Prajurit Pulang ke Desa
Ibu, mari kita makan
pucuk pun berisi nyawa
lembayung memanjang
hidup di pematang bisa hijau
Ibu, sudahlah, sudah menangis
Sudah kita kenal sekali
dari anak telanjang
sampai mencangkul kebun
leleh peluh, leleh hati.
Ibu, mari kita makan
senyumi daku seperti bayi,
aku tak minta apa-apa
aku tak beri apa-apa
yang tinggal hanya kasih
belum tenggelam.
Ibu, kasih lembayung
panjang-memanjang
harapannya
meraih buminya
Ibu, mari kita makan
Banyak sudah makan hati.
Yang anak-anak akan jadi bapak
membela tanah setiap tapak.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Prajurit Pulang ke Desa" karya Sabar Anantaguna merupakan refleksi mendalam tentang kehidupan seorang prajurit yang kembali ke desanya setelah melewati pengalaman pahit perang. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, puisi ini menggambarkan pertemuan kembali antara seorang prajurit dan ibunya, serta upaya untuk kembali ke kehidupan normal di tengah trauma dan luka pasca perang.
Konteks Kemanusiaan dan Kepulangan
Puisi ini mengisahkan kepulangan seorang prajurit ke desanya setelah berperang. Baris-baris awal, "Ibu, mari kita makan, pucuk pun berisi nyawa, lembayung memanjang, hidup di pematang bisa hijau," menggambarkan suasana tenang desa setelah ketegangan perang. "Pucuk pun berisi nyawa" mencerminkan keajaiban kehidupan yang kembali tumbuh setelah masa-masa sulit. Pematang yang hijau melambangkan harapan baru dan kehidupan yang terus berlanjut.
Ajakan untuk makan bersama dalam puisi ini tidak hanya sekadar aktivitas fisik, tetapi simbol dari kebersamaan, ketenangan, dan upaya memulihkan hubungan antara prajurit dan ibunya setelah terpisah oleh perang. Hal ini juga menggarisbawahi keinginan prajurit untuk kembali ke kehidupan sederhana di desa dan mencari kenyamanan dalam kebersamaan keluarganya.
Tangisan Ibu dan Luka Batin
Di tengah kebersamaan tersebut, ibu masih diliputi rasa duka dan tangis, seperti tercermin dalam baris "Ibu, sudahlah, sudah menangis". Tangisan ini tidak hanya mewakili kesedihan pribadi sang ibu, tetapi juga melambangkan penderitaan banyak ibu yang kehilangan anak-anak mereka karena perang, atau yang menyaksikan anak mereka kembali dalam keadaan terluka, baik fisik maupun mental.
Prajurit, dalam upayanya untuk menenangkan ibunya, mengingatkan bahwa mereka telah melewati masa-masa sulit sejak kecil: "Sudah kita kenal sekali dari anak telanjang sampai mencangkul kebun, leleh peluh, leleh hati." Penggunaan frasa ini menekankan bahwa mereka telah terbiasa menghadapi kesulitan hidup, dari masa kecil yang penuh kerja keras hingga kini menghadapi dampak perang.
Namun, meskipun mengingatkan akan masa-masa berat tersebut, prajurit juga menyiratkan bahwa tidak ada yang dapat menghapus kasih sayang yang mereka miliki. Baris "yang tinggal hanya kasih belum tenggelam" menggambarkan bagaimana kasih sayang seorang ibu tetap ada, meskipun banyak penderitaan telah dilewati.
Sederhananya Harapan dan Kasih Sayang
Di bagian lain, prajurit menekankan kesederhanaan kebahagiaan yang diinginkannya setelah kembali dari perang: "Aku tak minta apa-apa, aku tak beri apa-apa". Dalam pernyataan ini, ada pengakuan bahwa ia tidak mengharapkan imbalan besar atau kemewahan setelah perang, melainkan hanya menginginkan cinta dan kedamaian yang sederhana dari ibunya. Keinginan ini menekankan betapa pentingnya ikatan keluarga dan kebahagiaan batin, terutama setelah melewati masa-masa penuh kekerasan.
Prajurit tidak menginginkan harta atau pengakuan atas perjuangannya, hanya kebersamaan dengan ibunya yang dapat mengembalikan rasa kemanusiaannya. Satu-satunya yang tersisa, dan belum "tenggelam," adalah kasih sayang yang murni.
Lembayung sebagai Simbol Harapan
Kata "lembayung" muncul beberapa kali dalam puisi ini, menciptakan citra alam yang melankolis dan penuh harapan. Lembayung, yang biasanya melambangkan senja atau transisi antara siang dan malam, di sini menjadi metafora dari masa peralihan. Ini bisa diartikan sebagai masa transisi dari perang menuju perdamaian, atau dari masa-masa sulit menuju harapan yang lebih cerah.
Di baris "Ibu, kasih lembayung panjang-memanjang harapannya meraih buminya", lembayung dihubungkan dengan kasih ibu yang panjang dan tidak pernah padam, serta harapan yang senantiasa membentang meskipun situasi masih penuh ketidakpastian. Kasih ibu di sini digambarkan sebagai sesuatu yang abadi, seperti lembayung yang selalu muncul di cakrawala.
Penutup: Generasi Baru dan Tanggung Jawab
Bagian akhir puisi menyoroti tanggung jawab generasi baru, yaitu anak-anak yang akan menjadi bapak, yang harus membela tanah air mereka. "Yang anak-anak akan jadi bapak membela tanah setiap tapak," menegaskan pentingnya melanjutkan perjuangan, bukan lagi melalui perang fisik, tetapi dengan menjaga tanah dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Ini adalah panggilan untuk generasi berikutnya agar terus merawat apa yang telah diperjuangkan oleh generasi sebelumnya.
Prajurit menyadari bahwa hidup terus berjalan, dan tanggung jawab sekarang ada pada generasi yang akan datang untuk menjaga tanah dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Ada rasa pasrah, tetapi juga keyakinan bahwa perjuangan yang mereka lakukan tidak sia-sia, karena generasi selanjutnya akan meneruskan apa yang telah dimulai.
Puisi "Prajurit Pulang ke Desa" karya Sabar Anantaguna adalah refleksi mendalam tentang dampak perang, kasih sayang keluarga, dan harapan untuk masa depan. Dengan menggunakan simbol-simbol alam seperti lembayung, pucuk, dan pematang, Anantaguna berhasil menciptakan suasana tenang namun penuh makna, menggambarkan bagaimana seorang prajurit berusaha untuk kembali ke kehidupan normal setelah pengalaman traumatis di medan perang.
Kasih sayang seorang ibu dan harapan untuk masa depan yang lebih baik menjadi tema sentral dalam puisi ini. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh emosi, puisi ini mengajarkan pentingnya nilai-nilai keluarga, kebersamaan, dan tanggung jawab generasi baru dalam menjaga dan melanjutkan perjuangan demi tanah air.
Puisi ini memberikan pesan bahwa meskipun perang membawa luka dan penderitaan, kasih sayang dan harapan selalu ada sebagai penghibur dan sumber kekuatan untuk menghadapi masa depan.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.