Seorang Istri Korban D.I.
(I)
Ke mana dikau hatiku
ke mana dikau kasihku
di sini aku menanti
keyakinan ada padaku.
di mana dikau hatiku
di mana dikau sayangku
kemari aku mencari
harapan ada padaku.
Kekasih, dikau kubawakan kembang
meski berapa kali aku berkata
meski berapa kali aku menangis.
Kekasih, dikau kubawakan cinta
tanggal berapa kudengar kau menyanyi
bulan apa aku kecup hawa pagi.
(II)
Datanglah, datang, sebelum umur
di ambang pintu menahan napas.
Datanglah, datang, sebelum menur
di sisi sumur menahan tangis.
Pulanglah, pulang, buyung bertanya
di ambang susu menahan rindu
Pulanglah, pulang, siapa pula
di samping sepi menahan parah.
(III)
Kalau aku mengemis
apapula yang kuemiskan adalah anak
apapula yang kutangiskan adalah anak
di jalan-jalan menyanyi hujan gerimis.
Kalau malam gerimis
apapula yang kudekap adalah anak
apapula yang kutuntut adalah teratak
di lorong-lorong sepi biar kering di teritis.
(IV)
Di mana dikau hatiku
di sini aku mencari
bila mati mana kabarkan
biar kembang aku bawakan.
Kekasih, dikau kutanamkan kembang
meski berapa kali aku berkata
meski berapa kali aku menangis
biar basah kerna embun airmata.
Kekasih, dikau kusimpankan cinta
dari berapa kota aku mencari
dari berapa desa aku bertanya
anak dan hidup akan kupegang.
(V)
Kepadamu bapak-bapak
aku tuntut demi anak-anak
amankan hati kami
desa kami.
Kepadamu perusak desa
demi cinta
kalah atau menyerah
matimu bersama tuan tanah.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Seorang Istri Korban D.I." karya Sabar Anantaguna adalah sebuah karya yang mendalam dan emosional, menggambarkan kesedihan, kerinduan, dan perjuangan seorang istri yang ditinggalkan oleh suaminya, yang menjadi korban dari konflik bersenjata. Dalam puisi ini, Anantaguna mengeksplorasi tema cinta, kehilangan, dan harapan dalam konteks kekacauan yang diakibatkan oleh D.I. (Darul Islam).
Struktur dan Tema Puisi
Puisi ini terdiri dari lima bagian yang saling berkaitan, di mana setiap bagian mencerminkan perasaan dan harapan sang istri.
Bagian I: Kerinduan dan Harapan
Di bagian pertama, penulis mengekspresikan kerinduan yang mendalam dan harapan untuk bertemu dengan kekasihnya. Pertanyaan retoris seperti "Ke mana dikau hatiku?" dan "Di mana dikau sayangku?" menunjukkan kecemasan dan ketidakpastian yang dialami oleh sang istri. Dia menunggu dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya dipenuhi kesedihan.
Bagian II: Menanti Kepulangan
Bagian kedua melanjutkan tema kerinduan dengan permohonan agar sang suami pulang. "Datanglah, datang, sebelum umur di ambang pintu menahan napas." Ungkapan ini mencerminkan betapa mendesaknya keinginan untuk bertemu, serta ketakutan akan waktu yang terus berlalu. Kesedihan yang mendalam terungkap ketika dia menahan tangis dan rindu di tengah kesepian.
Bagian III: Ketidakberdayaan dan Kesedihan
Di bagian ketiga, puisi ini menggambarkan penderitaan dan kesedihan yang dialami oleh sang istri dan anak-anaknya. "Kalau malam gerimis, apapula yang kudekap adalah anak." Di sini, Anantaguna menunjukkan bahwa anak-anak adalah simbol harapan dan masa depan, namun juga merupakan beban yang harus dipikul di tengah kesedihan.
Bagian IV: Menghormati Cinta dan Kenangan
Bagian keempat kembali menyoroti kerinduan dan cinta yang tidak pudar, meskipun dalam kesedihan. Dia menanamkan kenangan dan cinta di dalam hatinya, meskipun harus menghadapinya dengan air mata. "Kekasih, dikau kusimpankan cinta." Ini mencerminkan betapa kuatnya ikatan emosional yang terjalin, bahkan dalam kesulitan.
Bagian V: Seruan untuk Keadilan
Bagian terakhir menjadi penegasan dari perjuangan untuk keadilan. Dia menuntut agar pihak-pihak yang bertanggung jawab—"Kepadamu bapak-bapak" dan "Kepadamu perusak desa"—untuk melindungi keluarganya. Ada nuansa keberanian dan keteguhan dalam suara perempuan ini, menuntut hak dan perlindungan bagi anak-anak dan masyarakatnya.
Simbolisme dan Makna
Puisi ini kaya akan simbolisme. "Kembang" menjadi simbol cinta dan harapan yang selalu ada meskipun dalam kesedihan. "Anak" melambangkan masa depan dan harapan yang harus diperjuangkan. Sementara itu, "desa" mencerminkan tempat tinggal dan identitas yang harus dilindungi.
Puisi "Seorang Istri Korban D.I." karya Sabar Anantaguna adalah ungkapan yang kuat tentang cinta, kehilangan, dan perjuangan dalam menghadapi konflik. Melalui lirik yang puitis dan emosional, puisi ini tidak hanya menyuarakan kesedihan seorang istri yang ditinggalkan, tetapi juga menggugah kesadaran akan pentingnya keadilan dan perlindungan bagi mereka yang paling rentan. Anantaguna berhasil menangkap kompleksitas perasaan manusia dalam situasi yang penuh tantangan, menjadikan puisi ini relevan dan mendalam dalam konteks sejarah dan kemanusiaan.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.