Puisi: Redup (Karya M. Saribi Afn)

Puisi "Redup" karya M. Saribi Afn mengeksplorasi tema kegelapan, kehilangan, dan kesulitan yang dihadapi selama perubahan musim dan perjalanan.
Redup
Persembahan bagi pengemudi tanah air

bulan yang jadi redup mulai pergantian pengasuh
dan bintang-bintang yang hilang cahyanya pada musim dingin
hilang segala
hilang dan kebekuan semata!

pintunya kesuburan seluruh daerah dan pantainya
dari kuasa pelaut-pelaut yang penuh sombong dan mabuk laut
dan pelaut-pelaut yang berlabuh di air pasang surut
pada pantai karang berbadai maut!

kekeringan mengembang terus di daerah angin musim
laut yang berkapal cita berapi cinta

o dewa
o angin
angin jalan!
angin yang meniupi kapal-kapal petualang
bawalah jeritan-jeritan maut ke tanah-tanah sebrang!

bulan yang jadi redup mulai pergantian pengasuh
dan bintang-bintang yang hilang cahyanya pada musim dingin
hilang segala
hilang dan kegagalan semata!

Sumber: Majalah Kisah (September, 1955)

Analisis Puisi:

Puisi "Redup" karya M. Saribi Afn mengeksplorasi tema kegelapan, kehilangan, dan kesulitan yang dihadapi selama perubahan musim dan perjalanan. Dengan bahasa yang penuh emosi dan simbolik, puisi ini menggambarkan perubahan alam dan dampaknya terhadap kehidupan manusia serta perasaan putus asa yang muncul dari situasi tersebut.

Tema Kegelapan dan Kehilangan

Puisi ini membuka dengan gambaran bulan yang menjadi "redup mulai pergantian pengasuh," yang menunjukkan perubahan besar yang menyebabkan hilangnya cahaya dan kehangatan. "Bintang-bintang yang hilang cahyanya pada musim dingin" menambah kesan kegelapan dan kehilangan yang menyelimuti seluruh keadaan. Perubahan musim dingin di sini diibaratkan sebagai penurunan cahaya dan kehilangan segala sesuatu yang berharga, menciptakan suasana yang suram dan penuh kebekuan.

Krisis dan Kekecewaan

Penulis mengaitkan kehilangan cahaya dengan krisis dalam "pintunya kesuburan seluruh daerah dan pantainya," yang disebabkan oleh "kuasa pelaut-pelaut yang penuh sombong dan mabuk laut." Sombong dan mabuk laut di sini menggambarkan kelebihan kekuasaan atau kebanggaan yang membawa kehancuran, sementara "pantai karang berbadai maut" menunjukkan bahaya dan kesulitan yang dihadapi oleh mereka yang terjebak dalam situasi tersebut.

Ketidakstabilan dan kekeringan yang dihadapi oleh daerah angin musim dan laut yang "berkapal cita berapi cinta" menggambarkan situasi penuh ketidakpastian dan konflik. Kesulitan ini disoroti dengan lebih mendalam saat penulis meminta "o dewa" dan "o angin" untuk membawa "jeritan-jeritan maut ke tanah-tanah sebrang," menggambarkan permohonan untuk mengatasi dan menjauhkan kesulitan dari tempat mereka berada.

Keputusasaan dan Permohonan

Puisi ini mengekspresikan keputusasaan yang mendalam melalui pernyataan berulang bahwa bulan dan bintang-bintang "hilang cahyanya" dan "hilang segala." Frasa ini menekankan ketidakberdayaan dan kegagalan yang dirasakan oleh penulis dalam menghadapi situasi yang tidak bisa diubah.

Penulis merasa seolah-olah semua usaha dan harapan telah "hilang dan kegagalan semata," menggarisbawahi betapa beratnya keadaan yang dihadapi dan kesulitan untuk menemukan solusi atau harapan.

Menyimak Kesulitan dan Keputusasaan

Puisi "Redup" karya M. Saribi Afn menawarkan pandangan mendalam tentang kegelapan, kehilangan, dan kesulitan yang muncul selama perubahan musim dan perjalanan kehidupan. Melalui penggunaan simbolisme seperti bulan yang redup, bintang yang kehilangan cahaya, dan pelaut-pelaut yang sombong, puisi ini menyampaikan pesan tentang dampak krisis dan kekecewaan yang dirasakan.

Dengan menggambarkan keputusasaan dan permohonan untuk melepaskan jeritan dan kesulitan, puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan bagaimana kita menghadapi perubahan dan tantangan dalam hidup, serta bagaimana kita mencari harapan dan penyembuhan dalam kegelapan yang menyelimuti kita.

M. Saribi Afn
Puisi: Redup
Karya: M. Saribi Afn

Biodata M. Saribi Afn:
  • Nama lengkap M. Saribi Afn adalah Mohammad Saribi Affandi.
  • M. Saribi Afn lahir di Ngawonggo, Klaten, pada tanggal 15 Desember 1936.
© Sepenuhnya. All rights reserved.