Si Buang (1)
Dia tertegun di depan pintu
Perempuan itu senyum datang menyambut
- Selamat datang
Aku sabar menanti sampai hari ini
hari perkawinan kita 25 tahun yang lalu
Dan kau pulang
Si Buang memeluk istrinya
tenang memandang ke dalam matanya
- Alangkah bahagia aku
Sesudah 12 tahun terbuang
aku pulang
ke malam perkawinan perak
Dan mempelaiku perawan kembali
Si Buang (2)
Dua belas tahun
hidup di penjara dan di tanah buangan
orang merindukan kebebasan
Bebas bergerak dan berbuat
bebas menyatakan dan menolak pendapat
bebas dari rasa takut
Kemudian Si Buang dikembalikan ke masyarakat
dibebaskan
Di kelilingnya Si Buang melihat
orang berlomba mengumpul harta
berlomba mencari hiburan
berlomba berbuat maksiat
Tak seorang pun yang punya pendapat
Ada yang berkaok menyatakan pikiran
tanpa menyadari ucapannya hanya apalan
textbook... textbook...
- Hei, aku punya selera sendiri, kata seorang Ajinomoto Paling gurih
- Tidak! Kata yang lain, pakailah Miwon
- Yang paling enak Sasa, sengau Elvi Sukaesih
Mereka dibayar untuk promosi
Melihat semua ini Si Buang pusing
batuk-batuk, rasa meriang, bersin
Dia dikerumuni orang yang berteriak ‘Inza!’
Mas Kris datang menyerbu, mengacung ‘Miz-a-grip’
Si Buang bersorak ‘Tidak! Rujak yang paling cocok’
Dia dikeroyok ‘Subversi! Tidak bisa menyesuaikan diri!
Selera tidak relevan! Menghambat pembangunan!’
Si Buang lari takut
Lari... takut... iih, takut
1980
Sumber: Aku Hadir di Hari Ini (2010)
Analisis Puisi:
Puisi "Si Buang" karya HR. Bandaharo menggambarkan pengalaman seorang tokoh yang baru saja kembali ke masyarakat setelah bertahun-tahun hidup dalam buangan. Puisi ini mengisahkan perjalanan emosional dan sosial Si Buang, mengungkapkan ketegangan antara harapan pribadi dan kenyataan sosial yang dia hadapi setelah masa penahanan. Dalam dua bagian yang berbeda, puisi ini mengeksplorasi tema-tema tentang keterasingan, perubahan sosial, dan konflik antara nilai-nilai pribadi dan norma masyarakat.
Bagian 1: Kembalinya Si Buang
Bagian pertama puisi ini menyoroti momen emosional ketika Si Buang kembali ke rumah setelah dua belas tahun terbuang. Dia disambut oleh istrinya dengan senyuman, seolah-olah waktu tidak berlalu sama sekali. Keduanya merayakan malam perkawinan perak mereka, meskipun kenyataannya Si Buang merasa seperti memulai kembali dari awal. Dia merasakan kebahagiaan yang mendalam karena bisa kembali ke kehidupan lamanya, bahkan jika ia merasa seperti "mempelaiku perawan kembali."
Momen ini menggambarkan harapan dan kebahagiaan yang mendalam saat reunifikasi, namun juga menyiratkan ketegangan dan ketidaknyamanan yang mungkin menyertai proses adaptasi kembali ke kehidupan normal setelah pengalaman penahanan yang panjang. Si Buang merasakan ketegangan antara masa lalu dan kenyataan baru yang harus dihadapinya.
Bagian 2: Keterasingan dan Konfrontasi Sosial
Bagian kedua puisi ini menyoroti bagaimana Si Buang merasa terasing dan bingung dengan perubahan yang telah terjadi selama dia berada dalam penjara. Setelah kembali ke masyarakat, Si Buang dihadapkan pada lingkungan sosial yang sangat berbeda dari apa yang dia tinggalkan. Masyarakat di sekelilingnya tampaknya sibuk dengan mengejar harta, hiburan, dan maksiat. Mereka tampaknya tidak memiliki pendapat yang independen dan terjebak dalam sikap yang ditentukan oleh promosi dan iklan.
Keterasingan Sosial
Si Buang merasa terasing dan bingung oleh pergeseran nilai-nilai sosial yang dia saksikan. Dia merasa pusing dan sakit, terpaksa berhadapan dengan norma-norma baru yang tampaknya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang dia pegang. Ketika mencoba untuk mengekspresikan preferensinya sendiri, dia diserang dan dicap sebagai subversif. Ini menggambarkan konflik antara individu yang kembali dari keterasingan dan masyarakat yang telah berubah atau terbelenggu dalam norma-norma yang dikendalikan oleh kekuatan eksternal.
Kritik Sosial dan Satire
Puisi ini menggunakan satire untuk mengkritik masyarakat yang terjebak dalam konsumsi dan promosi tanpa berpikir kritis. Menggunakan contoh-contoh seperti Ajinomoto, Miwon, dan Sasa, Bandaharo menunjukkan bagaimana iklan dan promosi mempengaruhi masyarakat, menciptakan ketergantungan pada produk-produk tertentu, dan bagaimana ini mengarahkan pendapat umum. Pengenalan karakter seperti "Si Buang" yang merasa terasing dalam situasi ini berfungsi sebagai metafora untuk individu yang merasa terpinggirkan oleh perubahan sosial yang tidak mereka pahami atau terima.
Puisi "Si Buang" karya HR. Bandaharo merupakan karya yang penuh dengan nuansa emosional dan sosial. Dalam dua bagian yang kontras, puisi ini menggambarkan perjalanan Si Buang dari kepulangan yang penuh harapan ke keterasingan dan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan sosial. Melalui penggambaran yang kuat tentang ketegangan antara nilai-nilai pribadi dan norma-norma masyarakat, Bandaharo memberikan kritik tajam terhadap kondisi sosial yang tampaknya menekan kebebasan individu dan menggantikan keaslian dengan konsumsi dan promosi.
Puisi ini mencerminkan kegelisahan dan keterasingan yang mungkin dirasakan seseorang yang kembali ke masyarakat yang telah berubah secara dramatis selama ketidakhadirannya. Dengan gaya yang penuh satir dan simbolik, Bandaharo berhasil menangkap esensi dari konflik yang dialami Si Buang, serta mengajak pembaca untuk merenungkan dinamika sosial dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan kita.
Karya: HR. Bandaharo
Biodata HR. Bandaharo:
- HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
- HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
- HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.