Sepercik Api yang Membakar
untuk kongres VII PKI
sesudah sekian tahun
meninggalkan daerah pertemuan cinta dan kewajiban
aku kembali lagi
ke tepi sungai silau dan sungai asahan
ke tangkahan tempat mandi
dan dara berkecimpung bersimburan
ke beting-beting putih
dan keriangan anak-anak alip-alipan.
aku datang mencari benih
yang pernah ditabur di pesemaian
aku datang rindukan kasih
yang pernah lahir di pertempuran.
ah, alangkah indah pertemuan ini.
kulit yang hitam dibakar matahari
tangan-tangan yang kasar karena kerja
garis-garis muka yang keras karena derita.
tanpa uluran tangan hati merangkul hati
dan mata menyelami mata.
mereka yang lama-lama dan yang baru-baru, muda-muda
bersatu dalam barisan yang didewasakan oleh pengalaman
tapi senentiasa remaja ditempa juang.
-- kawan-kawan, ada yang tak kulihat
ada yang lari meninggalkan barisan?
semua mulut terkatup tidak menjawab.
-- kita adalah kasih, setia kawan dan persatuan
jangan seorang pun dibiarkan hilang.
-- bagaimana keadaan kawan-kawan?
ah, alangkah indah semua ini.
di air joman, di simpang empat, di sungai jawi-jawi
kaum tani mengembangkan barisan.
di nantalu? penebang-penebang kayu mulai membaca buku.
sungai lebah, sungai kepayang, sungai nangka
penggarap tanah, pembakar kapur, pemanjat kelapa
bahu-membahu, saling bantu dan berlawan
untuk pelaksanaan bagi hasil, kenaikan upah, perbaikan kerja
-- bagaimana di kota?
beramal kepada rakyat dan gerakan 1001
memobilisasi tenaga bedil dan tenaga pangan.
-- kawan-kawan, kita berjuang dan bernyanyi.
ah, alangkah menawan yang muda-muda ini.
mereka tak kenal lelah tak kenal jemu
seniman-seniman persiapkan drama, nyanyi dan tari
untuk menyambut kongres, 1 dan 23 mei.
-- dan kaum nelayan?
mereka mengikuti jejak si jantan
yang dibesarkan laut tapi tewas di daratan
berjuang untuk hak dan kebebasan.
alangkah indah dan segar.
ai, bermimpikah aku?
benih disemai telah menjadi
seculim kasih telah menebar.
yang tumbuh dan menebar ini
sepercik api
yang membakar.
itulah Partai
dan Partai telah hadir di sini
di banyak hati.
Tanjung Balai, 14 April 1962
Sumber: Dari Bumi Merah (1963)
Analisis Puisi:
Puisi "Sepercik Api yang Membakar" karya HR. Bandaharo adalah sebuah karya yang penuh dengan semangat perjuangan, cinta, dan keinginan untuk membangkitkan kembali rasa solidaritas dan kesetiaan. Melalui imaji yang kuat dan narasi yang menyentuh, puisi ini menggambarkan perjalanan kembali ke akar perjuangan dan menemukan kembali semangat kolektif.
Kembalinya ke Akar
Puisi dimulai dengan perjalanan kembali ke tempat-tempat penuh kenangan—sungai, tangkahan, dan beting-beting putih. Ini melambangkan pencarian kembali pada asal-usul, kenangan, dan cinta yang pernah ada.
- "aku kembali lagi / ke tepi sungai silau dan sungai asahan": Menggambarkan kembali ke tempat asal dan kenangan lama yang penuh makna.
Pertemuan dan Solidaritas
Penyair menyambut kembali orang-orang yang telah mengalami derita dan kerja keras, menekankan keindahan pertemuan dan solidaritas yang terjalin antara mereka.
- "Kulit yang hitam dibakar matahari / tangan-tangan yang kasar karena kerja": Menunjukkan kerja keras dan pengorbanan yang telah dilakukan.
- "Tanpa uluran tangan hati merangkul hati / dan mata menyelami mata": Menggambarkan hubungan mendalam dan solidaritas yang terjalin tanpa perlu kata-kata.
Pertanyaan dan Kesadaran
Puisi ini juga menyiratkan kekhawatiran tentang mereka yang hilang atau meninggalkan perjuangan. Ini mengajak pembaca untuk refleksi tentang keberadaan dan kontribusi masing-masing dalam perjuangan bersama.
- "Kawan-kawan, ada yang tak kulihat / ada yang lari meninggalkan barisan?": Menanyakan tentang keberadaan mereka yang hilang dalam perjuangan bersama.
Kehidupan Sehari-hari dan Aktivitas Sosial
Bandaharo menggambarkan kehidupan sehari-hari di berbagai tempat—kaum tani, penebang kayu, dan nelayan—serta aktivitas sosial mereka, seperti perbaikan kerja dan kenaikan upah. Ini menunjukkan bagaimana perjuangan melibatkan banyak aspek kehidupan.
- "Kaum tani mengembangkan barisan": Menunjukkan usaha dan kerja keras para petani dalam perjuangan.
- "Di kota? Beramal kepada rakyat dan gerakan 1001": Menyiratkan usaha untuk memobilisasi tenaga dan sumber daya di kota.
Semangat dan Harapan
Akhir puisi mencerminkan kebanggaan dan harapan terhadap generasi muda dan semangat perjuangan yang tak pernah padam. Sepercik api yang membakar melambangkan semangat perjuangan yang terus menyala.
- "Alangkah indah dan segar": Menunjukkan rasa bangga dan kepuasan terhadap hasil perjuangan.
- "Sepercik api / yang membakar. Itulah Partai": Menggambarkan semangat dan tekad Partai dalam perjuangan.
Puisi "Sepercik Api yang Membakar" karya HR. Bandaharo adalah sebuah perayaan atas semangat perjuangan, cinta, dan solidaritas. Dengan menggambarkan perjalanan kembali ke akar, pertemuan kembali, dan kehidupan sehari-hari, puisi ini menyampaikan pesan tentang pentingnya perjuangan kolektif dan semangat yang tak pernah padam. Semangat sepercik api dalam puisi ini adalah simbol dari tekad dan keberanian yang terus menerangi jalan perjuangan.
Karya: HR. Bandaharo
Biodata HR. Bandaharo:
- HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
- HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
- HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.