Analisis Puisi:
Puisi "Parisien" karya Sobron Aidit menyajikan sebuah refleksi mendalam tentang hubungan penulis dengan kota Paris, tempat yang telah menjadi bagian integral dari kehidupannya. Melalui pengamatan yang tajam dan penuh perasaan, puisi ini mengeksplorasi tema cinta, keterasingan, dan kritik terhadap kondisi sosial serta dinamika global di kota tersebut.
Pengantar dan Keterhubungan
Puisi ini dibuka dengan pernyataan langsung dan intim: "Paris, / bersarang aku di jantungmu / yang dulu tak pernah kau kugubris." Sobron memulai dengan pengakuan bahwa meskipun Paris pada awalnya tidak memperhatikan keberadaannya, kota ini kini telah menjadi bagian penting dari hidupnya. "Belasan tahun kuikuti aliran Sungai Seine" menggambarkan betapa lama penulis telah berada di Paris, menyatu dengan kehidupan dan dinamika kota tersebut.
Kehidupan Sehari-Hari dan Identitas
Sobron melukiskan kehidupan sehari-hari di Paris dengan detail yang konkret, seperti "derak-derik metro beradu dengan relnya," dan bagaimana ia merasa seperti "kutu-kutu di antara turis-turis." Puisi ini mengungkapkan perasaan penulis yang merasa menjadi bagian dari hiruk-pikuk kota besar, terjebak dalam rutinitas dan pergerakan yang padat, namun tetap merasa terhubung secara emosional dengan kota tersebut. Ada pengakuan bahwa dirinya mungkin menjadi bagian dari masalah ekologi atau dampak negatif globalisasi, namun ia tetap mencintai Paris yang memberinya kehidupan dan kesempatan untuk menikmati demokrasi serta seni-budaya dunia.
Manifestasi dan Solidaritas
Puisi ini juga mencerminkan solidaritas Sobron terhadap orang-orang yang terlibat dalam demonstrasi dan mogok kerja di Paris. "Ramai-ramai orang berbaris / membawa spanduk dan bendera" menunjukkan dukungan penulis terhadap perjuangan mereka meskipun ia merasakan ketidaknyamanan dari situasi tersebut. Meskipun mengalami kesulitan, seperti "berjam-jam menunggu metro dan kereta," dan merasa terhimpit dalam kerumunan, Sobron tidak mengutuk perjuangan tersebut. Sebaliknya, ia menunjukkan empati dan dukungan, mengakui ketidakadilan dan kebutuhan akan perubahan dalam sistem sosial dan ekonomi.
Kritik dan Kekaguman
Sobron mengungkapkan rasa frustrasi terhadap ketidaknyamanan yang disebabkan oleh mogok, terutama saat musim dingin. "Udara di luar menggigit pori-pori sampai ke tulang" mencerminkan kesulitan yang dihadapi selama demonstrasi dan mogok, sementara "inflasi bagaikan kuman sida" menyiratkan dampak negatif dari kondisi ekonomi terhadap kehidupan sehari-hari. Namun, di tengah kritik ini, Sobron tetap menunjukkan kekaguman terhadap keberanian dan keteguhan mereka yang berjuang untuk keadilan dan kesetaraan: "menuntut egalite kesamarataan / salut aku padamu."
Kesimpulan dan Kesatuan
Penutup puisi ini menggarisbawahi bagaimana Sobron merasa terintegrasi dalam dinamika kota Paris. "Simpang siur, lalu-lalang / terkadang bertubrukan" menggambarkan keragaman dan kompleksitas kehidupan kota besar yang menyatukan berbagai kelompok orang, termasuk dirinya. "Paris, / kota lama yang selalu baru" menunjukkan bahwa meskipun Paris adalah kota dengan sejarah panjang, ia tetap selalu dinamis dan relevan.
Akhir puisi menegaskan perubahan dalam hubungan Sobron dengan Paris: "dulu kau pernah tak kugubris / tapi kini / mengalir aku di urat-darahmu." Meskipun awalnya tidak diperhatikan oleh kota, Paris kini telah menjadi bagian dari dirinya, mencerminkan cinta dan keterhubungan yang mendalam.
Puisi "Parisien" karya Sobron Aidit adalah refleksi yang kompleks tentang cinta, keterasingan, dan solidaritas. Dengan detail yang hidup dan penuh emosi, puisi ini mengeksplorasi bagaimana Sobron merasakan keterhubungan dengan Paris sambil mengkritik aspek-aspek sosial dan ekonomi dari kota tersebut. Melalui pengalaman pribadi dan pengamatan mendalam, Sobron menyajikan sebuah gambaran tentang bagaimana sebuah kota besar dapat mempengaruhi dan membentuk identitas seseorang, sekaligus menunjukkan dukungan terhadap perjuangan keadilan dan kesetaraan di tengah tantangan global.
Karya: Sobron Aidit