Puisi: Si Bincik (Karya Iyut Fitra)

Puisi Si Bincik karya Iyut Fitra menggambarkan perjalanan emosional dan budaya, sekaligus menciptakan gambaran visual yang kuat dari alam dan ...
Si Bincik

Selepas lebuh lurus
di gerbang kota setelah bukit-bukit
padi-padi menguning
angin berdesauan lembut
dan orang-orang berpantun air jernih
dan ikannya yang jinak
di sanalah payakumbuh
nagari gadis-gadis bercanda di tepian
bujang-bujang bersimbur sepanjang pematang
maka tataplah!
jauh ke lereng ngalau
goa-goa pun terhampar sebagai kisah
si bincik
yang didendangkan di tubuh batu menangis

+ palung waktu. bila ada alasan untuk menunggu
adalah bau ranjang kanak-kanak. kelambu yang bergabuk
pulangkan ia ke kubangan...
– kurasakan desirnya
hulu yang hanyut. di taeh sampelong dilantunkan
rindukah menikam rantauku
+ palung waktu. di ngalau helat kusiapkan
pengantin yang akan pulang. adakah ia telah dewasa?
– siapakah itu yang menyayat nadi dalam hari
ayo siapkan, biar kupacu kudaku

maka berpaculah pagi siang dan malam
seorang ksatria dengan tujuh dubalang lesat membelah rimba
si bincik pulang ke tandus rindu. bukit, gunung dan lekuk
ke desa lembah ibunya yang tua

canang dipukul siang
gemanya sampai ke rabu sepi. orang-orang pun berkumpul
di antara lelalang
tua-tua membesarkan mata
gadis-gadis melepas rambutnya. matahari gagah
si bincik di atas kuda
tujuh dubalang dengan pakaian kebesaran. dan angin pun
bersimpuh

+ palung waktu. telah kujerat napasnya
bau itu kini telah dewasa
anakku, merapatlah ke tubuhku!

angin menggeliat pelan. si bincik muram
hamparan sepanjang pemandangan tiba-tiba baginya kelam

– tujuh malam di perjalanan dengan tujuh dubalang
berpakaian kebesaran
tak pernah kukira mimpi seburuk ini
orang tua, aku si bincik dengan seribu mahkota!

angin yang bersimpuh, pelan-pelan naik, dan hitam
pelan-pelan

+ demi tangis kecil yang tak kulupa
demi helat kusiapkan
mendekatlah anak yang besar berkalang lengan
kasih tak pernah lerai di tubuhku
sebentar lagi serunai melengking mengiringi perkawinan
– adakah lembah yang telah salah. atau angin berubah arah
enyahlah orang tua, sebelum kudaku meringkik menerjang langit
+ anakku, suaramu masih kusimpan
tidakkah kau rindu gadis dulu di tepian?
– enyahlah perempuan bansaik
atau kudaku kan menjilat kulitmu yang busuk

malin kundang! malin kundang! serupa kisah yang berulang
orang-orang berlarian meninggalkan lelalang
tua-tua ternganga
gadis-gadis mengikat rambutnya

angin telah sempurna naik. hitamnya sempurna
melukis langit dengan legenda yang murung

si bincik dengan tujuh dubalang berpakaian kebesaran
meludahi tanah. melajang bukit
debunya turun ke lembah
dan cucur airmata jadi doa

+ tuhan, rinduku telah membatu. penungguanku membatu
maka batukanlah semua. sekalipun itu anakku!

angin seketika mungkin tak ada. hanya hitam saja
serta langit berubah kelabu dan asin

helat yang tak jadi
si bincik berteriak di atas kuda
bersisian bayang dengan kursi pengantin, payung
dan pelaminan
tak jauh di antaranya, sang ibu pun membatukan diri
dalam doa
berapa kutuk harus diturunkan
sebelum sejarah.

Payakumbuh, 2007

Sumber: Dongeng-Dongeng Tua (2009)
Catatan:
Si Bincik: sebuah legenda dari Kota Payakumbuh Sumatera Barat.

Analisis Puisi:

Puisi Si Bincik karya Iyut Fitra merupakan sebuah karya sastra yang kaya akan makna dan imaji, yang mengangkat legenda lokal dari Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Dalam puisi ini, penulis berhasil menyusun narasi yang menggambarkan perjalanan emosional dan budaya, sekaligus menciptakan gambaran visual yang kuat dari alam dan kehidupan masyarakat.

