidak memiliki arti mendalam, seperti buku-buku dan benda sehari-hari.
Ketakutan dan Permohonan untuk Pembebasan
Bagian terakhir dari puisi menyampaikan ketakutan mendalam terhadap permainan hidup dan keinginan untuk pembebasan dari mimpi dan keinginan:
"Aku takut, sungguh aku takut, Tuhan, amat berbahaya permainan ini": Rasa takut terhadap ketidakpastian dan kompleksitas hidup menjadi tema utama.
Permohonan terakhir "Tuhan, bebaskan aku dari mimpi, keinginan-keinginan dan siuman di pagi hari" menunjukkan keinginan untuk menghindari realitas yang penuh dengan keinginan dan kesadaran, mencari kedamaian dalam ketenangan spiritual.
Tema dan Simbolisme
- Kesepian dan Pencarian Spiritual: Puisi ini menyoroti tema kesepian yang mendalam dan pencarian spiritual yang intens. Kesepian ini tidak hanya fisik tetapi juga emosional dan spiritual, menggambarkan perjalanan batin yang dialami oleh individu yang mencari makna dan kedamaian.
- Metafora Angin dan Jendela: Angin sebagai simbol gangguan emosional dan jendela sebagai simbol batas antara dunia luar dan dalam diri. Penutup jendela melambangkan upaya untuk mencari kedamaian dengan menutup diri dari dunia luar.
- Pertanyaan tentang Eksistensi: Refleksi mendalam tentang makna kehidupan, hubungan dengan Tuhan, dan tujuan dari segala sesuatu dalam hidup menunjukkan pencarian makna yang mendalam.
Puisi "Solitude" karya Emha Ainun Nadjib adalah sebuah puisi yang mendalam dan reflektif tentang kesepian, pencarian makna, dan hubungan dengan Tuhan. Dengan metafora yang kuat dan bahasa yang penuh perasaan, puisi ini menggambarkan perjalanan batin seorang individu yang mencari kedamaian dan pemahaman dalam kesendirian. Emha Ainun Nadjib berhasil menangkap esensi dari pencarian spiritual dan ketidakpastian hidup, membuat puisi ini sebuah karya yang mengajak pembaca untuk merenung dan mencari makna di dalam kehidupan mereka sendiri.
Karya: Emha Ainun Nadjib
Biodata Emha Ainun Nadjib:
- Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.