Analisis Puisi:
Puisi "Plakat" karya Agam Wispi adalah karya yang sarat dengan ideologi perjuangan kelas, semangat revolusi, serta kritik terhadap pemerintahan yang dianggap tidak memperjuangkan demokrasi sejati bagi rakyat. Melalui gaya bahasa yang lugas dan penuh semangat, Wispi mengeksplorasi konsep demokrasi, peran partai politik, dan pentingnya persatuan rakyat dalam melawan penindasan.
Tema Utama: Demokrasi dan Keadilan Sosial
Tema sentral dalam puisi ini adalah konsep demokrasi, yang menurut Wispi seharusnya tidak menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Puisi ini mengkritik kelompok-kelompok yang menjual rakyat kepada Belanda, serta mereka yang berkolaborasi dengan musuh-musuh rakyat demi kepentingan pribadi.
"demokrasi pun bukanlah bagi mereka
yang menjual rakyat kepada belanda"
Dalam dua baris pembuka ini, Wispi mengecam orang-orang yang mengkhianati rakyat dan menjual diri kepada kekuatan asing. Demokrasi yang ia bicarakan bukanlah sekadar sistem politik, melainkan bentuk pembebasan rakyat dari penindasan dan eksploitasi. Wispi menekankan bahwa demokrasi bukan "nilai jual beli", bukan sesuatu yang bisa dimanipulasi atau digunakan untuk keuntungan pribadi.
Kritik terhadap Kekuasaan dan Elit Politik
Puisi ini juga berisi kritik terhadap elit politik dan pemerintah yang dianggap melakukan "sandiwara" dan tidak mempedulikan kesejahteraan rakyat. Melalui metafora "badut-badut" dan "sandiwara kobong", Wispi menyindir mereka yang memegang kekuasaan namun justru menipu dan mengecewakan rakyat:
"badut-badut, berapa lama sandiwara kobong kalian mainkan?
bagimu layar sudah diturunkan, bagimu hari sudah kelam"
Wispi menegaskan bahwa sandiwara politik ini tidak akan berlangsung selamanya. Akan tiba waktunya, di mana masa gelap bagi elit politik yang korup akan berakhir. Gambaran "hari sudah kelam" mencerminkan kehancuran bagi mereka yang tidak berpihak pada rakyat.
Peran Partai sebagai Penggerak Rakyat
Salah satu elemen penting dalam puisi ini adalah peran partai politik sebagai representasi dari kekuatan rakyat. Wispi menempatkan partai sebagai alat perjuangan rakyat untuk mencapai pembebasan sosial dan ekonomi:
"partai, diri kita yang gemuruh bagai gelombang
dan takkan pernah diam"
Partai politik, dalam pandangan Wispi, bukan hanya sekadar institusi, tetapi sebuah gerakan kolektif yang kuat, yang mencerminkan semangat perlawanan rakyat. Melalui partai, rakyat dapat menemukan identitasnya dan memperjuangkan hak-hak mereka. Wispi juga menggambarkan partai sebagai kekuatan yang muda, kuat, dan terus dicintai oleh rakyat, meskipun waktu terus berlalu.
"tahun-tahun berlalu hari jadi baru dan kita makin tua namun partai muda selalu, matang, kuat dan makin dicinta"
Frasa ini menunjukkan keyakinan Wispi bahwa partai akan terus berkembang dan menjadi semakin kuat seiring berjalannya waktu, sementara para pemimpin dan rakyat terus bertambah usia. Partai, bagi Wispi, adalah simbol perjuangan yang abadi dan selalu relevan bagi rakyat.
Kritik terhadap Figur-figur Penguasa
Dalam beberapa bagian, Wispi menyebutkan tokoh-tokoh seperti Hatta dan peristiwa bersejarah seperti Cikini dan Irian Barat.
"ada hatta mabok dolar dan cabut pedang
tapi sejarah berkata: rakyatlah pahlawan"
Melalui penyebutan Hatta yang "mabok dolar", Wispi tampaknya mengkritik kebijakan ekonomi yang pro-kapitalis dan dianggap merugikan rakyat. Ia menegaskan bahwa dalam sejarah, yang menjadi pahlawan sejati adalah rakyat, bukan para elit yang mungkin memegang kendali namun terjebak dalam permainan politik dan kekuasaan.
Selain itu, peristiwa Cikini yang disinggung dalam puisi ini merujuk pada upaya pembunuhan terhadap Soekarno pada tahun 1957. Wispi menyoroti bagaimana agama kadang digunakan sebagai alasan untuk kekerasan politik, dengan kalimat:
"ada cikini: atas nama tuhan membunuh anak-anak kesayangan
tapi ada si tujuh: komunis rubuh dengan senyum kemerdekaan"
Di sini, ia menyoroti kontras antara kekerasan yang dilakukan "atas nama Tuhan" dan kematian para pemimpin komunis yang tersenyum dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Pemberdayaan Rakyat dan Solidaritas
Wispi menekankan pentingnya pemberdayaan rakyat, terutama buruh, tani, dan prajurit, yang merupakan tulang punggung perjuangan melawan penindasan. Ia menekankan pentingnya melihat diri sendiri sebagai bagian dari rakyat, tanpa memandang profesi atau pangkat. Bagi Wispi, buruh, petani, prajurit, seniman, dan sarjana harus bersatu dalam perjuangan yang sama:
"buruh atau pegawai, ah, betapa manis pun nama
lihatlah ke dalam diri: hari ini penjual tenaga"
Di baris ini, Wispi mengingatkan bahwa meskipun seseorang mungkin memiliki pangkat atau pekerjaan yang terhormat, mereka tetaplah bagian dari kelas pekerja yang menjual tenaga mereka dalam sistem kapitalisme. Solidaritas di antara semua lapisan masyarakat ini menjadi kunci dalam perjuangan melawan penindasan.
Harapan untuk Masa Depan
Puisi ini ditutup dengan nada optimistis, di mana Wispi menggambarkan anak kecil yang menggambar roket ke bulan, simbol dari harapan, masa depan, dan kemajuan:
"tahun-tahun berlalu, hari cemerlang ini jatuh di halaman aih, di tanah seorang anak menggambar roket ke bulan"
Frasa ini melambangkan impian tentang masa depan yang lebih baik, di mana rakyat yang terorganisir dan partai yang kuat akan membawa kemajuan bagi bangsa.
Puisi "Plakat" karya Agam Wispi adalah seruan kuat untuk demokrasi sejati dan keadilan sosial. Puisi ini mengecam elit politik yang korup, menegaskan pentingnya partai sebagai kekuatan rakyat, dan mengajak semua lapisan masyarakat untuk bersatu dalam perjuangan melawan penindasan. Dengan gaya bahasa yang penuh semangat dan ideologi perjuangan kelas yang jelas, Wispi menyampaikan pesan bahwa masa depan yang cerah hanya bisa dicapai melalui perjuangan kolektif, solidaritas, dan pembebasan dari kekuatan asing serta sistem yang menindas.
Karya: Agam Wispi
Biodata Agam Wispi:
- Agam Wispi adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
- Agam Wispi lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara.
- Agam Wispi meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 1930 di 1 Januari 2003, Amsterdam, Belanda.