Rumah Liar
Kepada DPKS Jakarta
Redup dalam caya terang bulan
berkaparan mayat kami yang rindu damai.
Kami dinafasi nyawa manusia desa
yang lari dari neraka mencari sorga
bunga harapan dan bunga cinta
tempat hidup menyambung cita
bagi bangsa dan keluarga.
Kami 'rang desa yang miskin segala
bayi koreng dalam estitika kota
titip badan dan titip nyawa
ratu estitika ketika ini
meski kami kenal suling dan kecapi.
Demi estitika kata 'rang kota siapa
berhati dingin kepada derita bangsa
berguguran kami bagai 'rang desa
dalam musim bunga hijau abadi
menantang kelahiran pesta mengerti.
Redup dalam caya terang bulan
berkaparan mayat kami yang rindu damai.
Sumber: Rangsang Detik (1957)
Catatan:
DPKS = Dewan Perwakilan Kotapraja Sementara.
Analisis Puisi:
Puisi "Rumah Liar" karya Adi Sidharta adalah sebuah karya yang menggugah kesadaran sosial, mengeksplorasi tema kehidupan, kemiskinan, dan perjuangan manusia dalam mencari harapan. Dengan gaya bahasa yang sederhana namun kuat, Sidharta menciptakan gambaran yang jelas tentang kondisi masyarakat, terutama mereka yang terpinggirkan dan berjuang dalam menghadapi realitas kehidupan yang keras.
Gambaran Kehidupan yang Terpinggirkan
Puisi ini diawali dengan gambaran "redu dalam caya terang bulan," yang menandakan suasana malam yang tenang, tetapi di dalamnya tersimpan kesedihan. Frasa "berkaparan mayat kami yang rindu damai" menciptakan citra mendalam tentang keputusasaan dan kerinduan akan kedamaian. Ini bisa diartikan sebagai simbol kematian harapan, di mana banyak individu terjebak dalam kehidupan yang tidak memberikan mereka kebahagiaan.
Sidharta melanjutkan dengan menyoroti kondisi mereka yang "dinafasi nyawa manusia desa," yang menggambarkan orang-orang yang berasal dari desa, melarikan diri dari kehidupan yang penuh derita dan mencari tempat yang lebih baik. Istilah "neraka mencari sorga" mencerminkan perjuangan mereka untuk menemukan kehidupan yang lebih baik di tengah kesulitan. Kontras antara "bunga harapan dan bunga cinta" dengan kondisi yang dihadapi menciptakan ketegangan emosional, menyoroti aspirasi mereka untuk hidup yang lebih baik.
Keterasingan di Tengah Estetika Kota
Ketika Sidharta menyebutkan "kami 'rang desa yang miskin segala," ia menunjukkan realitas pahit yang dihadapi oleh penduduk desa yang berpindah ke kota. Istilah "bayi koreng dalam estitika kota" sangat kuat dan mencolok, mengungkapkan bagaimana mereka dipandang oleh masyarakat kota sebagai sesuatu yang tidak berharga. Ada kritik tersirat terhadap bagaimana masyarakat urban sering kali mengabaikan dan menyingkirkan mereka yang berasal dari latar belakang yang berbeda.
Frasa "titip badan dan titip nyawa" menunjukkan kerentanan mereka, di mana mereka tidak memiliki tempat yang aman dan nyaman, serta "ratu estitika" yang mereka impikan hanyalah fantasi belaka. Meskipun mereka mengenal alat musik tradisional seperti "suling dan kecapi," yang melambangkan budaya dan akar mereka, namun hal tersebut tampaknya tidak memberikan mereka tempat yang layak di masyarakat modern.
Kritik terhadap Ketidakpedulian
Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan ketidakpedulian masyarakat urban yang "berhati dingin kepada derita bangsa." Dalam konteks ini, Sidharta menyoroti perlunya empati dan perhatian terhadap penderitaan orang lain, terutama mereka yang terpinggirkan. Dalam masyarakat yang seharusnya saling membantu, ada ketimpangan yang menyakitkan, di mana kehidupan mereka "berguguran bagai 'rang desa" di tengah "musim bunga hijau abadi." Ini menyiratkan bahwa meskipun kehidupan di sekitar mereka tampak indah, banyak orang masih terjebak dalam penderitaan.
Puisi "Rumah Liar" karya Adi Sidharta berhasil menciptakan gambaran yang mendalam tentang kondisi kehidupan masyarakat terpinggirkan. Dengan menggunakan simbolisme yang kuat dan bahasa yang emosional, Sidharta mengajak pembaca untuk merenungkan realitas pahit yang dihadapi oleh mereka yang mencari harapan di tengah kesulitan. Puisi ini bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi juga sebuah panggilan untuk kesadaran sosial, mengajak kita untuk melihat lebih dalam ke dalam kehidupan mereka yang sering kali terabaikan. "Rumah Liar" menjadi pengingat bahwa di balik setiap perjuangan, ada harapan yang layak untuk diperjuangkan.
Karya: Adi Sidharta
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.