Puisi: Mimpi (Karya D. Kemalawati)

Puisi "Mimpi" karya D. Kemalawati menyentuh berbagai tema, mulai dari lingkungan, kepedulian sosial, hingga hubungan emosional antara manusia dan ...
Mimpi

Bangun pagi anakku menangis
"sebatang pohon telah dipisahkan," isaknya
"dimana?" tanyaku
"di mimpiku, Ibu"

Dia mendengar tangisan pohon itu
sepanjang malam
air matanya menggenangi parit, kali, sungai
bahkan menggenangi seluruh kampung
seluruh mukim, seluruh kecamatan, seluruh kota
hingga menara tempat kepala negara
menatap rakyatnya tanpa rasa

Dia melukis di dinding papan rumah kami
pohon-pohon yang sendiri
sepanjang hari
hingga tak ada waktu
baginya untuk tidur
dan bermimpi.

Banda Aceh, 7 Oktober 2010

Analisis Puisi:

Puisi "Mimpi" karya D. Kemalawati adalah sebuah karya yang menyentuh berbagai tema, mulai dari lingkungan, kepedulian sosial, hingga hubungan emosional antara manusia dan alam. Melalui gambaran seorang anak yang menangis karena mimpi tentang pohon yang dipisahkan, puisi ini mencerminkan kesadaran akan kerusakan lingkungan, rasa kehilangan, dan kritik terhadap ketidakpedulian pemimpin terhadap penderitaan rakyatnya.

Mimpi sebagai Metafora Kepekaan Terhadap Lingkungan

Puisi ini dimulai dengan penggambaran anak yang menangis setelah bangun tidur, menceritakan bahwa pohon telah dipisahkan dalam mimpinya. Baris ini memiliki makna simbolis yang kuat. Pohon sering kali dianggap sebagai simbol kehidupan, kekuatan, dan keseimbangan alam. Ketika anak dalam puisi ini memimpikan pohon yang dipisahkan, ia menggambarkan perasaan kehilangan yang mendalam, tidak hanya secara personal tetapi juga secara kolektif.

Mimpi dalam puisi ini bisa dilihat sebagai cerminan ketidakadilan ekologis yang sering diabaikan dalam kehidupan nyata. Pohon yang dipisahkan mungkin mewakili kehancuran lingkungan akibat deforestasi, perusakan alam, atau tindakan manusia yang merusak keseimbangan alam. D. Kemalawati menggunakan simbolisme ini untuk menarik perhatian pembaca pada isu lingkungan dan dampak negatif dari tindakan manusia terhadap alam.

Tangisan Alam dan Akibatnya yang Meluas

Baris "Dia mendengar tangisan pohon itu sepanjang malam" menyiratkan bahwa anak dalam puisi ini sangat terpengaruh oleh mimpi tersebut, sehingga ia merasakan kesedihan yang mendalam. Tangisan pohon tersebut tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga literal, karena air matanya menggenangi parit, kali, sungai. Aliran air mata ini yang meluas hingga menggenangi seluruh kampung, mukim, kecamatan, bahkan kota, mencerminkan betapa kerusakan alam bisa membawa dampak besar yang meluas.

Penggambaran ini juga menunjukkan bahwa kerusakan alam tidak hanya berdampak pada satu entitas, tetapi menyebar ke berbagai wilayah dan mempengaruhi kehidupan banyak orang. Ini mencerminkan pandangan ekologis bahwa segala sesuatu di alam saling terhubung dan saling bergantung. Ketika satu bagian dari alam dirusak, seluruh ekosistem akan merasakan dampaknya.

Kritik Sosial terhadap Ketidakpedulian Penguasa

Salah satu elemen kuat dalam puisi ini adalah kritik terhadap para pemimpin yang tidak peduli terhadap penderitaan rakyatnya. Pada baris "hingga menara tempat kepala negara / menatap rakyatnya tanpa rasa," terlihat jelas bahwa puisi ini menyampaikan pesan tentang ketidakpekaan pemimpin terhadap masalah yang terjadi di masyarakat. Tangisan anak yang mencerminkan penderitaan alam dan manusia diabaikan oleh penguasa yang hanya menonton tanpa rasa empati.

Gambaran ini dapat diartikan sebagai kritik terhadap pemerintah atau pemimpin yang tidak melakukan tindakan nyata untuk melindungi alam atau mengatasi penderitaan rakyat akibat kerusakan lingkungan. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini juga bisa dianggap sebagai refleksi dari kepasifan atau ketidakpedulian para penguasa terhadap isu-isu sosial dan lingkungan yang mendesak.

Anak sebagai Simbol Harapan dan Kesadaran Baru

Anak dalam puisi ini memainkan peran penting sebagai simbol harapan dan kesadaran baru. Melalui mimpinya, anak ini menjadi saksi dari kerusakan yang terjadi di alam. Tangisannya bukan hanya tangisan kesedihan, tetapi juga sebuah protes terhadap ketidakadilan dan kehancuran yang ia saksikan.

Di sini, anak melambangkan generasi muda yang peka terhadap isu-isu lingkungan dan sosial. Mereka adalah generasi yang lebih sadar akan pentingnya menjaga alam dan melawan ketidakadilan. Dengan melukis di dinding papan rumah kami / pohon-pohon yang sendiri sepanjang hari, anak tersebut menunjukkan bahwa ia terus mencoba memperbaiki dan mengingatkan orang lain akan pentingnya alam dan kehidupan yang seimbang.

Pohon sebagai Simbol Ketahanan dan Kehidupan

Pohon, yang menjadi fokus utama dalam puisi ini, bukan hanya sekadar elemen alam, tetapi juga simbol kehidupan, keberlanjutan, dan ketahanan. Melalui gambar pohon yang dilukis oleh anak dalam puisi ini, penyair seolah ingin menunjukkan bahwa meskipun pohon dipisahkan atau rusak, masih ada upaya untuk menjaga keberadaannya. Pohon yang dilukis oleh anak tersebut mencerminkan harapan akan kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Kritik Ekologis dan Sosial dalam Simbolisme Pohon

Puisi "Mimpi" karya D. Kemalawati adalah sebuah karya yang dalam dan bermakna, menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam serta mengkritik ketidakpedulian pemimpin terhadap lingkungan dan rakyatnya. Melalui simbolisme pohon yang dipisahkan dan tangisan anak yang meluas ke seluruh wilayah, puisi ini menggambarkan betapa pentingnya kesadaran ekologis dan tanggung jawab kolektif untuk melindungi alam.

Anak dalam puisi ini adalah simbol harapan bagi masa depan yang lebih peduli terhadap lingkungan. Dengan sensitivitasnya terhadap pohon dan lingkungannya, anak tersebut mewakili generasi yang akan terus berjuang untuk melindungi alam dan menciptakan dunia yang lebih baik. Puisi ini tidak hanya menggambarkan mimpi, tetapi juga harapan dan keyakinan bahwa dengan kesadaran dan tindakan yang tepat, kerusakan alam dan ketidakadilan sosial dapat diperbaiki.

D. Kemalawati
Puisi: Mimpi
Karya: D. Kemalawati

Biodata D. Kemalawati:
  • Deknong Kemalawati lahir pada tanggal 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.