Puisi: Sampur (Karya Agam Wispi)

Puisi "Sampur" karya Agam Wispi mengungkapkan nuansa melankolis dan refleksi mendalam tentang kehidupan serta perpisahan.
Sampur

lampu belum dipasang
buritan hitam lepas dari laut keras
dan di baliknya matahari cepat tenggelam
kau aku yang di pantai bersandarkan kota
bukan karena kaki-langit lulur tapi cahya berjaga di menara
sama terharu malam ini bagai kelasi tinggalkan kapal

Priok, 30 Juni 1957

Sumber: Yang Tak Terbungkamkan (1959)

Analisis Puisi:

Puisi "Sampur" karya Agam Wispi mengungkapkan nuansa melankolis dan refleksi mendalam tentang kehidupan serta perpisahan. Dengan bahasa yang kaya dan imaji yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan momen-momen transisi dalam hidup, serta bagaimana perasaan tersebut berkaitan dengan alam dan lingkungan sekitar.

Gambaran Visual dan Suasana

Pembukaan puisi ini, "lampu belum dipasang," segera menciptakan suasana yang redup dan belum sepenuhnya siap. Gambar ini mengindikasikan ketidaksiapan, baik secara fisik maupun emosional. Selanjutnya, frasa "buritan hitam lepas dari laut keras" memberikan kesan ketidakpastian dan ketegangan, seolah-olah ada sesuatu yang akan hilang atau terputus dari asalnya.

Gambaran "di baliknya matahari cepat tenggelam" menggambarkan transisi dari terang ke gelap, menambah lapisan emosi yang kuat terhadap perpisahan dan kehilangan. Dalam konteks ini, matahari bisa dilihat sebagai simbol harapan atau kehidupan yang kini beranjak pergi.

Interaksi Antara Manusia dan Alam

Selanjutnya, Wispi menggambarkan dua individu yang berada di pantai, "kau aku yang di pantai bersandarkan kota." Penempatan karakter di pantai, yang merupakan batas antara daratan dan lautan, menciptakan kesan bahwa mereka berada di tepi sebuah perubahan besar. Ini menciptakan nuansa ambivalensi, antara kenyamanan kota dan ketidakpastian laut.

Frasa "bukan karena kaki-langit lulur tapi cahya berjaga di menara" menambah dimensi lain pada puisi ini. Di sini, "kaki-langit lulur" dapat diartikan sebagai kebisingan atau kehidupan sehari-hari yang mengganggu ketenangan. Sebaliknya, "cahya berjaga di menara" mengisyaratkan ada harapan dan perlindungan yang datang dari tempat yang lebih tinggi, mungkin merujuk pada kekuatan spiritual atau simbolik.

Perasaan Perpisahan

Penutup puisi, "sama terharu malam ini bagai kelasi tinggalkan kapal," memperkuat tema perpisahan yang mendalam. Perasaan terharu ini menggambarkan betapa beratnya meninggalkan sesuatu yang telah menjadi bagian dari hidup seseorang. Kelasi yang meninggalkan kapal mencerminkan ketidakpastian dan rasa kehilangan saat harus meninggalkan masa lalu atau situasi yang familiar.

Puisi "Sampur" adalah karya yang mengajak pembaca untuk merasakan dan merenungkan momen-momen transisi dalam hidup, terutama perpisahan. Dengan gambaran visual yang kuat dan penggunaan bahasa yang puitis, Agam Wispi berhasil menciptakan suasana yang melankolis dan menyentuh hati. Melalui interaksi antara manusia dan alam, puisi ini menunjukkan bagaimana setiap perpisahan, meski menyakitkan, juga merupakan bagian dari perjalanan kehidupan yang lebih besar. Karya ini menjadi pengingat akan ketidakpastian yang selalu ada, sekaligus harapan yang mungkin muncul di tengah kegelapan.

Agam Wispi
Puisi: Sampur
Karya: Agam Wispi

Biodata Agam Wispi:
  • Agam Wispi adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
  • Agam Wispi lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara.
  • Agam Wispi meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 1930 di 1 Januari 2003, Amsterdam, Belanda.
© Sepenuhnya. All rights reserved.