Puisi: Satu Mei di Gunung (Karya Agam Wispi)

Puisi "Satu Mei di Gunung" karya Agam Wispi menyoroti hubungan antara rakyat dan partai komunis, serta mengekspresikan perasaan kebanggaan dan ...
Satu Mei di Gunung

kecil motor ini dicengkam gunung
nganga jurang, tapi kutahu
pulang dan pergi ada yang menunggu

pesta
tugas
suara gong
jabat-salam biar tak kenal siapa
cuma ada satu suara: bebas
pesta -- kerja -- tugas -- pesta
dibaja partai komunis
dengar: buruh tani satu darah satu daerah

jabat-salam
tepuk-tangan
teriak
tawa
sorak
gelak
kibaran palu-arit
bendera merah, sangsaka
ayo menari
bernyanyi
ahoooooi.........

            motor dari desa tiba             
            petani yang tanamannya jatuh-harga
            tenggelam diarak gelak kota      
            tawa -- tari -- sorak          

ahoooooi
ayo menari
hidup satumei
bebas

gong.........
ahoooooi........., ooooouuuuui
menari, menari, menari
apa? depekaen? huh!
buat apa dia di sini
ayo menari, menyanyi
kulik suling
gong.........
gong.........
dong.........
ahoooooi, ooooouuuuu, ahoooooi

panggil-memanggil
lambai-melambai
menari
menari

o, betapa nikmat
aku kecap
aku lihat
partaiku menari
bersama rakyat
aku menari
cintaku mendaki

Brastagi, 1 Mei 1954

Sumber: Yang Tak Terbungkamkan (1959)

Analisis Puisi:

Puisi "Satu Mei di Gunung" karya Agam Wispi adalah karya yang merayakan Semangat Hari Buruh Internasional, atau dikenal sebagai "Satu Mei". Melalui puisi ini, Wispi menangkap esensi perayaan, kebersamaan, dan semangat perjuangan kelas pekerja dalam suasana yang penuh warna dan kegembiraan. Dengan penggunaan simbol dan metafora yang kuat, puisi ini menyoroti hubungan antara rakyat dan partai komunis, serta mengekspresikan perasaan kebanggaan dan solidaritas.

Gambaran Perayaan dan Kegembiraan

Puisi ini dimulai dengan gambaran sebuah motor kecil yang "dicengkam gunung" dan "nganga jurang," menciptakan kesan pergerakan yang penuh risiko dan tantangan. Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat harapan dan janji akan kepulangan yang dinanti. Motor yang menggambarkan perjalanan dan pergerakan menjadi simbol perjalanan perjuangan kelas pekerja.

kecil motor ini dicengkam gunung
nganga jurang, tapi kutahu
pulang dan pergi ada yang menunggu

Perayaan Hari Buruh digambarkan dengan suasana yang meriah dan semarak, di mana pesta, tugas, dan suara gong menjadi bagian penting dari perayaan. Kata-kata seperti "pesta", "kerja", "tugas", dan "bebas" menekankan keterhubungan antara pekerjaan dan perayaan, serta semangat perjuangan yang terhubung dengan partai komunis.

pesta
tugas
suara gong
jabat-salam biar tak kenal siapa
cuma ada satu suara: bebas

Kehadiran partai komunis menjadi pusat perayaan ini, dengan "bendera merah" dan "palu-arit" sebagai simbol yang menandakan ideologi dan kebanggaan mereka. Pembacaan ini menggambarkan suasana yang penuh energi dan semangat kolektif.

Konflik dan Kesadaran Sosial

Namun, di balik kemeriahan tersebut, terdapat kontras yang mencolok antara perayaan dan realitas sosial. Motor dari desa tiba, membawa petani yang tanamannya mengalami penurunan harga. Konteks ini menunjukkan adanya perbedaan antara kesenangan yang dirasakan di kota dan penderitaan yang dialami oleh petani di desa:

motor dari desa tiba
petani yang tanamannya jatuh-harga
tenggelam diarak gelak kota
tawa -- tari -- sorak

Penulis mengungkapkan ketidakpuasan dan kesadaran sosial dengan menyoroti kontras antara kebahagiaan yang ditampilkan dalam perayaan dan kesulitan yang dihadapi oleh rakyat. Kata-kata seperti "depekaen" (yang bisa diartikan sebagai "sakit hati" atau "kemarahan") dan "buat apa dia di sini" mengekspresikan ketidakpuasan yang mendalam.

Simbolisme dan Ekspresi Emosi

Puisi ini menggunakan simbolisme yang kuat untuk menyampaikan pesan tentang perjuangan dan solidaritas. "Gong", "suling", dan "palul-arit" menjadi simbol-simbol penting dalam merayakan Hari Buruh, sedangkan "menari" dan "menyanyi" melambangkan kegembiraan dan persatuan.

ahoooooi
ayo menari
hidup satumei
bebas

Akhir puisi menekankan kebanggaan penulis terhadap partai dan rakyatnya yang menari bersama, menandakan rasa cinta dan solidaritas yang mendalam. Ekspresi seperti "aku kecap, aku lihat" dan "partaiku menari bersama rakyat" menggambarkan kepuasan dan kebanggaan yang dirasakan oleh penulis.

o, betapa nikmat
aku kecap
aku lihat
partaiku menari
bersama rakyat
aku menari
cintaku mendaki

Puisi "Satu Mei di Gunung" adalah puisi yang merayakan semangat dan solidaritas Hari Buruh, sambil juga menyoroti ketidakadilan sosial yang ada di balik kemeriahan perayaan. Dengan menggunakan simbolisme dan metafora yang kuat, Agam Wispi berhasil menangkap esensi perayaan, perjuangan, dan kesadaran sosial, menciptakan karya yang penuh makna dan refleksi mendalam.

Agam Wispi
Puisi: Satu Mei di Gunung
Karya: Agam Wispi

Biodata Agam Wispi:
  • Agam Wispi adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
  • Agam Wispi lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara.
  • Agam Wispi meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 1930 di 1 Januari 2003, Amsterdam, Belanda.
© Sepenuhnya. All rights reserved.