Puisi: Puncak (Karya Agam Wispi)

Puisi "Puncak" karya Agam Wispi merupakan kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial dan penindasan yang dialami oleh masyarakat, khususnya kaum ...
Puncak

(1)

kabut merayapi puncak
di kaki gunung mobil-mobil berkilap
merangkak
dan situan mendabik
"aku di puncak!"

di mana puncak?
di lembah petani melarat
sawah-sawah berpetak menanjak
lumpur memantul cahya keringat

sosialisme?
antara pucuk teh berdaun rapat
palmer-palmer ketawa menipu rakyat

(2)

pernah nenek moyang berkisah
kisah tua jadi pepatah
"bagai belanda minta tanah!"
mereka
        sama saja
dikasi kaki
        minta kepala

(3)

puncak hanya ada karena lembah
nasi hanya ada karena tanah
namun sosialisme
bukan di puncak

di mana sosialisme?
di lembah petani melarat
merebut tanah tapak demi tapak
tuan tanah dan birokrat mesti lenyap

di mana sosialisme?
dalam gemuruh mesin pabrik
kaum buruh berkuasa dan berkata
"milik republik!"
        milik rakyat-pekerja

di mana sosialisme?
irian barat bukan putar belit
hiasan, bibir mainan kata
tapi bersama rakyat
prajurit bangkit
berderap berbaris
dan peluru pertama
ke jantung imperialis

Puncak, Januari 1951

Sumber: Yang Tak Terbungkamkan (1959)

Analisis Puisi:

Puisi "Puncak" karya Agam Wispi merupakan sebuah karya yang kaya akan kritik sosial dan refleksi terhadap kondisi masyarakat, khususnya dalam konteks perjuangan kelas dan pencarian keadilan. Dalam puisi ini, Wispi mengajak pembaca untuk merenungkan makna "puncak" dan "lembah" dalam konteks sosialisme dan kehidupan rakyat.

Struktur dan Tema Puisi

Puisi ini dibagi menjadi tiga bagian yang saling berkaitan, menggambarkan kontras antara kehidupan yang terlihat dari ketinggian dan realitas yang dihadapi oleh masyarakat di bawah.

Bagian 1: Puncak dan Realitas

Di bagian pertama, Wispi menggambarkan suasana puncak gunung yang dikelilingi kabut, di mana mobil-mobil berkilap merangkak naik. Ini menciptakan gambaran glamor dan kesan prestise, tetapi disertai dengan pertanyaan kritis:

"di mana puncak? di lembah petani melarat sawah-sawah berpetak menanjak lumpur memantul cahya keringat."

Melalui pernyataan ini, Wispi menunjukkan bahwa puncak yang dicapai oleh segelintir orang tidak mencerminkan realitas pahit yang dihadapi oleh kaum tani. Di lembah, petani melarat berjuang untuk bertahan hidup, yang menjadi kontras dengan kehidupan mereka yang berusaha mencapai puncak.

Bagian 2: Kritik Terhadap Penindasan

Pada bagian kedua, Wispi menyampaikan kritik terhadap penindasan dan eksploitasi melalui pernyataan:

"pernah nenek moyang berkisah kisah tua jadi pepatah 'bagai belanda minta tanah!'"

Ini menggambarkan siklus penindasan yang terus berulang, di mana pihak yang kuat selalu meminta lebih tanpa memperhatikan hak-hak mereka yang lemah. Perbandingan ini menekankan bahwa penindasan tidak pernah berhenti dan terus menjadi bagian dari sejarah.

Bagian 3: Sosialisme dan Perjuangan

Di bagian ketiga, Wispi menggambarkan bahwa puncak tidak berarti apa-apa tanpa adanya lembah. Pemahaman ini menyiratkan bahwa kesejahteraan hanya mungkin tercapai jika ada keadilan sosial yang merata:

"puncak hanya ada karena lembah nasi hanya ada karena tanah namun sosialisme bukan di puncak."

Sosialisme, menurut Wispi, harus diupayakan di lembah-lembah tempat kaum tani berjuang. Ia menekankan bahwa sosialisme yang sejati terletak pada perjuangan rakyat, terutama petani dan buruh, untuk merebut kembali hak-hak mereka dari para tuan tanah dan birokrat yang selama ini menindas.

"di mana sosialisme? di lembah petani melarat merebut tanah tapak demi tapak."

Pernyataan ini menegaskan bahwa perjuangan sosialisme tidak dapat dipisahkan dari realitas yang dihadapi rakyat.

Simbolisme dan Makna

Kata "puncak" dalam puisi ini dapat dilihat sebagai simbol kekuasaan, keberhasilan, dan status, sedangkan "lembah" mewakili perjuangan, penderitaan, dan ketidakadilan. Dengan demikian, Wispi menantang gagasan bahwa kesuksesan hanya dapat diukur dari seberapa tinggi seseorang mencapai puncak, melainkan seberapa banyak mereka berkontribusi untuk meningkatkan kondisi di lembah.

Puisi "Puncak" karya Agam Wispi merupakan kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial dan penindasan yang dialami oleh masyarakat, khususnya kaum tani dan buruh. Melalui perbandingan antara puncak dan lembah, Wispi menggambarkan realitas kehidupan yang sering diabaikan oleh mereka yang berada di posisi tinggi. Pesan yang terkandung dalam puisi ini mengajak pembaca untuk lebih peka terhadap perjuangan rakyat dan mendorong kesadaran akan pentingnya keadilan sosial dalam mencapai kesejahteraan yang sejati. Dengan demikian, Wispi mengingatkan kita bahwa sosialisme harus dimulai dari bawah, di tengah-tengah perjuangan rakyat yang melarat.

Agam Wispi
Puisi: Puncak
Karya: Agam Wispi

Biodata Agam Wispi:
  • Agam Wispi adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
  • Agam Wispi lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara.
  • Agam Wispi meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 1930 di 1 Januari 2003, Amsterdam, Belanda.
© Sepenuhnya. All rights reserved.