Pengantar ke Kota Payakumbuh

Puisi ini dimulai dengan gambaran indah tentang Payakumbuh, di mana “padi-padi menguning” dan “angin berdesauan lembut.” Suasana ini menciptakan rasa kedamaian dan keindahan alam yang menjadi latar bagi cerita yang lebih dalam. Payakumbuh bukan hanya sekadar tempat; ia adalah simbol kehidupan yang beragam, di mana gadis-gadis dan bujang-bujang bersenang-senang di tepian sungai.

Legenda Si Bincik

Konsep “si bincik” dihadirkan sebagai tokoh utama yang melambangkan kerinduan dan nostalgia. Kisahnya yang terhampar di “goa-goa” menggambarkan kehidupan yang penuh liku-liku, di mana penantian dan harapan menyatu dalam satu narasi. “Si bincik pulang ke tandus rindu” menunjukkan bahwa perjalanan kembali ke tempat asal membawa banyak emosi, termasuk rasa kehilangan dan kerinduan yang mendalam.

Palung Waktu dan Refleksi

Penggunaan frasa “palung waktu” dalam puisi ini membawa makna tentang dimensi waktu yang berlapis-lapis. Penulis menyiratkan bahwa waktu bukanlah linear, tetapi penuh dengan memori yang saling terkait. Dalam konteks ini, penantian “bau ranjang kanak-kanak” dan “helat kusiapkan” menyiratkan harapan akan masa depan yang lebih baik, meskipun diwarnai dengan kesedihan masa lalu.

Perjuangan dan Perjuangan Emosional

Ketika si Bincik menggambarkan “tujuh malam di perjalanan dengan tujuh dubalang,” itu menunjukkan bahwa perjuangan tidak hanya bersifat fisik tetapi juga emosional. Tokoh ini berjuang melawan takdir dan harapan yang tak terpenuhi. Rasa kepedihan yang mendalam, seperti “tujuh dubalang dengan pakaian kebesaran,” menggambarkan bahwa meskipun ada kekuatan di sekelilingnya, ia tetap merasa terasing dan kehilangan.

Pertemuan dengan Kenangan

Konflik antara kenyataan dan kenangan hadir dalam bentuk pertanyaan “adakah lembah yang telah salah?” dan “atau kudaku kan menjilat kulitmu yang busuk.” Di sini, ada penggambaran bahwa meskipun si Bincik berusaha melanjutkan hidup, kenangan akan masa lalu dan orang-orang yang dicintainya terus menghantuinya. Ini menciptakan ketegangan yang kuat antara keinginan untuk melupakan dan kebutuhan untuk mengingat.

Kesedihan dan Penantian

Penggunaan kata “batukanlah semua” menekankan keputusasaan si Bincik. Ia ingin menghilangkan rasa sakit dan penantian yang tidak berujung. Kekuatan dari rasa rindu dan kesedihan ini terasa sangat nyata, seperti ketika penulis menggambarkan “cucur airmata jadi doa.” Ini menunjukkan bahwa dalam kesedihan, ada harapan dan permohonan untuk kelegaan.

Puisi Si Bincik karya Iyut Fitra merupakan sebuah karya yang tidak hanya bercerita tentang seorang tokoh, tetapi juga tentang pengalaman universal manusia dalam menghadapi kerinduan, kehilangan, dan harapan. Dengan mengangkat legenda dari budaya lokal, puisi ini menyiratkan bahwa setiap tempat memiliki cerita dan makna yang mendalam. Melalui imaji yang kaya dan bahasa yang puitis, Iyut Fitra berhasil menghadirkan Si Bincik sebagai simbol perjalanan emosional yang tak lekang oleh waktu, mengajak kita untuk merenung dan merasakan makna dari setiap kenangan yang kita simpan dalam hidup.

Iyut Fitra
Puisi: Si Bincik
Karya: Iyut Fitra

Biodata Iyut Fitra:
  • Iyut Fitra (nama asli Zulfitra) lahir pada tanggal 16 Februari 1968 di Nagari Koto Nan Ompek, Kota Payakumbuh, Sumatra Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.