Pernyataan Petani
(untuk kawan-kawan BTI)
Pada ayam berkokok dan lalang terbungkam
betapa sakitnya kegeliatan lapar di sunyi hari
bersorakkah ayam jantan atau teriak kelaparan
kami yang kerja tak terhitung jamnya seminggu
semua berjumpa di satu titik, di mana
kami peluk hidup seerat-eratnya.
Satu tuntutan petani sederhana sekali:
enam-empat, bagian yang mesti diterima sebagai hasil-kerja.
Pada terbitnya cahaya di jalan hidupnya
di sanalah hati akan berjumpa, pangku ibu
yang cintanya pernah dikaburkan air mata
tapi semuanya berpadu di satu titik
memeluk keyakinan seerat-eratnya.
Satu tuntutan petani sederhana sekali:
keringat di padi, yang mesti diterima sebagai hasil-hidup.
Dan kepada mereka yang mengaku rakyat
kepada mereka yang tahu enam-empat
di tangan petani, semua yang kerja, terletak abad.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Pernyataan Petani" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah ungkapan suara hati petani yang mencerminkan perjuangan, harapan, dan tuntutan keadilan. Melalui imaji dan simbol yang kuat, puisi ini menggambarkan realitas kehidupan para petani yang sering kali terpinggirkan dalam struktur sosial dan ekonomi.
Penggambaran Kehidupan Petani
Pembukaan puisi dengan lirik "Pada ayam berkokok dan lalang terbungkam" menciptakan suasana yang tenang, namun di saat yang sama mencerminkan kesunyian dan penderitaan. Ayam berkokok, simbol kehidupan yang berulang, berkontras dengan "lalang terbungkam," menunjukkan adanya keterasingan dalam kehidupan sehari-hari. Kegelisahan "kegeliatan lapar" di tengah sunyi menekankan kesedihan dan perjuangan yang harus dihadapi oleh petani.
Tuntutan Keadilan
Puisi ini secara eksplisit menegaskan tuntutan petani yang sederhana, yaitu "enam-empat, bagian yang mesti diterima sebagai hasil-kerja." Angka ini merujuk pada proporsi hasil panen yang adil, mencerminkan keinginan petani untuk mendapatkan imbalan yang setimpal dengan jerih payah mereka. Melalui pernyataan ini, Anantaguna menunjukkan ketidakadilan yang sering dialami petani, di mana hasil kerja keras mereka tidak sebanding dengan apa yang mereka terima.
Harapan dan Keyakinan
Di bagian selanjutnya, puisi ini menggambarkan harapan yang muncul dari kesederhanaan dan cinta seorang ibu: "di sanalah hati akan berjumpa, pangku ibu." Cinta dan kasih sayang ibu menjadi simbol harapan, di mana meskipun ada kesulitan, ada juga tempat untuk bersandar dan mendapatkan dukungan emosional. Lirik ini juga menyoroti pentingnya hubungan keluarga dalam memberikan kekuatan untuk terus berjuang.
Keringat Sebagai Hasil Hidup
Ketika puisi menyatakan "keringat di padi, yang mesti diterima sebagai hasil-hidup," penulis mengaitkan kerja keras petani dengan hasil panen yang menjadi sumber kehidupan. Ini menunjukkan bahwa setiap tetes keringat yang dikeluarkan memiliki nilai dan harus dihargai. Hubungan ini menggarisbawahi pentingnya penghargaan terhadap usaha petani dalam menjaga ketahanan pangan.
Kritik Sosial
Di bagian akhir, puisi ini melontarkan kritik kepada mereka yang mengaku mewakili rakyat: "Dan kepada mereka yang mengaku rakyat / kepada mereka yang tahu enam-empat." Kalimat ini mengisyaratkan adanya ketidakpahaman atau ketidakpedulian dari pihak-pihak tertentu terhadap kondisi petani. Ada penggambaran bahwa kekuatan dan keadilan terletak pada tangan petani, yang bekerja keras namun sering kali diabaikan.
Puisi "Pernyataan Petani" adalah sebuah karya yang kuat dan menggugah, memberikan suara bagi mereka yang sering kali terpinggirkan dalam masyarakat. Melalui gambaran perjuangan, harapan, dan tuntutan keadilan, Sabar Anantaguna mengajak pembaca untuk lebih memahami realitas kehidupan petani. Puisi ini menjadi sebuah pernyataan tentang pentingnya menghargai kerja keras mereka dan memperjuangkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Dengan kata-kata yang sederhana namun penuh makna, puisi ini mampu menciptakan kesadaran akan ketidakadilan sosial dan pentingnya solidaritas terhadap petani.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.