Salut Perdamaian
Aku Amat, dari dulu tidak bingung
aku tidak ruwet otak
semua sederhana saja
aku cinta keluarga.
Aku dengar seruan bergegap
melintas perbedaan kulit, agama
mengajak kita bersaudara
putih kuning hitam sawo matang
mari damai mari damai!
Aku Amat tukang las di pabrik besi
dari dulu gaji tidak pernah cukup
dari dulu tidak pernah bingung
aku cinta perdamaian
aku anti-imperialis.
Sumber: Rangsang Detik (1957)
Analisis Puisi:
Puisi "Salut Perdamaian" karya Adi Sidharta merupakan sebuah karya yang mengungkapkan cinta akan perdamaian melalui sudut pandang seorang individu biasa, Amat. Dalam puisi ini, Sidharta menyampaikan pesan yang kuat mengenai persaudaraan di tengah perbedaan, serta penolakan terhadap imperialisme.
Identitas dan Kesederhanaan
Diawali dengan pengenalan diri, Amat menegaskan bahwa ia tidak merasa bingung atau ruwet. Pernyataan ini mencerminkan sikap yang tegas dan jelas mengenai apa yang dianggap penting dalam hidupnya: cinta keluarga. Dengan kata-kata sederhana, Sidharta menunjukkan bahwa kehidupan yang biasa pun bisa memiliki kedalaman makna, terutama dalam konteks cinta dan perdamaian.
Seruan untuk Persaudaraan
Amat mendengar "seruan bergegap" yang melintas perbedaan, baik dari segi kulit maupun agama. Ungkapan ini menegaskan pentingnya persatuan di tengah keragaman. Sidharta mengajak pembaca untuk melihat keindahan dalam perbedaan dengan menggambarkan berbagai warna kulit yang saling melengkapi, seperti "putih, kuning, hitam, sawo matang." Dengan ungkapan "mari damai, mari damai!" Sidharta menyiratkan bahwa perdamaian adalah tujuan yang perlu diperjuangkan bersama, tanpa memandang latar belakang.
Konteks Sosial dan Ekonomi
Amat diidentifikasi sebagai "tukang las di pabrik besi," yang menunjukkan latar belakang sosial dan ekonominya. Melalui karakter ini, Sidharta menyoroti kondisi kehidupan kelas pekerja yang sering kali terpinggirkan. Pernyataan "dari dulu gaji tidak pernah cukup" mencerminkan realitas pahit yang dihadapi oleh banyak orang di masyarakat. Meskipun demikian, Amat tetap tidak kehilangan semangatnya untuk mencintai perdamaian dan melawan imperialisme, menunjukkan keberanian dan keteguhan dalam menghadapi tantangan.
Penolakan Terhadap Imperialisme
Pernyataan bahwa Amat adalah "anti-imperialis" mencerminkan sikap tegasnya terhadap kekuasaan yang menindas. Sidharta menggunakan karakter Amat sebagai simbol perlawanan terhadap kekuatan yang berusaha menguasai dan mengeksploitasi orang-orang biasa. Penolakan ini tidak hanya berbentuk protes, tetapi juga merupakan seruan untuk bersatu demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua.
Cinta dan Perdamaian
Puisi "Salut Perdamaian" mengajak kita untuk merenungkan makna perdamaian dalam konteks kehidupan sehari-hari. Melalui tokoh Amat, Sidharta menunjukkan bahwa setiap individu, tidak peduli latar belakangnya, memiliki peran dalam memperjuangkan cinta dan kedamaian. Pesan yang jelas adalah bahwa dalam keberagaman, kita bisa menemukan kekuatan untuk bersatu, melawan ketidakadilan, dan menciptakan dunia yang lebih baik.
Dengan bahasa yang sederhana namun kuat, Sidharta berhasil menyampaikan pesan yang mendalam mengenai cinta, persaudaraan, dan penolakan terhadap penindasan. Puisi ini bukan hanya sekadar karya sastra, tetapi juga seruan untuk menyadari peran kita dalam membangun perdamaian dan keadilan sosial.
Karya: Adi Sidharta
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.