Puisi: Nyai Munah (Karya Agam Wispi)

Puisi "Nyai Munah" karya Agam Wispi adalah potret yang memilukan tentang kehidupan seorang perempuan yang terlupakan dan terpinggirkan.
Nyai Munah

(1)

orang kutik mau dikerunyut kulitnya
tapi dia nyanyi hampa hati sendiri
atau gerutu: rumahnya tidak berpintu lagi

memberingas kejam malam yang diam
dan tiada jawapan melepas siksa
jilatan dingin di geletar jarinya
hanya kesepian antara nada
dengkur buruh-kebon kepayahan

di sudut pondok ada selingan batuk
si kromo yang sudah bungkuk
nyai munah menating malam
nyai munah mendaki awan
nyai munah menggapai bulan
menjerit lagunya, maki dan tawa
entah di mana entah mengapa
dan tidak untuk siapa-siapa

akirnya dia tergelapak di kolong dinihari
si gila itu mimpi tangan lelaki
otaknya lumpuh apa nikmat apa nyata apa mimpi
hanya tidak peduli, tidak peduli
embun membunuh unggun, sekibas angin
memukul padam roko jaga-malam yang merangkak
mencari nyanYi di kolong kayu-mati

(2)

antara pokok teh merimba kembali muda
pondok-pondok murung makin kelabu dan tua
sesunyi itu gambar pagi mencabik malam
perempuan-perempuan mendukung ke ranjang
baju goni dibeban embun
tengkulak-tengkulak dan mandor yang jadi raja ketoprak
cari makan dengan bentak-bentak

nyai munah kepingin dukung anak
anak tak ada, anak sudah jauh
dibawa papa berkulit putih

dimakinya tuhan tak cabut nyawanya
"persetan tuan-besar, aku mau anakku kembali
yohanna! ..............
o, yohanna, waar ben je?
ik mau dood"

mengasing di sana
dingin mengalah pada seloki

tapi mati tak juga datang
maka dijalarinya pendakian seperti kutu
menyendiri dia menjerit dingin
tawanya melengking sunyi
dalam angin deras mengecap segala
pudarlah mimpi, pudarlah rindu, pudarlah, yohanna
cendawan menyembul di batang rebah
atau mekarnya pucuk teh petikan esok

(3)

pengembaraan malam bikin dia menggelepar
dengan nyanyi pedih sampai pajar
"terang bulan terang di kali
buaya timbul disangka mati
jangan percaya si kulit-putih
anakku yohanna tidak kembali"

Perkebunan-teh Bah birong ulu, 1951

Sumber: Yang Tak Terbungkamkan (1959)

Analisis Puisi:

Puisi "Nyai Munah" karya Agam Wispi adalah sebuah karya yang menggambarkan kehidupan seorang perempuan yang penuh penderitaan, keterasingan, dan kesepian dalam pergulatan hidup. Dalam puisi ini, Nyai Munah, sosok utama yang digambarkan oleh Wispi, berjuang melawan keputusasaan, kesedihan, dan kehilangan, terutama terkait dengan anaknya yang hilang. Melalui penggunaan bahasa yang kuat, Wispi menggambarkan penderitaan kelas pekerja dan marginalisasi perempuan di tengah masyarakat yang tidak peduli.

Bagian 1: Keterasingan dan Kesepian

Bagian pertama puisi ini memperlihatkan sosok Nyai Munah yang hidup dalam keterasingan. Dia adalah perempuan tua yang kehidupannya sudah "dikerunyut" oleh waktu, namun di balik penampilannya yang tua dan rapuh, ada kerinduan dan kesepian yang mendalam. Di sini, Nyai Munah digambarkan sebagai sosok yang tinggal dalam kesunyian, di tengah malam yang "memberingas kejam." Keterasingan dan penderitaannya tercermin dalam frasa "nyanyi hampa hati sendiri" dan "rumahnya tidak berpintu lagi," yang menggambarkan bagaimana dia terjebak dalam kesepian dan isolasi, tanpa perlindungan atau tempat berlindung.

Puisi ini juga menunjukkan kekosongan dan keputusasaan Nyai Munah melalui gambaran visual yang kuat, seperti "jilatan dingin di geletar jarinya" dan "hanya kesepian antara nada." Di tengah-tengah malam yang dingin, ia terdengar bernyanyi, tetapi lagunya tidak ditujukan kepada siapa pun—sebuah nyanyian tanpa makna dan tanpa tujuan.

Pada akhirnya, Nyai Munah digambarkan sebagai "si gila" yang terjebak dalam mimpi dan realitas yang kabur, di mana batas antara apa yang nyata dan apa yang ilusi telah memudar. Ini adalah potret seorang perempuan yang ditinggalkan dan terlupakan, terperangkap dalam keputusasaan dan kebingungan.

