Puisi: Oh, Nasib ...! (Karya Intojo)

Puisi "Oh, Nasib ...!" karya Intojo mengajak pembaca untuk merenungkan nasib mereka sendiri dan bagaimana mereka merespons ketidakadilan dan ...
Oh, Nasib ...!

Di sana orang bersenda,
    Di sana orang bersuka,
        Di sana orang beria,
            Di sana orang bergembira,
Di sini aku duduk termenung,
Duduk termenung mengenang untung.

Orang menari,
    berlompat-lompatan,
        orang bernyanyi,
            bersahut-sahutan,
Aku ... termangu-mangu
Termangu-mangu berhati mutu.

Sedang orang sungguh,
    terbahak-bahak
        sedang orang riuh
            bersorak-sorak,
Aku bersedih berdukacita,
Berdukacita berhati lara.

O, Tuhan ... !, oh, nasib ...!

Sumber: Panji Islam (15 Oktober 1937)

Analisis Puisi:

Puisi "Oh, Nasib ...!" karya Intojo adalah sebuah karya yang sederhana namun mendalam, menggambarkan perasaan keterasingan, kesedihan, dan refleksi terhadap nasib yang tidak berpihak. Dalam puisi ini, Intojo menggunakan kontras antara kebahagiaan orang lain dan kesedihan pribadi untuk menyoroti perasaan terisolasi dan ketidakadilan dalam hidup. "Oh, Nasib ...!" merupakan puisi yang meresap dalam hati, menggugah pembaca untuk merenungkan tentang nasib, keberuntungan, dan pengalaman manusia yang sering kali tidak adil.

Tema dan Makna Puisi

  • Kontras antara Kebahagiaan dan Kesedihan: Puisi ini dimulai dengan gambaran orang-orang yang bersenda gurau, bersuka cita, menari, dan bernyanyi. Gambaran ini adalah representasi dari kebahagiaan dan kegembiraan yang dirasakan oleh sekelompok orang di satu sisi. Namun, di sisi lain, ada penyair yang duduk termenung, merenungi nasibnya yang tidak seberuntung orang-orang tersebut: "Di sini aku duduk termenung, / Duduk termenung mengenang untung." Kontras ini menjadi inti dari puisi, menunjukkan bagaimana kebahagiaan tidak selalu dirasakan oleh semua orang. Ada perbedaan antara mereka yang merasakan suka cita dan mereka yang merasakan kesedihan. Hal ini menggambarkan ketidakadilan sosial dan emosional, di mana beberapa orang mengalami kebahagiaan sementara yang lain merasa terasing dan terpinggirkan.
  • Keterasingan dan Kesendirian: Penyair menggunakan frasa seperti "termangu-mangu" dan "berdukacita berhati lara" untuk mengekspresikan perasaan keterasingan yang mendalam. Di tengah keriuhan dan kebahagiaan orang lain, penyair merasa sendiri, tersisih, dan terpaku dalam kesedihan. Kesepian yang dirasakan oleh penyair bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Ini menunjukkan bagaimana seseorang bisa merasa terisolasi bahkan di tengah keramaian.
  • Renungan tentang Nasib: Puisi ini juga menggambarkan renungan tentang nasib dan keberuntungan. Kalimat terakhir "O, Tuhan ... !, oh, nasib ...!" adalah seruan yang mengandung keputusasaan dan permohonan. Ini mencerminkan bagaimana nasib sering kali dianggap sebagai sesuatu yang di luar kendali manusia dan dapat membawa kesedihan dan ketidakadilan tanpa alasan yang jelas. Ada perasaan pasrah dan ketidakberdayaan di sini, di mana penyair merasa tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi dalam hidupnya.
  • Kritik terhadap Ketidakadilan: Meskipun puisi ini tampak sederhana, di baliknya terdapat kritik halus terhadap ketidakadilan sosial. Kebahagiaan yang dirasakan oleh sebagian orang dan kesedihan yang dialami oleh yang lain menyoroti ketidakmerataan dalam kehidupan sosial dan emosional manusia. Puisi ini menyiratkan bahwa kehidupan sering kali tidak adil dan bahwa kebahagiaan dan kesedihan tidak selalu didistribusikan secara merata.

