Puisi: Salut, Djiwandono, Salut! (Karya Adi Sidharta)

Puisi "Salut, Djiwandono, Salut!" karya Adi Sidharta menggambarkan bahwa kematian bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi justru menjadi momen untuk ..
Salut, Djiwandono, Salut!

Hari ini Djiwandono pergi
pergi dari kami dan bendera merah
dari mawar dan melati.

Ah, melambailah dikau, bendera kekasih
lambang klasku berwarna darah
dan serbakkan haruman, engkau puspa
satukan dengan 'irmata laksana intan
dan suara sendat tertahan ...

Djiwandono!
kabut sebentar meliputi kami
sayup tertekan gema nyanyi perdamaian
sebentar, kawan, kami dicerkam
kasih yang melemahkan api.

Djiwandono!
tidurlah, dikau, tidur abadi, tenang
meninggalkan bendera, puspa dan kami
dan langkah kita bersama pasti sampai
ke pantai cita Dunia Rakyat.

Ah, betapa bangga kami semua
sebagian dari engkau, dari seminar
kekuatan pembentuk damai abadi
kami lantangkan gita-pahlawan:
salut, Djiwandono, salut!

Hari ini Djiwandono telah pergi
disertai merah menyala di dalam jiwa
penuh kasih kepada dunia dan manusia.

Sumber: Rangsang Detik (1957)

Analisis Puisi:

Puisi "Salut, Djiwandono, Salut!" karya Adi Sidharta adalah sebuah karya yang penuh dengan penghormatan dan penghargaan terhadap sosok Djiwandono, seorang figur yang dipuja dalam pergerakan atau perjuangan tertentu. Puisi ini tidak hanya merupakan penghormatan terakhir bagi Djiwandono yang telah "pergi," tetapi juga mengekspresikan semangat perjuangan yang ditinggalkannya untuk melanjutkan cita-cita yang lebih besar.

Tema Kematian dan Penghormatan

Puisi ini dibuka dengan pengumuman yang penuh kesedihan: "Hari ini Djiwandono pergi / pergi dari kami dan bendera merah / dari mawar dan melati." Kalimat ini langsung menegaskan bahwa Djiwandono telah wafat, meninggalkan bendera perjuangan (simbol bendera merah) dan melati sebagai lambang kesucian dan penghormatan. Kematian Djiwandono dirayakan dalam suasana melankolis yang penuh penghormatan. Sang penyair menggunakan simbol-simbol kebesaran—bendera, mawar, dan melati—untuk menggambarkan betapa pentingnya sosok Djiwandono dalam perjuangan kolektif.

Bendera merah menjadi simbol utama perjuangan, melambangkan semangat kelas pekerja atau perlawanan yang bersifat revolusioner. Penyair memadukan warna darah dan bunga melati, yang melambangkan harapan dan keindahan yang abadi, seolah memperlihatkan bahwa perjuangan yang ditinggalkan oleh Djiwandono tidak berakhir dengan kematiannya, tetapi terus berlanjut dalam semangat para penerusnya.

Simbol Kabut dan Kelemahan Sementara

Pada bagian selanjutnya, penyair menggambarkan suasana hati para pejuang yang ditinggalkan oleh Djiwandono: "kabut sebentar meliputi kami / sayup tertekan gema nyanyi perdamaian." Simbol kabut digunakan untuk menggambarkan kebingungan dan kesedihan yang menyelimuti mereka setelah kehilangan seorang pemimpin. Kabut ini adalah refleksi dari ketidakpastian dan kesedihan sementara yang dialami oleh mereka yang ditinggalkan.

Namun, penyair juga menegaskan bahwa perasaan ini hanya bersifat sementara. "Sebentar, kawan, kami dicerkam / kasih yang melemahkan api." Meskipun kasih sayang dan perasaan kehilangan bisa melemahkan semangat perjuangan, itu hanya bersifat sementara. Penyair mengisyaratkan bahwa semangat perlawanan dan api perjuangan akan kembali menyala. Djiwandono mungkin telah pergi, tetapi cita-citanya dan api perjuangannya akan terus hidup.

Perjuangan Abadi dan Cita-Cita Dunia Rakyat

Bagian terakhir puisi ini membawa optimisme yang kuat. Penyair menegaskan bahwa meskipun Djiwandono telah "tidur abadi," perjuangan menuju "pantai cita Dunia Rakyat" akan terus berjalan. Dunia Rakyat merujuk pada cita-cita tentang dunia yang lebih adil, di mana semua orang bisa hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan. Ini adalah gambaran dari tujuan besar yang diperjuangkan oleh kelas pekerja atau kelompok revolusioner yang disebutkan sebelumnya.

Baris "Dan langkah kita bersama pasti sampai / ke pantai cita Dunia Rakyat" memberikan keyakinan bahwa meskipun sang pemimpin telah pergi, langkah-langkah para pejuang tetap akan terus maju menuju tujuan akhir. Djiwandono mungkin telah meninggalkan dunia ini, tetapi jejaknya akan terus ada dalam perjuangan yang dilanjutkan oleh mereka yang masih hidup.

Penghormatan Terakhir: Salut Djiwandono!

Puisi ini ditutup dengan nada penghormatan yang tulus. "Ah, betapa bangga kami semua / sebagian dari engkau, dari seminar / kekuatan pembentuk damai abadi." Penyair mengakui bahwa para pejuang yang ditinggalkan merasa bangga karena mereka adalah bagian dari perjuangan yang dibawa oleh Djiwandono. "Seminar" di sini bisa menjadi simbol dari intelektualisme atau diskusi yang menjadi bagian penting dalam merumuskan strategi perlawanan dan menciptakan damai yang abadi.

Kata "salut" yang berulang kali disebut dalam puisi ini adalah bentuk penghormatan yang mendalam. "Salut, Djiwandono, salut!" menjadi seruan perpisahan sekaligus pengakuan terhadap kontribusi dan semangat yang ditinggalkan oleh Djiwandono. Ini adalah penghormatan kepada seorang pejuang yang tidak hanya dihargai karena aksinya, tetapi juga karena semangat dan cita-citanya.

Puisi "Salut, Djiwandono, Salut!" karya Adi Sidharta adalah sebuah elegi yang menghormati seorang pejuang yang telah meninggal, namun di saat yang sama juga menyiratkan optimisme dan semangat untuk melanjutkan perjuangan. Melalui penggunaan simbol-simbol seperti bendera merah, melati, kabut, dan api, penyair menggambarkan suasana hati para pejuang yang sedang berkabung tetapi juga tetap berkomitmen pada tujuan mereka.

Puisi ini menggambarkan bahwa kematian bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi justru menjadi momen untuk memperkuat tekad dan melanjutkan cita-cita yang telah dimulai. Djiwandono, sebagai simbol pejuang, mungkin telah "pergi," tetapi semangatnya akan terus hidup di dalam hati dan tindakan para pejuang yang masih berjuang menuju dunia yang lebih baik.

Adi Sidharta
Puisi: Salut, Djiwandono, Salut!
Karya: Adi Sidharta

Biodata Adi Sidharta:
  • Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
  • Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
  • Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.
© Sepenuhnya. All rights reserved.