Renungan
Angin mesra meraba tubuh
sehalus tangan kesayangan
Daun bambu berkibar
selincah jari penari
Berlagukah rumpun bambu
atau berseru
seperti gadis cilik menjemput bapa
Melambaikah daun waru
atau rindu
perlukan senyum kekasih
Aku yang telentang di sini
di tepi kali
langit biru kosong
sekosong hatiku
tanpa rasa duka
tanpa tangis
perasaan kerinduan
bersama keringatku sudah tumpah
kelewat lelah
Kutahu kerja telah membentuk diriku
hatiku
membangun rasa cinta, benci, dan kesadaran
mewarnai daya bayang dan angan‐angan
Suatu kali orang bilang
kerja itu seperti candu
bisa bikin lupa segala dan juga merindukan
Dalam pelukan angin sehalus tangan impian
aku mabok kerja kalaupun tidak berceceran di jalan‐jalan
memeras daya bayang yang terinjak waktu diapelkan
Di bukit kejauhan ilalang terbakar
apakah hati sanggup terbakar
Sumber: Puisi-Puisi dari Penjara (2010)
Analisis Puisi:
Puisi "Renungan" karya Sabar Anantaguna menggambarkan perjalanan batin seorang individu yang merenungkan hubungan antara diri, lingkungan, dan pekerjaan. Melalui penggunaan bahasa yang puitis dan simbolis, puisi ini menciptakan suasana yang reflektif, mengajak pembaca untuk menyelami perasaan kerinduan, kelelahan, dan pemahaman akan kehidupan.
Nuansa Alam dan Kehangatan
Pembukaan puisi dengan "Angin mesra meraba tubuh sehalus tangan kesayangan" menciptakan nuansa keintiman dan kedamaian. Angin yang lembut berfungsi sebagai simbol kehangatan dan kasih sayang, memberikan kesan bahwa alam juga mampu memberikan penghiburan. Dalam konteks ini, alam tidak hanya menjadi latar belakang, tetapi juga menjadi bagian integral dari pengalaman emosional penyair.
Gambaran "daun bambu berkibar selincah jari penari" memperkuat citra keindahan alam, di mana elemen-elemen alam berinteraksi dengan keanggunan dan gerakan. Di sini, penyair menciptakan suasana harmonis antara manusia dan alam, yang menunjukkan betapa pentingnya hubungan ini dalam membentuk perasaan dan pengalaman kita.
Kerinduan dan Harapan
Pertanyaan retoris, "Berlagukah rumpun bambu atau berseru seperti gadis cilik menjemput bapa," mengajak pembaca untuk merenungkan tentang rindu dan harapan. Dalam konteks ini, bambu yang bergetar seolah menyuarakan kerinduan, mirip dengan bagaimana seorang anak menanti kedatangan ayahnya. Ini menggambarkan kerinduan yang universal, sekaligus menandakan bahwa perasaan rindu dapat ditemukan dalam hubungan yang berbeda.
Selanjutnya, "Melambaikah daun waru atau rindu perlukan senyum kekasih" menunjukkan bahwa rindu tidak hanya sekadar perasaan, tetapi juga berkaitan dengan interaksi sosial dan kasih sayang. Daun waru yang melambai menciptakan imaji tentang bagaimana alam dapat menjadi pengganti dari cinta dan hubungan yang hilang.
Pekerjaan dan Identitas Diri
Di bagian berikutnya, penyair mengungkapkan refleksi lebih dalam dengan "Aku yang telentang di sini di tepi kali, langit biru kosong sekosong hatiku." Dengan menggambarkan diri yang terbaring di tepi kali, penyair menekankan perasaan hampa yang muncul dari kelelahan akibat kerja. Langit yang kosong mencerminkan kekosongan emosi yang dialami, seolah segala usaha dan kerja keras tidak memberikan makna yang diharapkan.
"Kutahu kerja telah membentuk diriku, hatiku," menunjukkan bahwa pekerjaan berkontribusi pada pembentukan identitas dan emosional seseorang. Namun, dalam proses ini, ada juga rasa kehilangan: "membangun rasa cinta, benci, dan kesadaran." Di sini, penyair menyoroti dualitas pekerjaan—di satu sisi dapat membangun, tetapi di sisi lain dapat mengakibatkan kebingungan emosional.
Kerja sebagai Candu
Salah satu baris yang menarik, "Suatu kali orang bilang kerja itu seperti candu," menciptakan gambaran kuat tentang bagaimana pekerjaan dapat menjadi ketergantungan. Candu biasanya diasosiasikan dengan pelarian dari kenyataan, dan di sini penyair menunjukkan bahwa pekerjaan juga dapat berfungsi demikian. "Bisa bikin lupa segala dan juga merindukan," menekankan bagaimana pekerjaan dapat mengalihkan perhatian dari perasaan dan pengalaman yang menyakitkan.
Perjuangan dan Kelelahan
Bagian terakhir puisi, "Di bukit kejauhan ilalang terbakar, apakah hati sanggup terbakar," memberikan penekanan pada perjuangan yang lebih besar. Ilalang yang terbakar mungkin melambangkan konsekuensi dari tindakan atau pilihan dalam hidup. Pertanyaan retoris ini mengajak pembaca untuk berpikir tentang kemampuan hati untuk menghadapi rasa sakit dan kehilangan.
Dengan menghubungkan elemen alam dengan pengalaman batin, penyair menunjukkan bahwa meskipun ada keindahan dalam pekerjaan dan kehidupan, ada juga tantangan dan rasa sakit yang harus dihadapi.
Renungan tentang Kehidupan
Puisi "Renungan" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah karya yang dalam dan reflektif tentang kehidupan, pekerjaan, dan hubungan manusia dengan alam. Melalui bahasa puitis dan simbolis, penyair mengajak pembaca untuk merenungkan pengalaman mereka sendiri dan bagaimana kerja, kerinduan, dan kelelahan saling terkait dalam perjalanan hidup.
Dengan nuansa melankolis namun penuh harapan, puisi ini menjadi pengingat bahwa dalam setiap usaha dan kerja keras, terdapat momen-momen refleksi yang penting untuk dihadapi. Dalam perjalanan hidup yang penuh tantangan, kita perlu belajar untuk menemukan makna, bahkan dalam kelelahan dan kerinduan yang kita alami.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.