Bagian 2: Kehilangan dan Pencarian

Bagian kedua puisi ini semakin memperdalam rasa kehilangan yang dialami oleh Nyai Munah, terutama terkait dengan anaknya, Yohanna, yang diambil oleh "papa berkulit putih." Di sini, Agam Wispi menggambarkan perasaan seorang ibu yang direnggut dari anaknya oleh kekuasaan kolonial atau sosok yang dianggap lebih berkuasa. Kehilangan Yohanna menjadi luka yang tidak pernah sembuh bagi Nyai Munah, dan dia terus memanggil-manggil nama anaknya dengan kepedihan yang mendalam: "yohanna! .............. o, yohanna, waar ben je?"

Kesedihan Nyai Munah menjadi semakin intens ketika ia menentang Tuhan, meminta agar nyawanya dicabut. Tapi meskipun dia berulang kali berharap untuk mati, kematian tidak juga datang. Alih-alih, dia terus hidup dalam keterasingan dan penderitaan, menjalani hidup seperti "kutu" yang terjebak di tengah kesunyian.

Penggunaan bahasa Belanda dalam panggilan terhadap Yohanna ("waar ben je?" yang berarti "di mana kau?") mencerminkan penindasan dan keterasingan yang dirasakan oleh Nyai Munah, seolah-olah anaknya telah diambil oleh kekuatan asing yang tidak dapat ia lawan.

Bagian 3: Penolakan dan Kepedihan

Bagian terakhir puisi ini menekankan kekecewaan dan penolakan yang dialami Nyai Munah. Dia menolak untuk percaya kepada "si kulit-putih," yang mewakili kolonialisme atau sosok yang telah mengambil anaknya. Lagu "terang bulan" yang dinyanyikannya adalah simbol nostalgia dan kepedihan, di mana ia menyesalkan nasibnya dan merasa ditipu oleh janji-janji kosong.

Puisi ini diakhiri dengan gambaran yang kuat tentang Nyai Munah yang tetap terjebak dalam penderitaannya, terpisah dari anaknya, dan tidak pernah mendapatkan keadilan. Penderitaan fisik dan emosionalnya ditampilkan secara mendalam, dengan bahasa yang menyayat hati, dan mencerminkan bagaimana penindasan dan ketidakadilan sosial dapat menghancurkan individu.

Tema dan Makna

Puisi ini membawa beberapa tema penting, antara lain:
  • Keterasingan dan Kesepian: Nyai Munah adalah simbol dari perempuan-perempuan yang terlupakan dan terpinggirkan oleh masyarakat. Ia hidup dalam kesunyian, tanpa tempat berpaling, dan hanya ditemani oleh rasa sakit dan kehilangan.
  • Penindasan dan Ketidakadilan Sosial: Kehilangan anaknya yang dibawa oleh "papa berkulit putih" mengisyaratkan adanya kekuasaan kolonial atau penindasan yang dilakukan oleh mereka yang lebih kuat. Nyai Munah menjadi korban dari ketidakadilan sosial dan politik, di mana haknya sebagai seorang ibu diabaikan.
  • Penderitaan dan Penolakan: Puisi ini menunjukkan bagaimana penderitaan bisa merenggut kewarasan seseorang. Nyai Munah akhirnya tenggelam dalam keputusasaan, kehilangan batas antara kenyataan dan mimpi, tetapi ia juga melawan dengan caranya sendiri, menolak untuk percaya pada "si kulit-putih" dan tetap memanggil anaknya meskipun harapannya tampak sia-sia.
  • Cinta dan Kerinduan: Meski mengalami banyak penderitaan, cinta Nyai Munah terhadap anaknya tetap menjadi kekuatan yang mendorongnya. Namun, kerinduan yang tidak terjawab itu membawa lebih banyak rasa sakit dan kesedihan.
Puisi "Nyai Munah" karya Agam Wispi adalah potret yang memilukan tentang kehidupan seorang perempuan yang terlupakan dan terpinggirkan. Melalui karakter Nyai Munah, Wispi menyoroti dampak penindasan, kesepian, dan ketidakadilan yang dialami oleh mereka yang tidak berdaya. Dengan bahasa yang tajam dan penuh emosi, puisi ini berhasil menggambarkan penderitaan yang mendalam dan pergulatan hidup seorang ibu yang kehilangan anaknya, sekaligus menunjukkan bagaimana ketidakadilan sosial dapat menghancurkan harapan dan impian seseorang.

Agam Wispi
Puisi: Nyai Munah
Karya: Agam Wispi

Biodata Agam Wispi:
  • Agam Wispi adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
  • Agam Wispi lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara.
  • Agam Wispi meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 1930 di 1 Januari 2003, Amsterdam, Belanda.
© Sepenuhnya. All rights reserved.