Gaya Bahasa dan Struktur Puisi

  • Penggunaan Repetisi: Intojo menggunakan repetisi dengan cerdas dalam puisi ini. Pengulangan frasa seperti "Di sana orang..." dan "Sedang orang..." menekankan kontras antara kebahagiaan orang lain dan kesedihan pribadi penyair. Repetisi ini memperkuat perasaan keterasingan dan keterpisahan yang dirasakan oleh penyair.
  • Ritme yang Monoton: Ritme dalam puisi ini terasa monoton dan berulang-ulang, mencerminkan perasaan monoton dan ketidakberdayaan dalam hidup penyair. Pengulangan ritmis ini mencerminkan bagaimana penyair merasa terjebak dalam lingkaran ketidakbahagiaan, sementara orang lain terus bersuka ria.
  • Simbolisme Kesedihan: Frasa seperti "termangu-mangu" dan "berdukacita berhati lara" digunakan untuk melambangkan perasaan kesedihan yang mendalam. Simbolisme ini efektif dalam menggambarkan perasaan depresi dan kesendirian, di mana penyair tidak menemukan kebahagiaan di tengah kegembiraan orang lain.
  • Bahasa yang Sederhana namun Efektif: Bahasa yang digunakan dalam puisi ini sangat sederhana, namun memiliki kedalaman makna yang kuat. Penggunaan bahasa sehari-hari membuat puisi ini mudah diakses dan dipahami oleh banyak orang, tetapi juga membawa makna yang mendalam tentang pengalaman manusia yang universal.

Pesan dan Relevansi Puisi

Puisi "Oh, Nasib ...!" karya Intojo adalah puisi yang merefleksikan perasaan manusia yang sering kali merasa tersisih dan tidak beruntung di tengah-tengah dunia yang tampaknya penuh kebahagiaan dan keberuntungan. Ini adalah pengingat bahwa kebahagiaan tidak selalu dirasakan oleh semua orang, dan bahwa ada banyak orang di sekitar kita yang mungkin merasa terasing dan kesepian meskipun berada di tengah keramaian.

Puisi ini juga memberikan refleksi tentang ketidakadilan dan bagaimana nasib sering kali dipersepsikan sebagai sesuatu yang di luar kendali kita. Seruan "O, Tuhan ... !, oh, nasib ...!" adalah ungkapan keputusasaan, tetapi juga permohonan untuk pengertian dan pengharapan. Ini adalah pengingat bagi kita semua untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain dan lebih bijaksana dalam memahami bagaimana nasib dan keberuntungan berperan dalam kehidupan manusia.

Puisi "Oh, Nasib ...!" adalah puisi yang kuat dan menyentuh, mengajak pembaca untuk merenungkan nasib mereka sendiri dan bagaimana mereka merespons ketidakadilan dan kesedihan dalam hidup. Ini adalah puisi yang menggugah empati dan mengajak kita untuk melihat kehidupan dari perspektif mereka yang mungkin merasa terpinggirkan dan terabaikan.

Puisi: Oh, Nasib ...!
Puisi: Oh, Nasib ...!
Karya: Intojo

Biodata Intojo:
  • Intojo (bernama lengkap Raden Intojo) lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Juli 1912
  • Intojo sering menggunakan nama samaran, di antaranya Heldas, Rhamedin, Ibnoe Sjihab, Hirahamra, Indera Bangsawan, dan Imam Soepardi.
  • Intojo juga dikenal sebagai "Bapak Soneta Sastra Jawa Modern".
  • Intojo meninggal dunia pada tahun 1965.
© Sepenuhnya. All rights reserved.