Puisi: Renungan Diri (Karya Sobron Aidit)

Puisi "Renungan Diri" karya Sobron Aidit mengungkapkan keinginan untuk mencapai kemanusiaan dan kehidupan yang lebih baik, sambil menggambarkan ...
Renungan Diri

Musim panas segera pergi
musim gugur sebagai pengganti
musim dingin siap menghadang
mengapa aku masih terus di sini?
Tahun dua-ribu sekejap kan datang.

Dari tahun enam lima sampai kini
pembunuhan - penyiksaan terus terjadi
keluarga tercerai-berai, korban bermatian
tak bisa bertemu, tak bisa cari kerja
buat menjadi normal pun betapa sulit
mau pulang diancam buat ditangkap
tidak ditangkap pun sudah merasa terus dipenjara
karena begitu jadi orang Indonesia
itu artinya kontan sudah masuk penjara.

Penguasa Raja Satu dan Raja Dua ini
punya kelainan jiwa
hanya bisa hidup kalau makan orang
hanya bisa bernafas kalau ada korban manusia
dan pula harus rakyatnya sendiri
yang jadi lalap sehari-harinya.

Berapa lama lagikah kita
rakyat biasa ini, rakyat jelata ini
bisa sekedar jadi manusia
yang normal seperti rakyat lain itu?

Bilakah kita ini bisa
menjadi manusia biasa saja
seperti orang-orang negeri tetangga
jiran-jiran yang pada normal biasa-biasa saja itu?

Terlalu lama kita ini
jadi begini
dan dibeginikan
manusia tidak
orang pun bukan
belum cukup syarat untuk jadi orang
karena raja di negeri kita
punya kelainan jiwa
yang sangat suka menyiksa dan menipu
rakyatnya sendiri.

Paris, 14 September 1999

Analisis Puisi:

Puisi "Renungan Diri" karya Sobron Aidit merupakan sebuah karya yang mendalam dan penuh perasaan, mengekspresikan keputusasaan dan kritik tajam terhadap kondisi sosial dan politik yang berlaku. Dengan menggunakan simbolisme musiman dan narasi pribadi, puisi ini menggambarkan ketidakadilan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat di bawah pemerintahan yang dianggap represif dan kejam.

Gambaran Musim dan Ketidakberadaan

Puisi ini dimulai dengan gambaran perubahan musim yang merupakan simbol dari perubahan waktu dan keadaan. "Musim panas segera pergi / musim gugur sebagai pengganti / musim dingin siap menghadang" menunjukkan siklus kehidupan yang terus berlanjut, meskipun individu merasa terjebak dalam keadaan yang tidak berubah. "Mengapa aku masih terus di sini?" mencerminkan keputusasaan penulis yang merasa terkurung dalam situasi yang sulit, terlepas dari perubahan yang terjadi di sekelilingnya.

Ketidakadilan dan Penderitaan

Di bagian puisi ini, Sobron mencerminkan ketidakadilan yang telah berlangsung lama, dari tahun 1965 hingga saat ini. "Pembunuhan - penyiksaan terus terjadi" menggambarkan penderitaan yang berkepanjangan dan dampak sosial yang menghancurkan. Frasa "keluarga tercerai-berai, korban bermatian" menunjukkan dampak langsung dari kekerasan terhadap kehidupan pribadi dan sosial masyarakat. Penulis juga mencatat betapa sulitnya untuk menjalani kehidupan normal di bawah kondisi yang penuh ancaman dan penindasan: "mau pulang diancam buat ditangkap / tidak ditangkap pun sudah merasa terus dipenjara."

Kritik Terhadap Penguasa

Sobron secara eksplisit mengkritik para penguasa dalam puisi ini, menyebut mereka sebagai "Raja Satu dan Raja Dua" yang memiliki "kelainan jiwa." Ini adalah sindiran terhadap kepemimpinan yang dianggap sangat menyiksa dan menindas rakyatnya. "Hanya bisa hidup kalau makan orang / hanya bisa bernafas kalau ada korban manusia" menggambarkan sifat parasit dari pemerintahan yang eksploitatif, yang mengandalkan penderitaan rakyatnya untuk eksistensi mereka.

Pencarian Kemanusiaan dan Normalitas

Pertanyaan retoris dalam puisi ini, seperti "Berapa lama lagikah kita / rakyat biasa ini, rakyat jelata ini / bisa sekedar jadi manusia" menunjukkan keinginan mendalam untuk mencapai keadaan normal dan manusiawi di tengah kondisi yang tidak manusiawi. Sobron menggarisbawahi perbedaan antara kehidupan rakyatnya dengan kehidupan rakyat negeri tetangga yang dianggap lebih normal: "Bilakah kita ini bisa / menjadi manusia biasa saja."

Puisi "Renungan Diri" karya Sobron Aidit adalah puisi yang kuat dan emosional, mengekspresikan keputusasaan dan kemarahan terhadap kondisi sosial dan politik yang tidak adil. Dengan simbolisme musiman dan kritik tajam terhadap penguasa, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan penderitaan yang dialami rakyat dan mencari harapan untuk perubahan. Sobron mengungkapkan keinginan untuk mencapai kemanusiaan dan kehidupan yang lebih baik, sambil menggambarkan kesulitan dan ketidakadilan yang menghalangi pencapaian tersebut.

Puisi: Renungan Diri
Puisi: Renungan Diri
Karya: Sobron Aidit

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.