Puisi: Potret (Karya D. Kemalawati)

Puisi "Potret" karya D. Kemalawati menggambarkan perjalanan batin manusia yang mencoba memahami dunia di sekelilingnya sambil bergulat dengan ...
Potret

Diberi kami waktu menapak pemberian
antara burung dan angin
sayap semakin rapuh
ada kesenjangan merakit cahaya
entah potret siapa tersaji begitu tiba-tiba
imajinasi bersanding menara gading
larut menjadi debu
sikap
malang atau tak peduli
begitu kaku di mata.

Agustus-Oktober, 1993

Analisis Puisi:

Puisi "Potret" karya D. Kemalawati adalah karya yang sarat akan perenungan dan refleksi. Melalui penggunaan simbolisme dan metafora yang kuat, puisi ini mengangkat tema tentang kerapuhan manusia, kesenjangan hidup, serta perasaan tak berdaya dalam menghadapi dunia yang terus berubah. Puisi ini menggambarkan kondisi batin seseorang yang dihadapkan pada ketidakpastian dan kenyataan yang sering kali sulit dipahami.

Makna Kiasan Burung dan Angin

Baris pertama, "Diberi kami waktu menapak pemberian antara burung dan angin," memberikan gambaran tentang perjalanan hidup yang diumpamakan sebagai ruang antara burung dan angin. Burung sering kali diasosiasikan dengan kebebasan, sementara angin melambangkan perubahan yang tak terduga. Dalam hal ini, manusia diberikan waktu untuk "menapak" atau menempuh kehidupan di antara dua kekuatan yang bertentangan ini: kebebasan yang ingin diraih dan perubahan atau ketidakpastian yang tak terelakkan.

Di satu sisi, manusia memiliki impian dan aspirasi untuk mencapai kebebasan, seperti burung yang terbang tinggi di angkasa. Namun, di sisi lain, ada kekuatan eksternal yang menghalangi, seperti angin yang tak dapat dikendalikan, melambangkan tantangan dan kesulitan dalam hidup. Ini mencerminkan bagaimana kehidupan penuh dengan benturan antara keinginan pribadi dan kenyataan yang sering kali di luar kendali.

Simbol Kerapuhan dan Kesenjangan

“Sayap semakin rapuh” adalah baris yang menggambarkan kondisi kerapuhan seseorang. Sayap yang rapuh ini mengindikasikan bahwa meskipun manusia memiliki keinginan untuk terus maju, mereka sering kali dibatasi oleh kelemahan, baik fisik maupun mental. Kerapuhan ini bisa disebabkan oleh pengalaman hidup yang berat, kelelahan emosional, atau hilangnya semangat setelah terus-menerus berjuang menghadapi kesulitan.

Kata “ada kesenjangan merakit cahaya” mencerminkan adanya jarak atau ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Cahaya dalam puisi sering kali melambangkan pencerahan, harapan, atau kebijaksanaan. Namun, di sini, cahaya harus "dirakit," menunjukkan bahwa pencerahan atau harapan itu tidak datang dengan mudah. Ada kesenjangan yang harus dijembatani, entah itu dalam bentuk perjuangan pribadi, sosial, atau emosional.

Potret sebagai Gambaran Realitas

Baris “entah potret siapa tersaji begitu tiba-tiba” menekankan pada ketidakpastian tentang identitas atau realitas yang dihadapi. Potret, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai representasi dari kehidupan seseorang atau kelompok yang tiba-tiba muncul ke permukaan tanpa peringatan. Kehadiran potret yang tiba-tiba ini mengisyaratkan adanya benturan antara persepsi dan kenyataan.

Potret ini mungkin mencerminkan citra diri yang berlawanan dengan harapan atau ekspektasi. Ini bisa diartikan sebagai refleksi tentang bagaimana manusia sering kali terkejut oleh realitas hidup yang tidak sesuai dengan gambaran ideal yang mereka ciptakan dalam pikiran mereka.

Imajinasi dan Kaku di Mata

Selanjutnya, baris "imajinasi bersanding menara gading", menyiratkan adanya benturan antara realitas dan fantasi. Menara gading adalah simbol dari tempat yang jauh dari kenyataan, di mana imajinasi dan idealisme tinggal. Dalam konteks ini, imajinasi atau harapan tentang kehidupan yang sempurna berada di tempat yang sulit dijangkau oleh kenyataan, seolah-olah terpisah dari kehidupan yang sebenarnya.

Kemudian, baris "larut menjadi debu" menandakan kehancuran atau kefanaan dari imajinasi tersebut. Imajinasi yang tinggi dan mulia, setelah dihadapkan pada kenyataan yang keras, akhirnya hancur dan lenyap seperti debu. Ini bisa diartikan sebagai perasaan kecewa ketika harapan-harapan besar tidak tercapai, atau ketika realitas menghancurkan mimpi-mimpi idealis yang sebelumnya dianggap mungkin.

“Sikap, malang atau tak peduli, begitu kaku di mata,” adalah refleksi terakhir tentang bagaimana manusia sering kali dihadapkan pada sikap yang membingungkan dalam menghadapi kehidupan. Di sini, penulis menggambarkan kebekuan atau kekakuan dalam cara manusia merespons dunia di sekitar mereka. Apakah manusia harus merasa malang, atau justru menjadi tak peduli? Sikap ini tampak kaku dan tidak fleksibel, mencerminkan dilema emosional yang kerap dihadapi ketika kenyataan hidup tidak sesuai dengan harapan atau imajinasi.

Puisi "Potret" karya D. Kemalawati adalah karya yang menggugah perasaan melalui gambaran kerapuhan manusia, kesenjangan antara harapan dan realitas, serta ketidakpastian dalam menghadapi kehidupan. Dengan menggunakan simbolisme burung, angin, sayap, dan potret, puisi ini menggambarkan perjalanan batin manusia yang mencoba memahami dunia di sekelilingnya sambil bergulat dengan kerapuhan dan keterbatasan diri.

Potret yang tersaji dalam puisi ini bukanlah gambaran yang indah atau ideal, melainkan refleksi dari kenyataan yang tak terduga dan sering kali mengecewakan. Namun, di balik kerapuhan dan kesenjangan tersebut, ada perenungan mendalam tentang kehidupan, harapan, dan cara manusia mencoba bertahan dalam dunia yang terus berubah.

Puisi ini mengingatkan kita bahwa meskipun hidup penuh dengan ketidakpastian dan kekecewaan, manusia tetap berusaha mencari makna dan pencerahan, meskipun kadang-kadang cahaya itu tampak jauh dan sulit diraih.

D. Kemalawati
Puisi: Potret
Karya: D. Kemalawati

Biodata D. Kemalawati:
  • Deknong Kemalawati lahir pada tanggal 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.