Saidi
Tuan Zaini pitam di rumah Saidi
hati mendidih darah meninggi:
bayar hutangmu! kusita tanahmu!
demi Tuhan, tak tahu malu!
Lama Saidi tidak mengucap
tak tahu apa mesti dijawab
hutang kecil panenan kecil
sepuluh tahun sudah terus mencicil.
Saidi tak lagi bisa berhitung
makin dipikir makin bingung
ditelanlah dia oleh kenangan
matinya bapak musim kering kelaparan.
Tuan Zaini menuding membentak
mata mendelik membelalak:
bangsat kau, ya Allah, buka mulutmu
kupanggil polisi, kaurampok hartaku!
Saidi mengarungi laut sendiri
hutang seribu, uang digunting, tak habis-habis,
berapa sudah dibayar paroan panen sepetak
seperti bininya hutangpun banyak beranak.
Dirangkulnya anaknya kedua
dirasainya hangat hidung, ditekankannya pada dada
kapan kenyang untuk di Patah, Pinah dan Putut
masih lagi tuan Zaini bikin anak-anak makan rumput.
Bayangan menggenang di kepala Saidi makin dalam
makin diburu sedar cintanya mendendam
persetan tuan Zaini! tapi kata tersangkut di bibir
bertanya siapa: tuan Zaini atau Tuhan paling kikir.
Tuan Zaini tak lagi bisa menahan diri
ditendangnya Saidi kena muka Si Pinah
gemetar menyumpah: Setan keparat, bangsat!
buka mulutmu kusobek kau laknat!
Pinah menjerit, takut dan sakit
dendam menegang di hati Saidi bibir tergigit:
apa salah si Pinah
rasakan tanganku lunasan hutang!
Tuan Zaini telentang mendekap bumi
Saidi tidak mau mati:
tanah, anak dan penjara
berderap dalam senyum arti merdeka.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Saidi" karya Sabar Anantaguna merupakan karya yang menggambarkan perjuangan seorang petani dalam menghadapi ketidakadilan dan penindasan. Melalui lirik yang mendalam dan penuh emosi, puisi ini mengeksplorasi tema hutang, kekuasaan, dan dampak dari kesenjangan sosial.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini dimulai dengan konfrontasi yang tegang antara Saidi dan Tuan Zaini: “Tuan Zaini pitam di rumah Saidi, hati mendidih darah meninggi: bayar hutangmu!” Dengan kata-kata yang kuat dan mendesak, Anantaguna segera menarik perhatian pembaca pada situasi yang penuh ketegangan. Gaya bahasa ini menciptakan suasana yang langsung terasa, menegaskan perasaan tertekan yang dialami Saidi.
Tema Hutang dan Ketidakadilan
Bait-bait selanjutnya menggambarkan perjuangan Saidi dalam membayar hutang. “Lama Saidi tidak mengucap, tak tahu apa mesti dijawab,” menunjukkan kebingungan dan ketidakberdayaan yang dihadapinya. Konsep hutang yang kecil namun terakumulasi selama sepuluh tahun menggambarkan bagaimana sistem keuangan dapat menjebak individu dalam siklus kemiskinan.
Kenangan dan Trauma
Anantaguna mengajak pembaca untuk melihat lebih dalam pada trauma yang dialami Saidi, “ditelanlah dia oleh kenangan, matinya bapak musim kering kelaparan.” Ini menunjukkan bagaimana masa lalu yang penuh penderitaan membayangi hidupnya saat ini, menambah kedalaman emosi pada karakter Saidi.
Kekerasan dan Konflik
Konflik dengan Tuan Zaini semakin memanas ketika ia berusaha untuk memaksa Saidi membayar hutang dengan cara yang kasar. “Bangsat kau, ya Allah, buka mulutmu,” menyoroti ketidakadilan dan kekuasaan yang disalahgunakan. Tuan Zaini menjadi simbol dari kekuatan yang menindas, sementara Saidi mewakili orang-orang yang terpinggirkan.
Harapan dan Perjuangan
Di tengah ketegangan, Saidi menggenggam harapan untuk keluarganya. Bait yang menyebutkan “dirangkulnya anaknya kedua” menunjukkan kasih sayang dan keinginan untuk melindungi anak-anaknya dari nasib yang sama. Ketika Saidi merasakan kemarahan yang mendalam, ada pula kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.
Klimaks dan Pembalasan
Klimaks puisi terjadi saat Saidi berhadapan langsung dengan Tuan Zaini, yang berakhir dengan kekerasan. “Tuan Zaini telentang mendekap bumi” menjadi simbol dari perjuangan Saidi yang melawan ketidakadilan, menandakan bahwa dalam setiap perjuangan ada kemungkinan untuk membela diri. Momen ini mencerminkan perubahan dan harapan akan kebebasan.
Puisi "Saidi" karya Sabar Anantaguna adalah karya yang menyentuh tentang perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan sosial. Melalui narasi yang kuat dan emosi yang mendalam, Anantaguna berhasil menggambarkan konflik antara individu yang lemah dan kekuatan yang menindas. Puisi ini tidak hanya menjadi cerminan realitas sosial, tetapi juga seruan untuk kebangkitan dan perjuangan demi keadilan. Dengan menggali tema yang relevan dan universal, "Saidi" mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi masyarakat dan pentingnya keberanian dalam menghadapi tantangan.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.