Puisi: Petani Pulang dari Bui (Karya Sabar Anantaguna)

Puisi "Petani Pulang dari Bui" karya Sabar Anantaguna menggambarkan perjalanan emosional seorang petani yang kembali setelah mengalami penahanan.

Petani Pulang dari Bui


(I)

Ingatan belum kering bila
tuan Sukiman bikin razzia
tuan Sukiman bikin razzia

Pada jalan pulang ingatan basah
bayi umur tujuh hari pipinya
berbunga merah.

Dia kekasih, senyumnya padi hijau, tari air.
Dia pun senyum sendiri, hukum di meja hijau karet kebun.
Nyawa masih setia;
tak tahu disalahkan tuan jaksa.

Hari ini hatinya ria di langit
merah perawan
dan waktu telanjang menanti dia
bunga sepatu menunggu di pagar.

(II)

Tari daun pisang desanya dalam lagu
alu di bawah bambu yang semilir
seperti baru saja di bumi
awan musim ikan.

Rindu di hatinya mendekap anak
sayang-sayang sehangat tembang dan mata bayi:
enong, ening, enong, gung; enong, eneng, enong, gong --
blangdungtak, hemm, hemmm; dia bisa menari .........

(III)

Di pinggir desa, di pingir rindu
di hatinya ada sisa membela wedikengser tanah rilban.
di hatinya ada tawa terkenang kang Jaya gugup di perbal.
Semuanya pahlawan merindukan seperti mimpi
panen padi ditanam sendiri
adalah rindu-rindu di dasar sumur, di pohon nangka
sudah lama anak tujuh hari tidak dalam dekapan
sudah lama tidak beraksi di dekap kawan-kawan.

Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)

Analisis Puisi:

Puisi "Petani Pulang dari Bui" karya Sabar Anantaguna menggambarkan perjalanan emosional seorang petani yang kembali setelah mengalami penahanan. Dengan lirik yang puitis dan simbolis, puisi ini menggambarkan kerinduan, perjuangan, dan harapan yang terjalin dalam kehidupan petani.

Struktur dan Tema Puisi

Puisi ini terbagi menjadi tiga bagian, masing-masing menyoroti aspek yang berbeda dari pengalaman petani.

Bagian I: Kembali ke Kenangan

Di bagian pertama, pembaca diajak untuk merasakan dampak dari penahanan yang dialami oleh petani. "Ingatan belum kering" menunjukkan bahwa trauma dan pengalaman pahit masih membekas dalam ingatan. "Tuan Sukiman bikin razzia" menekankan ketidakadilan yang dialami, di mana seorang petani dihadapkan pada tindakan represif. Gambar bayi berusia tujuh hari dengan "pipinya berbunga merah" melambangkan kehidupan yang baru dan harapan yang seharusnya berkembang, tetapi terancam oleh kekerasan.

Perasaan bahagia saat kembali terlihat dalam deskripsi "hari ini hatinya ria di langit merah perawan." Ini menciptakan kontras antara kenangan pahit dan harapan untuk masa depan. "Bunga sepatu menunggu di pagar" memberikan nuansa optimis bahwa cinta dan kebahagiaan menanti.

Bagian II: Rindu dan Tradisi

Bagian kedua beralih ke nuansa nostalgia dan cinta. "Tari daun pisang desanya dalam lagu" menggambarkan keindahan alam dan tradisi yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. "Rindu di hatinya mendekap anak" menunjukkan kerinduan yang mendalam terhadap keluarga, yang diperkuat dengan deskripsi suara dan melodi yang menggambarkan kehangatan dan kasih sayang.

Frasa "sayang-sayang sehangat tembang dan mata bayi" mengungkapkan hubungan antara cinta dan kesederhanaan hidup. Musik dan suara alam menjadi penghibur di tengah kerinduan dan kesepian.

Bagian III: Kenangan dan Harapan

Di bagian terakhir, puisi menyiratkan perjuangan yang dialami petani. "Di pinggir desa, di pinggir rindu" menciptakan kesan bahwa ia berada di antara dua dunia—tempat tinggalnya dan keinginannya untuk membela hak atas tanah. "Ada sisa membela wedikengser tanah rilban" mengisyaratkan bahwa meskipun ia telah mengalami banyak kesulitan, semangat untuk memperjuangkan tanahnya tetap ada.

Referensi pada "panen padi ditanam sendiri" mencerminkan harapan untuk masa depan yang lebih baik, di mana hasil jerih payah dapat dinikmati. Kerinduan akan teman-teman dan saat-saat bersama menekankan pentingnya komunitas dan solidaritas di antara petani.

Simbolisme dan Makna

Puisi ini kaya akan simbolisme. "Bayi" melambangkan harapan dan masa depan, sementara "bunga sepatu" menciptakan gambaran tentang cinta yang tulus. "Daun pisang" dan "lagu" menggambarkan keindahan budaya dan tradisi yang selalu hidup meski dalam kesulitan.

Puisi "Petani Pulang dari Bui" karya Sabar Anantaguna adalah karya yang menyentuh dan emosional, mengungkapkan pengalaman petani yang penuh liku-liku. Melalui bahasa yang puitis, penulis berhasil menyampaikan pesan tentang kerinduan, perjuangan, dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Puisi ini menjadi cermin bagi banyak orang yang berjuang untuk keadilan dan keberlangsungan hidup dalam kondisi yang sulit.

Sabar Anantaguna
Puisi: Petani Pulang dari Bui
Karya: Sabar Anantaguna

Biodata Sabar Anantaguna:
  • Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
  • Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.
© Sepenuhnya. All rights reserved.