Sumber: Dongeng-Dongeng Tua (2009)
Analisis Puisi:
Puisi Si Bincik karya Iyut Fitra merupakan sebuah karya sastra yang kaya akan makna dan imaji, yang mengangkat legenda lokal dari Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Dalam puisi ini, penulis berhasil menyusun narasi yang menggambarkan perjalanan emosional dan budaya, sekaligus menciptakan gambaran visual yang kuat dari alam dan kehidupan masyarakat.
Pengantar ke Kota Payakumbuh
Puisi ini dimulai dengan gambaran indah tentang Payakumbuh, di mana “padi-padi menguning” dan “angin berdesauan lembut.” Suasana ini menciptakan rasa kedamaian dan keindahan alam yang menjadi latar bagi cerita yang lebih dalam. Payakumbuh bukan hanya sekadar tempat; ia adalah simbol kehidupan yang beragam, di mana gadis-gadis dan bujang-bujang bersenang-senang di tepian sungai.
Legenda Si Bincik
Konsep “si bincik” dihadirkan sebagai tokoh utama yang melambangkan kerinduan dan nostalgia. Kisahnya yang terhampar di “goa-goa” menggambarkan kehidupan yang penuh liku-liku, di mana penantian dan harapan menyatu dalam satu narasi. “Si bincik pulang ke tandus rindu” menunjukkan bahwa perjalanan kembali ke tempat asal membawa banyak emosi, termasuk rasa kehilangan dan kerinduan yang mendalam.
Palung Waktu dan Refleksi
Penggunaan frasa “palung waktu” dalam puisi ini membawa makna tentang dimensi waktu yang berlapis-lapis. Penulis menyiratkan bahwa waktu bukanlah linear, tetapi penuh dengan memori yang saling terkait. Dalam konteks ini, penantian “bau ranjang kanak-kanak” dan “helat kusiapkan” menyiratkan harapan akan masa depan yang lebih baik, meskipun diwarnai dengan kesedihan masa lalu.
Perjuangan dan Perjuangan Emosional
Ketika si Bincik menggambarkan “tujuh malam di perjalanan dengan tujuh dubalang,” itu menunjukkan bahwa perjuangan tidak hanya bersifat fisik tetapi juga emosional. Tokoh ini berjuang melawan takdir dan harapan yang tak terpenuhi. Rasa kepedihan yang mendalam, seperti “tujuh dubalang dengan pakaian kebesaran,” menggambarkan bahwa meskipun ada kekuatan di sekelilingnya, ia tetap merasa terasing dan kehilangan.
Pertemuan dengan Kenangan
Konflik antara kenyataan dan kenangan hadir dalam bentuk pertanyaan “adakah lembah yang telah salah?” dan “atau kudaku kan menjilat kulitmu yang busuk.” Di sini, ada penggambaran bahwa meskipun si Bincik berusaha melanjutkan hidup, kenangan akan masa lalu dan orang-orang yang dicintainya terus menghantuinya. Ini menciptakan ketegangan yang kuat antara keinginan untuk melupakan dan kebutuhan untuk mengingat.
Kesedihan dan Penantian
Penggunaan kata “batukanlah semua” menekankan keputusasaan si Bincik. Ia ingin menghilangkan rasa sakit dan penantian yang tidak berujung. Kekuatan dari rasa rindu dan kesedihan ini terasa sangat nyata, seperti ketika penulis menggambarkan “cucur airmata jadi doa.” Ini menunjukkan bahwa dalam kesedihan, ada harapan dan permohonan untuk kelegaan.
Puisi Si Bincik karya Iyut Fitra merupakan sebuah karya yang tidak hanya bercerita tentang seorang tokoh, tetapi juga tentang pengalaman universal manusia dalam menghadapi kerinduan, kehilangan, dan harapan. Dengan mengangkat legenda dari budaya lokal, puisi ini menyiratkan bahwa setiap tempat memiliki cerita dan makna yang mendalam. Melalui imaji yang kaya dan bahasa yang puitis, Iyut Fitra berhasil menghadirkan Si Bincik sebagai simbol perjalanan emosional yang tak lekang oleh waktu, mengajak kita untuk merenung dan merasakan makna dari setiap kenangan yang kita simpan dalam hidup.
Puisi: Si Bincik
Karya: Iyut Fitra
Biodata Iyut Fitra:
- Iyut Fitra (nama asli Zulfitra) lahir pada tanggal 16 Februari 1968 di Nagari Koto Nan Ompek, Kota Payakumbuh, Sumatra Barat.