Analisis Puisi:
Puisi "Seudati" karya D. Kemalawati adalah sebuah karya pendek namun sarat makna, yang secara halus menggambarkan keterkaitan antara tradisi, sejarah, dan keberlanjutan budaya. Dengan hanya tiga baris, penyair berhasil menciptakan suasana yang mengundang refleksi mendalam tentang kekuatan tradisi dalam menghadapi perubahan zaman.
Pelestarian Tradisi di Tengah Perubahan Zaman
Puisi ini dibuka dengan ajakan yang tegas, "Lupakan hikayat tua itu," yang dapat ditafsirkan sebagai dorongan untuk mengalihkan perhatian dari cerita-cerita lama, mungkin dari sejarah yang terlalu berfokus pada masa lalu. Namun, frasa ini bukan berarti merendahkan hikayat atau tradisi, melainkan lebih sebagai ajakan untuk tidak terpaku pada nostalgia masa lalu semata.
Di sini, penyair seakan menyiratkan bahwa meskipun kita memiliki warisan sejarah yang kaya, kehidupan harus terus berjalan. Hikayat tua bisa dianggap sebagai simbol dari masa lalu yang penuh makna, tetapi kita tidak boleh terjebak dalam keagungan masa silam dan melupakan realitas masa kini.
Kabut sebagai Simbol Keberlanjutan
Baris kedua, "di sini kabut masih berdiri," memberikan gambaran bahwa meskipun hikayat tua telah berlalu, masih ada sesuatu yang tersisa. Kabut dalam konteks ini dapat diartikan sebagai simbol dari ketidakpastian atau ambiguitas antara masa lalu dan masa kini. Kabut juga bisa merujuk pada tantangan atau keraguan yang dihadapi dalam melestarikan tradisi di tengah perubahan sosial yang cepat.
Namun, meskipun kabut berdiri, itu tidak menghentikan aktivitas dan keberlangsungan budaya. Kabut bisa juga mencerminkan sesuatu yang misterius dan sulit dipahami, tetapi tetap ada di sana, tak hilang bersama waktu.
Seudati: Pemetik Jari yang Terus Menari
Baris terakhir, "pemetik jari masih menari," merujuk langsung pada tarian Seudati, tarian tradisional khas Aceh yang sarat dengan nilai-nilai budaya, spiritual, dan keberanian. Seudati adalah tarian yang menggunakan gerakan tangan, terutama dengan suara tepukan jari dan tubuh yang dinamis, sebagai simbol keperkasaan dan komunikasi.
Dalam konteks ini, pemetik jari yang terus menari menggambarkan bahwa meskipun zaman berubah, tradisi Seudati tetap hidup. Tarian ini bukan hanya sebuah bentuk seni, tetapi juga sarana untuk menjaga identitas budaya dan menyampaikan pesan-pesan moral dan sosial.
Melalui puisi ini, D. Kemalawati seakan mengingatkan bahwa meskipun ada ajakan untuk meninggalkan atau tidak terlalu terikat pada masa lalu (hikayat tua), budaya tetap harus berjalan dan berkembang. Pemetik jari yang terus menari adalah lambang dari ketahanan budaya yang tidak akan lekang oleh waktu, terlepas dari kabut ketidakpastian yang mungkin menyelimuti.
Refleksi tentang Tradisi dan Identitas
Puisi "Seudati" karya D. Kemalawati mengajak kita untuk merefleksikan hubungan antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan modernitas. Hikayat tua mewakili sejarah dan warisan yang berharga, tetapi tidak boleh menjadi beban yang menghambat kreativitas dan inovasi budaya. Kabut yang berdiri menunjukkan bahwa di tengah ketidakpastian, masih ada ruang untuk tradisi bertahan dan berkembang.
Pada akhirnya, pemetik jari yang masih menari adalah simbol dari keberlangsungan budaya yang terus hidup. Tarian Seudati bukan hanya bentuk seni, tetapi juga representasi dari semangat yang abadi, memperlihatkan bagaimana tradisi dapat terus relevan dan berfungsi sebagai pengikat identitas di tengah zaman yang terus berubah.
Puisi ini, meskipun singkat, memberikan wawasan yang mendalam tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara menghargai masa lalu dan terus bergerak maju. Dengan demikian, Seudati menjadi lebih dari sekadar tarian; ia adalah cerminan dari daya tahan budaya dan identitas yang tetap hidup meskipun tantangan zaman menghadang.
Karya: D. Kemalawati
Biodata D. Kemalawati:
- Deknong Kemalawati lahir pada tanggal 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh.