Sisa Gerilya
(I)
Petani di tepi kali
rumah rapuh tertebas angin
tak terucapkan kelahirannya
dibayang-bayang mega putih
Semula ku ditolak tidur
tikar tua daun pandan
tak terucapkan penyesalannya
dibayang-bayang daun nyiur.
Petani di tepi kali
segala senja hutan jati
tak terlagukan keramahannya
dibayang-bayang asap pelita
(II)
Bila dia lelah cerita
gangsir kebun mengisi sepi
penuh pikiran segala
ingatan dan harapan
Apa akan kukatakan
hatinya sudah kata sendiri
dalam siul dalam nyanyi
tak ada pesan dari lautan
Petani di tepi kali
kurus batang padi
tekat di hati
menyala dalam lentera
(III)
Malam itu aku tak ditidurkan hatiku
tak terucapkan segala kata
dinding jadi putih
bila angin jadi lemah
pucatnya hilang bersama sepi
dibayang-bayang di tiang, di dipan dia dilahirkan.
Malam itu kudengar anak menangis
tak terucapkan segala kasih
di ujung jari
di ujung lagu penidurnya sayang disayang
hampir hilang bersama mimpi
dibayang-bayang hari datang dan lahir.
(IV)
Petani di tepi kali
bila aku pamitan pergi
berbayang di mukanya satu sumpah
satu janji:
di lindungannya aku tak mati.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Sisa Gerilya" karya Sabar Anantaguna adalah karya yang menggambarkan realitas kehidupan petani dan perjuangan mereka dalam menghadapi berbagai tantangan. Dengan gaya bahasa yang puitis dan penuh simbol, puisi ini mengeksplorasi tema ketahanan, harapan, dan identitas.
Struktur dan Tema Puisi
Puisi ini terbagi menjadi empat bagian, masing-masing memberikan gambaran yang mendalam tentang kehidupan seorang petani di tepi kali.
Bagian I: Gambaran Awal
Di bagian pertama, penulis memperkenalkan sosok petani yang hidup di tepi kali. Deskripsi "rumah rapuh tertebas angin" menciptakan kesan tentang ketidakstabilan dan kerentanan. "Tak terucapkan kelahirannya" menunjukkan bahwa ada banyak aspek kehidupan yang tidak terungkap, menciptakan rasa misteri dan kesedihan. Keberadaan "mega putih" dan "daun nyiur" mengisyaratkan elemen alam yang menyertai kehidupan sehari-hari, menciptakan kontras antara keindahan alam dan penderitaan manusia.
Bagian II: Refleksi dan Harapan
Bagian kedua berfokus pada perasaan petani saat menghadapi kesepian dan kerinduan. "Gangsir kebun mengisi sepi" menggambarkan ketidakberdayaan yang dirasakan, sementara "tekat di hati" menunjukkan semangat yang tidak padam. Penekanan pada "hatinya sudah kata sendiri" menciptakan kesan bahwa meskipun tidak ada kata-kata yang diucapkan, perasaan dan tekad tetap ada, terungkap dalam "siul dalam nyanyi."
Bagian III: Kehidupan Malam
Di bagian ketiga, suasana malam menggambarkan momen refleksi yang dalam. "Malam itu aku tak ditidurkan hatiku" menunjukkan kegelisahan dan ketidakpastian. Keberadaan "anak menangis" menandakan harapan baru, meskipun dihadapkan pada tantangan. "Di ujung jari" dan "ujung lagu penidurnya" mengekspresikan kasih sayang yang mengalir meski dalam kesulitan, menciptakan kedalaman emosional yang kuat.
Bagian IV: Janji dan Ketahanan
Bagian terakhir menekankan pentingnya janji dan perlindungan. "Di lindungannya aku tak mati" menegaskan ikatan antara petani dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Janji ini menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan, keberanian dan komitmen untuk melindungi satu sama lain tetap ada.
Simbolisme dan Makna
Puisi ini kaya akan simbolisme, dengan "petani di tepi kali" sebagai simbol ketahanan dan perjuangan. "Daun pandan" dan "hutan jati" mewakili alam yang tidak hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga sebagai sumber kehidupan. "Lentera" di akhir puisi melambangkan harapan dan cahaya yang memandu dalam kegelapan.
Puisi "Sisa Gerilya" karya Sabar Anantaguna adalah refleksi yang mendalam tentang kehidupan petani yang penuh perjuangan. Dengan bahasa yang puitis dan emosional, puisi ini menggambarkan ketahanan, harapan, dan ikatan yang terbentuk di tengah kesulitan. Melalui karya ini, pembaca diundang untuk merenungkan pentingnya keberanian dan cinta dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.